Vitiligo anak dan dewasa berbeda. Terapi PUVA efektif dan aman, memberi hasil baik pada vitiligo non-segmental dan yang melibatkan area wajah.
Vitiligo merupakan kondisi, di mana kulit kehilangan pigmen normalnya dan menjadi putih seperti susu. Tidak membahayakan, tetapi mengganggu penampilan. British Journal of Dermatology mencatat, penderita vitiligo 5 kali lebih rentan mengalami depresi, dibanding mereka tanpa vitiligo.
Vitiligo terjadi ketika sel-sel melanosit yang memroduksi melanin, berhenti berfungsi atau mati. Melanosit terdapat di epidermis, ada di folikel rambut yang terletak di sebelah kelenjar sebasea. Penyebab pasti vitiligo belum diketahui. Menurut dr. Dian Pratiwi, SpKK, FINSDV, FAADV, dari Klinik Pramudia, Jakarta, semakin banyak bukti yang menunjukkan stres oksidatif yang menyebabkan defek melanosit, paparan zat kimia (phenol), respons autoimun (peningkatan ekspresi HSP70 dan interferon gamma) dan faktor genetik, berkontribusi menyebabkan vitiligo.
“Vitiligo terjadi pada 0,5-2% populasi umum, risiko pria wanita sama, 70-80% terjadi di usia 10-30 tahun,” ujar dr. Dian dalam seminar Vitiligo Munculnya Si Putih Yang Tidak Diharapkan.
Menurut dr. Ronny Handoko, SpKK, FINSDV, FAADV, vitiligo juga bisa berhubungan dengan penyakit autoimun lain. Seperti dermatitis atopik, alopecia areata, diabetes melitus tipe 1, gangguan tiroid atau penyakit Addison.
Walau gejala umum vitiligo relatif sama, berbeda antara vitiligo pada anak dan dewasa. Vitiligo pada anak bersifat segmental, atau hanya pada satu area di salah satu sisi tubuh, jarang mengenai mukosa, biasanya lebih banyak kasus halo nevus. Gambaran klinis mirip bercak putih pasca-inflamasi; bisa dibedakan dengan lampu wood. Pada hasil lab. terdapat peningkatan nilai ANA (anti nuclear antibody).
Pada dewasa bersifat non-segmental,”Bisa berhubungan dengan fenomena Koebner. Trauma yang terus menerus merangsang munculnya lesi vitiligo, pada mereka yang punya bakat vitiligo,” urai dr. Ronny.
Pengobatan
Pengobatan bertujuan menghentikan perkembangan penyakit, mengembalikan warna kulit normal (repigmentasi) dan stabilisasi penyakit (tidak muncul lesi baru). Vitiligo disebut stabil bila dalam 2 tahun, tidak ada lesi baru.
“Untuk anak jangan over treatment, karena ada risiko katarak prematur. Pada dewasa, terapi harus intensif. Untuk pasien >50 tahun perhatikan penyakit sistemik, tumor prakanker, risiko keganasan dan obat yang bersifat photosensitizer,” terang dr. Ronny.
Topikal kortikosteroid (TCS) dan/atau kombinasi topikal calneurin inhibitor (TCI; Tacrolimus 0,03% dan 0,1%, atau Pimecrolimus 1%) menjadi terapi lini pertama. Terapi topikal bisa kombinasi dengan fototerapi (UVA, UVB-NB), terapi sistemik atau injeksi KIL.
“TCS maksimal 3 bulan, 1x sehari. Ada risiko kulit menipis. TCI lebih baik dibanding TCS, tapi mahal. Dioles 2x sehari,” tutur dr. Ronny. “Bila selama 6 bulan tidak ada perbaikan, tambahkan fototerapi.”
Sebagai terapi lini kedua, fototerapi UV A (320-400 nm) dikombinasi dengan Psoralen; disebut PUVA. Psoralen merupakan zat yang mampu menyebabkan mutasi genetik. Saat terekspos sinar ultra violet akan membentuk monoadduct dan reaksi silang (covalent interstrand cross-links/ICL) dengan thymine, terutama di situs 5’-TpA dalam genom. Ini menginduksi apoptosis.
Salah satu jenis psoralen adalah methoxsalen, bekerja dengan tiga mekanisme. Pertama, sebagai photosensitizer akan meningkatkan reaksi sel-sel kulit pada paparan sinar UVA. Kedua, menstimulasi melanosit untuk menggerakkan folikel rambut ke atas, dan merangsang pertumbuhan epidermis. Ketiga, berikatan dengan DNA sel kulit, menghambat sintesis DNA, penggandaan sel, serta mengurangi pembentukan sel kulit baru.
Lassus A, et al., melakukan percobaan methoxsalen oral dan penyinaran UVA pada 139 pasien vitiligo, yang sebelumnya mendapat terapi 8-MOP oral dan UVA. Sebanyak 22 pasien dengan vitiligo fokal dan 117 vitiligo umum, 27 vitiligo di wajah/leher dan 58 di tangan/kaki. Terjadi repigmentasi total pada 52% (14 dari 27) pasien dengan vitiligo di wajah dan/atau leher. Hanya 3% (2 dari 58 orang) mendapat repigmentasi sepenuhnya pada lesi di tangan/kaki. Pada vitiligo fokal, total repigmentasi lebih sering terjadi (11 dari 22 kasus), daripada vitiligo umum (23 dari 117 kasus). Efek toksisitas akut antara lain eritema (55 kasus), pruritus (16 kasus) dan sakit kepala (8 kasus).
Riset lain oleh Masoud Maleki dkk, ingin melihat efikasi dan keamanan methoxsalen topikal dan oral dalam terapi PUVA, pada 135 pasien. Sebanyak 126 orang mendapat terapi sistemik, 9 dengan terapi topikal. Repigmentasi sepenuhnya (100%) didapati pada satu pasien. Repigmentasi 80-90%, 60-79%, 40-59%, 20-39% dan <20% tercatat pada 53, 43, 12, 6 dan 20 subjek.
Riset yang dipublikasikan dalam Journal of Dermatology and Cosmetic (2011) ini menyimpulkan, terapi PUVA efektif dan aman untuk pasien vitiligo, memberi hasil baik pada vitiligo non-segmental dan yang melibatkan area wajah. (jie)
Gambar: http://www.freepik.com”>Designed by brgfx / Freepik