Ethicaldigest

Gejala Limfoma bisa Menyerupai TB – Tenaga Medis Perlu Lebih Waspada

Gejala limfoma kadang menyerupai TB, sehingga bisa terjadi misdiagnosis. Hal ini dialami oleh Intan Khasanah, penyintas limfoma Hodgkin stadium 4. “Awalnya aku cuma merasakan ada benjolan di leher, dan didiagnosis TB,” ujarnya. Kala itu Intan baru berusia 17 tahun, dan masih tinggal di Pekan Baru.

Intan menjalani pengobatan TB selama 8 bulan. Namun kondisinya tidak membaik. “Mulai ada cairan di paru. Aku kelelahan banget dan tiba-tiba saja gak bisa beraktivitas. Sampai akhirnya masuk ICU dan koma,” ujarnya. Setelah sadar, Intan diterbangkan ke Jakarta untuk mendapat pemeriksaan dan perawatan yang lebih optimal. Barulah diketahui ternyata ia bukan terkena TB, melainkan limfoma. Disayangkan, karena cukup lama menalani pengobatan dengan diagnosis yang salah, limfoma yang diderita Intan telah berkembang menjadi stadium 4.

Diungkapkan oleh Dr. dr. Andhika Rachman, Sp.PD-KHOM, FINASIM, misdiagnosis limfoma sebagai TB adalah PR besar yang harus diperbaiki dalam pelayanan kesehatan Indonesia. Gejala limfoma seperti benjolan di leher, penurunan berat badan (BB), dan berkeringat di malam hari, memang mirip dengan TB. “Tugas kita sebagai tenaga medis untuk lebih waspada,” ucapnya, dalam diskusi media Bersama Takeda dan CISC (Cancer Information and Support Group) di Jakarta, Jumat (15/9/2023).

Baca juga: Alan Lloyd Hodgkin, Si Penemu Limfoma Hodgkin

Ia mengingatkan untuk menggali gejala yang dialami pasien lebih dalam lagi. Selain benjolan di leher, ada B symptoms yang meliputi demam/meriang seperti flu-like symptoms dan biasanya terjadi di sore hari, serta berkeringat di malam hari dan penurunan BB, yang kerap dikira TB. “Cari gejala lain misalnya gatal-gatal, kelelahan ekstrim atau fatigue, dan intoleransi alkohol,” imbuh Dr. dr. Andika.

Seandainya kecurigaan awal mengarah ke TB, kondisi pasien harus terus dipantau. “Obat TB jangan terlalu lama diberikan. Lihat kondisinya, kalau dalam dua bulan pasien membaik, kemungkinan besar memang TB sehingga pengobatan bisa dilanjutkan. Namun kalau kondisi pasien tidak membaik atau bahkan memburuk, harus dicari sampai ketemu apa penyebabnya,” tuturnya.

Ia melanjutkan, pengobatan TB pasti sudah menunjukkan hasil yang signifkan dalam waktu yang relatif singkat. “Obat TB itu ada yang bekerja cepat untuk membunuh kuman yang aktif, dan ada yang bekerja lambat untuk membunuh kuman yang dorman. Obat yang bekerja cepat ini hasilnya akan langsung terlihat; dalam dua minggu pasien pasti sudah merasa enakan, dan nafsu makannya sudah kembali,” paparnya. Maka bila pasien tidak membaik dengan pengobatan TB, pastilah penyebabnya hal lain.

Pengobatan Limfoma Ditanggung BPJS Kesehatan

Kita bersyukur, diagostik dan pengobatan limfoma di Indonesia sudah cukup baik, dan ditanggung oleh BPJS Kesehatan. “Diagnostik mulai dari biopsi, histopatologi, hingga pemeriksaan imaging CT scan untuk mengukur stadium, sudah ditanggung. Semua pengobatan yaitu kemoterapi, radioterapi, dan terapi target juga sudah ditanggung, baik untuk limfoma Hodgkin dan non-Hodgkin. Hanya imunoterapi yang belum ditanggung,” ungkap Dr. dr. Andhika.

Baca juga: Pokok dan Tokoh – Dr. dr. Andhika Rachman, Sp.PD-KHOM

Regimen kemoterapi untuk limfoma Hodgkin yaitu ABVD dan BEACOPP, sedangkan untuk limfoma non-Hodgkin yaitu CHOP. Pengobatan utama limfoma dilakukan dengan kemoterapi dan radioterapi. “Pada limfoma Hodgkin, bisa diberikan terapi target brentuximab vedotin bila ditemukan ekspresi CD30 positif,” ujar Dr. dr. Andhika. Adapun pada limfoma non-Hodgkin, bisa diberikan antibody monoclonal rituximab bila ditemukan adanya ekspresi CD20 positif.

Pada pasien limfoma Hodgkin dengan PD-L1 positif, ada obat imunoterapi yang bisa diberikan, yaitu pembrolizumab. Namun obat ini sangat mahal, dan belum ditanggung olej BPJS Kesehatan sehingga harus dibayar secara mandiri oleh pasien.

Akses terhadap Pengobatan Perlu Ditingkatkan

Meski diagnostik dan hampir semua pengobatan limfoma sudah ditanggung BPJS Kesehatan melalui program JKN (Jaminan Kesehatan Nasional), akses terhadap pengobatan harus terus ditingkatkan. Studi ACTION menemukan, sebanyak >75% pasien kanker menghadapi kendala biaya dalam 1 tahun setelah diagnosis. “Akses terhadap terapi inovatif untuk pasien limfoma Hodgkin harus dipermudah,” ucap Direktur Pencegahan dan Pengendalian Penyakit tidak Menular Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, Dr. Eva Susanti, S.KP., M.Kes.

Hal serupa disampaikan oleh Shinta Caroline, Head of Patient Value Access PT. Takeda Indonesia. Ia setuju bahwa pasien limfoma membutuhkan akses ke obat-obatan yang tepat. “Otoritas kami memastikan pasien bisa mengakses obat-obatan tersebut,” ujarnya. Takeda Indonesia bekerjasama dengan berbagai lini untuk membuka akses yang lebih luas bagi pasien untuk mendapatkan terapi inovatif, termasuk melalui program JKN serta Program Bantuan Pasien yaitu Takeda BISA. “Ini adalah program Takeda untuk membantu pasie yang tidak mampu,” terangnya.

Hal ini diamini oleh Ketua CISC Aryanthi Baramuli Putri, SH., MH. “Biaya pengobatan kanker sangatlah besar. Pasien membutuhkan berbagai bantuan yang bisa didapatkan untuk menjalani pengobatan hingga tuntas. Program bantuan pasien akan sangat membantu meringankan beban biaya bagi pasien,” tuturnya.

Yang terpenting, diagnosis limfoma harus ditegakkan sejak dini. Dr. dr. Andhika mengingatkan agar tenaga medis lebih waspada untuk mengenali gejala limfoma. “Kenali gejala limfoma sedini mungkin. Makin cepat didiagosis akan makin mudah diobati, dan tingkat kekambuhannya makin kecil,” pungkasnya. (nid)