Ethicaldigest

World AMR Awareness Week: Minimalkan Risiko AMR dengan Komunikasi

Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) memprediksi, bisa terjadi sekitar 10 juta kematian akibat Antimicrobial Resistance (AMR) pada 2050. AMR memang menjadi masalah serius di seluruh dunia. Pasien yang dirawat di Intensive Care Unit (ICU) membutuhkan perhatian khusus, karena mereka memiliki risiko AMR yang lebih tinggi.

“Pasien di luar ICU umumnya hanya menunjukkan resistensi terhadap 1-2 jenis obat saja, sedangkan pasien yang berada di dalam ICU cenderung sudah resisten terhadap lebih dari 2 jenis obat,” ungkap dr. Pratista Hendarjana, Sp.An-KIC. Kondisi ini dikenal sebagai XDR (Extensive Drug Resistance), yang merujuk pada mikroba atau kuman yang telah menjadi resistan terhadap semua jenis obat yang tersedia.

Banyak faktor yang menyebabkan pasien ICU berisiko tinggi mengalami AMR, baik faktor eksternal maupun internal pasien. Faktor eksternal misalnya lingkungan dan perawatan di ruang ICU. “Alat-alat bantu yang terpasang di tubuh pasien bisa menjadi jalan bagi kuman untuk masuk ke aliran darah,” ujar dr. Pratista.

Pemberian antibiotik juga berperan besar dalam peningkatan risiko AMR. Antibiotik diperlukan sebagai salah satu tindakan preventif bagi pasien di ruang ICU. Namun bila jenis, dosis, ataupun waktu pemberiannya tidak tepat, bisa meningkatkan risiko terjadinya AMR.

Dari sisi internal pasien, terjadi immunocompromised akibat kondisi pasien yang kritis. “Meski pemberian antibiotik sudah tepat, namun jika sistem kekebalan tubuh pasien lemah, resistensi tetap bisa terjadi. Biasanya pasien ICU mengalami keadaan imunitas yang menurun, di mana respons imunnya tidak sebaik orang yang sehat,” ungkap dr. Pratistadalam webinar bertajuk Memitigasi Risiko AMR di ICU melalui Komunikasi yang Optimal antara Nakes dan Keluarga Pasien: Tepat Waktu, Tepat Pasien, Tepat Guna bersama Pfizer Indonesia, Rabu (29/11/2023), dalam rangka memperingati World AMR Awareness Week (WAAW).

Minimalkan Risiko AMR dengan Komunikasi

Selain meningkatkan mortalitas pasien ICU, AMR juga menurunkan kualitas hidup keluarga pasien, hingga menimbulkan dampak psikologis serta finansial yang besar. Semua ini tak ayal membuat keluarga panik dan kebingungan saat menghadapi kenyataan bahwa salah satu anggota keluarga harus dirawat di ICU.

Ditegaskan oleh dr. Pratista, penting bagi dokter dan tenaga kesehatan lainnya untuk membangun komunikasi yang efektif dengan keluarga pasien. “Pastikan bahwa pesan tentang perawatan pasien dan penggunaan antibiotik disampaikan secara rasional, jelas, dan dapat dipahami oleh keluarga pasien,” ujarnya.

Ia melanjutkan, komunikasi bukan hanya tentang memberikan informasi, tetapi juga tentang mendengarkan. “Pasien di ICU sering kali dalam kondisi yang kritis dan kompleks. Pasien maupun keluarga memerlukan pemahaman dan kehadiran ekstra dari tim perawatan,” imbuhnya.

Hal senada disampaikan oleh Nora T. Siagian, Presiden Direktur Pfizer Indonesia. Ia menekankan bahwa peningkatan pemahaman mengenai risiko terjadinya AMR dapat dicapai melalui komunikasi dua arah antara tenaga kesehatan dengan pasien atau keluarganya. “Ketika ada anggota keluarga atau kerabat yang harus dirawat di ICU, seringkali keluarga pasien merasa bingung, takut, dan panik. Oleh karena itu, komunikasi dua arah sangat penting agar kedua pihak memiliki pemahaman yang sama tentang kondisi pasien dan fokus pada peningkatan kualitas perawatan pasien serta meminimalkan risiko terjadinya AMR di ICU,” tutur Nora.

Komunikasi yang efektif antara keluarga pasien dan tenaga kesehatan, bisa berkontribusi pada tindakan medis yang tepat waktu, tepat pasien, dan tepat guna sesuai semangat gerakan edukatif #JitudiICU. Pada akhirnya, diharapkan bahwa risiko AMR di ruang ICU bisa dicegah atau diminimalisir. (nid)