Ethicaldigest

Proton Pump Inhibitor Selamatkan Pasien Perdarahan Saluran Cerna Atas

Proton pump inhibitor (PPI) mendapat perhatian dalam 1o tahun terakhir. Dalam periode ini, farmakoterapi untuk perdarahan saluran cerna atas non varises difokuskan pada obat-obatan penekanan asam, dengan proton pump inhibitor.. PPI merupakan kelompok obat yang berguna menurunkan kadar asam labung dengan menghambat pompa pembentukan asam.

Penelitian menunjukkan, asam lambung merusak pembentukan klot darah, menyebabkan disagregasi platelet dan membantu fibrinolisis. Karena itu, menghambat asam lambung dan meningkatkan pH intragastrik sampai 6 atau lebih dan mempertahankannya, dapat meningkatkan stabilitas klot sehingga mengurangi kemungkinan perdarahan ulang.

Penelitian Green FW dan kawan-kawan yang dipublikasikan di jurnal Gatroenterology tahun 1978 memperlihatkan, asam lambung menghambat hemostasis pada perdarahan ulkus peptikum. Dan disagregasi platelet mulai terjadi pada pH 6. Semakin meningkat pH, disagregasi semakin menurun.           

Publikasi oleh Patchett dan kawan-kawan tahun 1989 menyebutakan, proses koagulasi normal berlangsung pada pH 6,7-7. Pada pH 6, 77% agregasi platelet larut dalam 3 menit. Pada pH 5,4, agregasi platelet terhambat sepenuhnya. Pada pH 5,0, koagulasi plasma terhambat sepenuhnya dan pada pH 4, terjadi pemecahan klot fibrin melalui aktivitas peptikum.

Meski data dari uji klinis mendukung penggunaan proton pump inhibitor bolus diikuti dengan infus kontinu, penelitian terbaru dari Amerika Utara menunjukkan bahwa infuse kontinyu dosis tinggi PPI, mungkin tidak dapat mempertahankan pH intragastrik 6 atau lebih. Penggunaan antagonis reseptor H2-histamin (H2 blockers) pada pasien dengan perdarahan ulkus lambung, tidak menghasilkan perbaikan outcome yang signfikan. Mungkin karena berkembangnya toleransi farmakologis.

PPI penekan asam  poten tidak menginduksi takifilaksis dan memiliki hasil klinis yang baik. Meta analisa terbaru memperlihatkan bahwa penggunaan PPI secara signifikan menurunkan risiko perdarahan ulang ulkus (odds ratio, 0,40; 95% confidence interval [CI], 0,24 sampai 0,67), kebutuhan operasi segera (odds ratio, 0,50; 95% CI, 0,33 sampai 0.76), dan risiko kematian (odds ratio, 0,53; 95% CI, 0,31 sampai 0,91)

Meski demikian, penurunan angka kematian hanya berlaku pada pasien dengan stigmata berisiko tinggi yang telah menjalani terapi endoskopi pertama, suatu temuan yang mendukung penggunaan terapi medis, sebagai terapi tambahan, tapi bukan pengganti hemostasis endoskopi pada pasien-pasien tersebut.

Keuntungan penggunaan PPI mungkin disebabkan keunggulannya dalam mempertahankan PH lambung pada angka di atas 6, sehingga mencegah klot ulkus dari fibrinolisis. Sediaan PPI intravena yang ada adalah pantoprazol, lanzoprazol, esomeprazol dan omeprazol. Dosis pantoprazol intravena yang dianjurkan adalah 80 mg bolus, dilanjutkan infus kontinyu 8 mg/jam. Pemberian infus kontinyu  dilanjutkan sampai 48-72 jam. Dosis esomeprazol diberikan dengan cara 40 mg bolus, dilanjutkan dengan pemberian infus kontinyu 8 mg / jam dan diberikan selama 3×24 jam.

Analisa dari 16 penelitian RCT yang melibatkan 3800 pasien menyarankan,  loading bolus IV diikuti infus continue PPI lebih efektif dibanding dosis bolus saja, dalam menurunkan angka perdarahan ulang dan kebutuhan bedah. Karena itu, sangat beralasan untuk merekomendasikan penggunaan bolus PPI IV diikuti infus kontinyu selama 72 jam setelah hesmostatik endoskopik, walau pun masih timbul kontroversi mengenai dosis optimal.

Penggunaan PPI IV dosis tinggi setelah terapi endoskopi, menunjukkan hasil yang lebih efektif dan lebih murah dibandingkan alternatif pendekatan lainnya. Pemberian PPI dosis tinggi IV selama pasien menanti endoskopi, tidak menunjukkan efek pada outcome, walau pun penggunaannya masih berhubungan dengan penurunan staging yang signifikan pada lesi endoskopi. Dengan kata lain, pasien yang menerima pengobatan lebih rendah, memiliki bukti endoskopi risiko tinggi dibanding pasien yang menerima plasebo.

Efektivitas biaya penggunaan PPI untuk indikasi, masih menuai kontroversi. Penggunaan PPI dosis tinggi secara oral pada perdarahan ulkus peptikum populasi Asia menunjukkan, ada penurunan risiko perdarahan ulang, kebutuhan bedah dan risiko kematian. Data tambahan dari penelitian RCT tentang penggunaan infus PPI dengan penggunaan PPI oral, dibutuhkan pada masyarakat Eropa  karena dosis tinggi oral dapat memberi hasil yang signifikan dalam penghematan sumber perawatan medis..

Penggunaan antagonis reseptor H2, tidak terlihat efektif untuk mengurangi terjadinya perdarahan akut saluran cerna. Dalam satu meta analisis dilaporkan kemungkinan adanya keuntungan pemberian antagonis H2 intravena, pada perdarahan karena ulkus gaster. Tapi, tidak ada manfaat pada ulkus duodenum.

Berdasarkan beberapa metaanalisis, disimpulkan bahwa PPI lebih efektif dibandingkan antagonis reseptor H2, dalam mengatasi perdarahan persisten mau pun perdarahan berulang. Sehingga, antagonis reseptor H2 tidak direkomendasikan untuk penatalaksanaan perdarahan akut saluran cerna bagian atas.

Somatostatin dan analognya, octreotide, menghambat sekresi asam dan pepsin sekaligus menurunkan aliran darah mukosa gastroduodenal. Namun, obat ini tidak secara rutin direkomendasikan pada pasien dengan perdarahan ulkus peptikum. Penelitian RCT menunjukkan, sedikit atau tidak ada manfaat bermakna baik diberikan secara tunggal atau kombinasi dengan H2 blocker. Lebih lanjut, tidak ada data kuat yang mendukung penggunaan obat-obat ini, setelah terapi endoskopi untuk perdarahan ulkus. Efektifitas sukralfat untuk penyembuhan ulkus akibat pengaruh OAINS, masih dibawah PPI. Pada sebuah penelitian terhadap 98 pasien dengan ulkus gaster dan duodenum akibat pemakaian OAINS yang diikuti selama delapan minggu, didapatkan bahwa omeprazol secara signifikan lebih cepat dalam menyembuhkan ulkus, dibanding sukralfat (87% dibanding 52%). Sedangkan pada ulkus duodenum, tidak begitu bermakna (95% dibanding 73%).

Tatalaksana Perdarahan Saluran Cerna Akut Pasien Berisiko Rendah dan Tinggi