Ethicaldigest

CPAP, Standar Emas Pengobatan OSA pada Pasien Diabetes

CPAP (continous positive airway pressure) te;ah dipandang sebagai pengobatan standar emas pada penderita OSA dengan diabetes.

Data yang menunjukkan adanya hubungan OSA (obstructive sleep apnea) dengan diabetes mellitus tipe 2 (DM 2), resistensi insulin dan sindrom metabolik, semakin kuat. Berdasarkan penelitian pada populasi klinis dan populasi studi, diperkirakan 40% pasien OSA akan menderita DM 2, meski insiden DM 2 yang baru pada pasien OSA tidak diketahui. Sebaliknya, prevalensi OSA sebesar 23%, dan prevalensi SDB (sleep disorder breathing) mencapai 58% pada pasien DM 2.

Studi menunjukkan, pada penderita DM 2, durasi dan kualitas tidur berhubungan erat dengan kontrol glikemi (HbA1c). Dikatakan bahwa tidur yang baik sama pentingnya dengan latihan fisik dan pengaturan makan dalam menatalaksana pasien obesitas dan resistensi insulin.

 CPAP

Sampai saat ini, CPAP (continous positive airway pressure) menjadi standar emas. Bisa dikatakan sebagai first line therapy untuk OSA, khususnya yang derajat sedang-berat. Dengan minimal pemakaian 4-5x/minggu, efektivitasnya sangat tinggi (90-95%). Pengobatan ini dengan cepat memperbaiki kondisi pasien, dengan mengurangi kantuk di siang hari dan memperbaiki kewaspadaan.

Cara kerja CPAP, sebenarnya, sederhana: mengalirkan udara bertekanan positif melalui masker ke dalam saluran nafas. Kemungkinan saluran nafas menyempit dan/atau menutup bisa diatasi. Dan, jika terjadi henti nafas, maka aliran udara dari CPAP akan mendorong sehingga tidak terjadi penurunan kadar oksigen. Dibandingkan tindakan invasif, CPAP relatif aman, efektif dan tidak menyakitkan. Juga dapat digunakan pada pasien dengan gangguan anatomis mau pun yang tidak. Pada gangguan anatomis, diperlukan tekanan yang lebih besar.

Terlihat reduksi signifikan pada rerata tekanan darah ambulatori dengan pengobatan CPAP efektif. Diketahui, CPAP mengurangi gerakan simpatis pada OSA. Beberapa studi mengenai efek pengobatan CPAP untuk OSA pada metabolisme karbohidrat, menunjukkan perbaikan dalam sensitivitas insulin, kontrol glikemi dan HbA1c.

Studi oleh Igor A., dkk meneliti pengobatan CPAP pada 40 pasien (36 laki-laki, 4 perempuan, rerata usia 53,81 + 11,84) dengan AHI (apnea-hypopnea index) > 20. Dua hari sebelum dan 3 bulan setelah pengobatan efektif CPAP, dilakukan studi clamp hiperinsulinemik euglikemik. Sensitivitas insulin meningkat secara signifikan setelah 2 hari (5,75 + 4,20 baseline vs. 6,79 + 4,91 μmol/kg.min; p=0,003) dan tetap stabil sampai 3 bulan pengobatan. Perbaikan sensitivitas insulin setelah 2 hari, jauh lebih baik pada pasien dengan IMT < 30 kg/m2 daripada pasien obese.

Hal ini mungkin mencerminkan penurunan aktivitas simpatis, yang menunjukkan bahwa sleep apnea merupakan faktor risiko independen terhadap kenaikan resistensi insulin. Selain itu, leptin (hormon yang berasal dari adiposit yang berperan penting dalam perilaku makan dan homeostatis energi) turun selama pengobatan CPAP, bahkan tanpa penurunan BB.

Efek CPAP pada sensitivitas insulin lebih kecil pada pasien obese daripada non-obese, yang menunjukkan bahwa pada individual obese, sensitivitas insulin terutama ditentukan oleh obesitas dan lebih jauh, oleh sleep apnea. Bagaimana pun, obesitas  merupakan salah satu faktor risiko OSA. Pengobatan OSA akan lebih berpengaruh jika pasien yang obese, berhasil menurunkan BB-nya.