Ethicaldigest

IPMG Mendorong Ketersediaan Obat Baru di Indonesia

Dari 460 obat baru yang diluncurkan secara global sepanjang 2012 – 2021, hanya 9% (41 obat) yang sudah masuk Indonesia. Ini berdasarkan hasil studi Pharmaceutical Research and Manufacturers of America (PhRMA) terhadap negara G20. Memang disayangkan, ketersediaan obat baru yang inovatif dan vaksin masih sangat terbatas di negara kita.

Angka 9% termasuk salah satu yang paling rendah di kawasan Asia Pasifik, jauh di bawah angka rata-rata 20%. Kita bahkan di bawah Filipina (13%) dan Kazakhtan (15%), serta jauh tertinggal dari negara tetangga yang sudah melampaui angka rata-rata: Malaysia (22%) dan Singapura (27%). Peringkat pertama dengan ketersediaan 51% diraih oleh Jepang.

Persentase ketersediaan obat baru yang diluncurkan dalam satu tahun pertama secara global bahkan lebih rendah lagi, yaitu hanya 1%. Angka rerata di Asia Pasifik memang relatif rendah (5%), tapi Jepang jauh melebihi rata-rata, dengan persentase 32%.

Minimnya ketersediaan obat baru tentu sangat merugikan bagi pasien. “Terbatasnya obat baru yang beredar di Indonesia berdampak pada kualitas kesehatan masyarakat,” ujar Evie Yulin, Wakil Ketua International Pharmaceutical Manufacturers Group (IPMG) dalam diskusi media di Jakarta, Senin (11/9/2023).

Pasien yang seharusnya bisa mendapat pengobatan yang tepat sejak dini, jadi terhambat karena obat tidak tersedia di Indonesia. “Kalau obatnya sudah ada dan pasien bisa diobati lebih dini, peluang kesembuhan meningkat dan beban biaya pengobatan pun berkurang,” lanjut Evie.

Negara pun sebenarnya ikut terdampak. Banya pasien yang akhirnya berobat ke luar negeri karena pilihan obatnya lebih lengkap. “Diperkirakan, kita kehilangan pendapatan dari medical tourism hingga 12 – 48 miliar USD,” ujarnya. Belum lagi praktik impor paralel (jastip dan/atau melalui e-commerce) yang menempatkan pasien pada risiko mendapatkan obat palsu, serta merugikan negara karena tidak ada pajak yang masuk.

Upaya Meningkatkan Ketersediaan Obat Baru

Sangatlah ideal bila ketersediaan obat baru bisa 100%, tapi hal ini rasanya mustahil untuk dicapai. “Setidaknya, bisa 20% seperti negara tetangga. Memang banyak sekali barrier yang menghambat ketersediaan obat baru. Ini yang kita coba perbaiki bersama dengan berbagai stakeholder,” tutur Evie.

Regulasi penerbitan nomor ijin edar yang membutuhkan waktu lama, menjadi salah satu kendala terbesar. Kendala lain yang tak kalah pelik, regulasi tertentu yang membatasi masuknya obat baru, serta terbatasnya akses dari industri ke pasar.

Di beberapa negara, obat bisa masuk formularium terbuka (open formulary) dalam 90 – 100 hari setelah obat diluncurkan. Namun di Indonesia, harus dilakukan kajian terlebih dulu sebelum obat bisa masuk ke formularium nasional. Dengan demikian, obat yang baru diluncurkan tidak bisa langsung masuk ke skema pembiayaan Jaminan Kesehatan Nasional (JKN).

Hal serupa diungkapkan oleh oleh Ketua Communications Task Force IPMG George Stylianou, dalam kesempatan yang sama. “Barrier untuk ketersediaan obat baru tidak melulu soal harga. Yang paling menantang adalah regulasi pemerintah,” ujarnya.

Ia menegaskan, “IPMG berkomitmen untuk membuka akses terhadap obat-obatan inovatif dan vaksin melalui empat prioritas advokasi terkait percepatan akses.” Mulai dari tahap registrasi hingga ketersediaan di rumah sakit maupun formularium nasional pemerintah, transparansi pengadaan pemerintah, partisipasi dalam menyusun kebijakan persyaratan lokalisasi, serta penyusuan nilai inovatif dalam transformasi ketahanan Kesehatan.

IPMG memiliki lima program utama sebagai prioritas, sepanjang 2023. Yaitu akses ke obat-obatan inovatif, pengadaan obat berkualitas yang efisien dan transparan, edukasi pada batas kebijakan lokalisasi, promosi positif insentif non-diskriminatif untuk perkembangan industri, dan peningkatan nilai inovasi.

IPMG adalah organisasi non-profit, beranggotakan 26 perusahaan farmasi global berbasis riset dan teknologi. Dari 26 anggota IPMG, 16 di antaranya sudah memiliki pabrik di Indonesia. IPMG terus berkomitmen untuk mendorong ketersediaan obat baru di Indonesia. (nid)