Ethicaldigest

DTP Vaksin Lama Dilupakan Jangan

Sejak digunakan hampir 70 tahun lalu, vaksinasi DTP masih ampuh untuk menanggulangi difteri dan pertussis yang masih membayangi Indonesia.

Sudah ada sejak tahun 1949, vaksin DTP (difteri, tetanus, pertussis) masih dapat diandalkan. Di Indonesia, vaksin DTP sudah diguna­kan dalam program nasional sejak 1980. Menurut Kementrian Kesehatan RI, pada 2013 kematian dan kesakitan akibat difteri, tetanus dan pertussis, telah berkurang >90% dibanding 20 tahun lalu.

Data dari hasil Surveilans Penyakit yang Dapat Dicegah dengan Imunisasi (PD3I) menemukan, terjadi penurunan drastis ketiga penyakti tersebut sejak 1991 – 2011. Tetanus turun dari 1.427 menjadi 114 kasus; pertussis dari 30.000 menjadi hanya 1.941 kasus, dan difteri turun dari 2.200 kasus menjadi 806 kasus.

Cakupan vaksinasi DTP berdasarkan Riset Kesehatan Dasar (2013), naik dari 61,9% (2010) menjadi 75,6% (2013). Cakupan ini dinilai masih kurang; idealnya >90%. Bila melihat data rutin yang diterbitkan Pusat Data dan Informasi (Pusdatin) Kementrian Kesehatan RI, yang diterbitkan pada 2016 (data periode 2007-2015), cakupannya mencapai 99,3% (2013). Perbedaan hasil ini mungkin karena perbedaan metode pengambilan sampel di lapangan.

Meskipun cakupan nasional diatas 90%, tak ada alasan untuk lengah. “Harus dilihat lagi cakupan per kabupaten, per kecamatan hingga per kelurahan. Akan terlihat bolong-bolong; ada kantong-kantong di mana cakupannya sangat rendah,” tutur Dr. dr. Hindra Irawan Satari, Sp.A(K). Ini salah satu penyebab terjadi­nya KLB (kejadian luar biasa) difteri bebe­rapa waktu lalu.

Difteri yang disebabkan infeksi Cory­ne­bacterium diphteriae sangat berba­haya, karena merangsang pembentukan lendir yang sangat tebal hingga menutup saluran napas. Anak jadi tercekik dan sulit bernapas; ini yang kerap membuat anak tidak bisa tertolong. Leher membengkak akibat peradangan, sehingga anak tak bisa makan minum. Racun yang dihasilkan bakteri ini juga bisa merusak jantung.

Dan, penyakit ini sangat mudah menular. Membuat pasien harus diisolasi di ruang khusus. Lebih mengerikan lagi, pada KLB difteri lalu, selain menyerang anak-anak, penyakit juga menjangkiti orang dewasa.

Pada orang dewasa, pertussis jarang menimbulkan gangguan serius, tapi pada bayi bisa sangat fatal. Pertussis menye­babkan rentetan batuk keras terus mene­rus, hingga udara di paru-paru habis, mem­buat pasien menghirup udara panjang lewat mulut, disertai bunyi “whoop” ke­ras. Bayi bisa kehabisan nafas, kelelahan akibat batuk, dan rusuknya cedera.

Selain itu, Bordetella pertussis memro­duksi toksin yang merusak silia, menim­bulkan inflamasi pada saluran napas. Ini membuat batuk bisa berlangsung hingga sekitar 3 bulan, meski bakteri tersebut sudah lama hilang. Akibat batuk rejan, bisa terjadi infeksi sekunder; yang paling dikhawatirkan yakni pneumonia.

Mengenai tetanus, pada Mei 2016 Organisasi Kesehatan Dunia WHO menyatakan bahwa Indonesia sudah berhasil mengeliminasi pada ibu hamil dan neonatus. Ini sebuah pencapaian besar. Namun, seperti diungkapkan Menteri Kesehatan Prof. Dr. dr. Nila Moeloek, Sp.M, “Status eliminasi ini harus kita pelihara, dengan tetap memberikan imunisasi anti-tetanus kepada ibu hamil.”

Vaksinasi DTP lengkap harus terus diingatkan kepada orangtua. Terdiri dari tiga vaksinasi dasar saat bayi berusia 2 (DTP1), 4 (DTP2), dan 6 bulan (DTP3). Dilanjutkan dengan booster saat anak berusia 18-24 bulan (DTP4) dan 5 tahun (DTP5). Di usia 10 dan 18 tahun, booster bisa kembali dilakukan dengan vaksin Tdp atau Td. Untuk perempuan, disaran­kan, vaksinasi lagi sebelum menikah dan saat hamil di awal trimester 3 di tiap keha­milan. Vaksinasi saat hamil akan memberi proteksi kepada bayi, hingga berusia 2 bulan untuk mendapat vaksinasi DTP. (nid)