Ethicaldigest

Peran Bakteri pada Penyakit Parkinson

Penyakit Parkinson tidak semata disebabkan gangguan pada otak, tapi berhubungan dengan kondisi bakteri usus. Keluhan sembelit yang kerap menyertai Parkinson, bisa membaik dengan probiotik.

Penyakit Parkinson merupakan salah satu kelainan saraf yang paling umum, di Indonesia maupun dunia.  Diperkirakan, 1% atau 1 dari 100 orang berusia >60 tahun menyandang penyakit ini. Berdasarkan data BPS (Badan Pusat Statistik), jumlah lansia (orang lanjut usia) di Indonesia mencapai 20 juta, maka 200.000 diantaranya mungkin menyan­dang Parkinson.

Parkinson mengenai saraf motorik, sehingga fungsi gerak pasien terganggu. Penyakit ini terjadi karena neuron (sel-sel saraf vital) di otak mati dan tidak berfungsi lagi, utamanya pada bagian substantia nigra. Neuron pada substantia nigra memproduksi dopamin, neurotransmitter yang bertugas mengirim pesan yang berhubungan dengan kontrol gerak dan koordinasi tubuh. Parkinson juga berhu­bungan dengan terbentuknya gumpalan pro­tein alpha-synuclein, yang disebut juga Lewy bodies pada bagian otak yang lain.

Parkinson merupakan penyakit neuro­de­generatif, yang bersifat kronis dan progresif. Seiring jumlah dopamin yang diproduksi di otak makin sedikit, lambat laun pasien Parkinson tidak bisa me­ngon­trol gerak tubuhnya.  Tremor, gerakan yang melambat , tubuh dan anggota gerak kaku, koordinasi dan keseimbangan tubuh terganggu adalah empat tanda utama Parkinson. Perlahan tapi pasti fungsi motorik hilang, dan akhirnya fungsi kognitif ikut menurun.

Parkinson belum bisa disembuhkan. Berbagai terapi, mulai dari obat-obatan, terapi wicara hingga operasi, bertujuan untuk meredakan gejala, serta agar penyandang Parkinson tetap bisa mela­ku­kan aktivitas sehari-hari.

Terkait dengan usus

Penelitian menunjukkan, Parkinson berkaitan erat dengan kondisi gastrointestinal (GI). Misalnya yang dite­mukan oleh peneliti di Universitas Katolik Roma Sacred Heart (2011), mengkaji 48 penyandang Parkinson dengan 36 orang sehat. Hasilnya mengejutkan; >54% penyandang Parkinson mengalami SIBO (small intestine bacteria overgrowth), atau pertumbuhan bakteri yang berle­bihan di usus kecil. Sedangkan pada kelompok orang sehat, hanya 8% yang mengalami. SIBO terjadi ketika populasi bakteri usus tidak seimbang; bakteri bermanfaat kalah oleh bakteri patogen. Diduga, ini ber­hu­bungan dengan abnor­malitas pada motilitas GI.

Adapun penelitian oleh Filip Scheperjans, dkk di Finlandia (2014) mendapati bahwa bakteri usus berkaitan dengan Parkinson dan fenotipe klinis. Dilakukan pemeriksaan mikrobioma feses pada 72 pasien Parkinson dan 72 orang sehat sebagai kelompok kontrol, untuk melihat profil mikroba penghuni usus mereka. Hasilnya, pasien Parkinson memiliki bakteri dari famili Prevotellaceae yang jauh lebih sedikit, ketimbang kelompok kontrol. Tak seorang pun di kelompok pasien yang memiliki famili bakteri tersebut dalam jumlah besar. Selain itu, banyaknya Enterobacteriaceae di usus berkaitan dengan derajat keparahan masalah keseimbangan dan berjalan. Makin banyak Enterobacteriaceae yang dimiliki pasien, makin berat gejalanya.

Pada 2017, Hill-Burns EM, dkk, menguji bakteri usus pada 197 penyandang Parkinson dan 130 orang sehat. Sekali lagi ditemukan, Parkinson disertai dengan ketidakseimbangan mikrobioma usus. Obat-obatan berbeda yang digunakan untuk mengobati Parkinson juga tampak memengaruhi komposisi mikrobioma, dalam cara berbeda. Ada dugaan, suatu obat mengubah mikrobioma hingga me­nye­babkan masalah kesehatan lain seba­gai efek sampingnya. Dugaan lain, va­ria­bilitas alami mikrobioma mungkin meru­pakan alasan bahwa sebagian orang mendapat manfaat dari obat yang dibe­rikan, sedangkan yang lain tidak.

Mikrobioma membantu tubuh mele­nyapkan xenobiotik, zat kimia yang secara alami tidak ada di tubuh, dan sering berasal dari polutan. Penelitian di atas menemukan bahwa komposisi bakteri yang bertanggungjawab menghilangkan xenobiotik, berbeda pada pasien Parkin­son. Sementara itu, paparan terhadap pestisida dan herbisida telah diketahui meningkatkan risiko Parkinson. Salah satu peneliti dalam studi tersebut, Haydeh Payami, menyatakan bahwa terapi yang meregulasi ketidakseimbangan mikro­bioma, mungkin bisa membantu mengobati atau mencegah Parkinson sebelum pe­nyakit itu memengaruhi fungsi neurologis. Ia melanjutkan, diperlukan lebih banyak data untuk bisa mengambil kesimpulan besar.

Adapun Unger MM, dkk (2016) mene­mukan, konsentrasi asam lemak rantai pendek (ALRP) secara signifikan ber­kurang pada pasien Parkinson, dibanding kelompok kontrol. Filum bakteri Bac­te­roidete dan famili bakteri Prevorellaceae pun berkurang, sebaliknya Enterobacteriaceae lebih banyak pada sampel feses pasien Parkinson ketimbang kelompok kontrol. Penelitian ini melibatkan 34 pasien Parkinson dan 34 orang sehat dengan usia yang sesuai, sebagai kontrol.

Studi tersebut menegaskan hubungan antara Parkinson dengan mikrobiota usus tertentu serta berkurangnya konsentrasi ALRP, salah satu produk metabolik utama dari bakteri usus tertentu. Secara teori, berku­rangnya ALRP bisa menginduksi perubahan pada sistem saraf enterik dan berkontribusi terhadap dismotilitas GI pada Parkinson.

Mulak dan Bonaz menyebutkan bah­wa Parkinson ditandai dengan alpha-synucleinopathy, yang memengaruhi semua tingkatan brain-gut axis termasuk sistem saraf pusat, otonom dan enterik. Dalam abstraknya yang dipublikasi di World J Gastroenterology (2015), mereka menjelaskan bahwa interaksi brain-gut axis secara signifikan dimodulasi oleh mikrobiota usus melalui mekanisme imunologis, neuroendokrin dan saraf langsung. Disregulasi brain-gut-micro­biota axis pada Parkinson, bisa dikaitkan dengan manifestasi GI yang sering mendahului gejala motorik, serta patoge­nesis Parkinson. Ini mendukung hipotesis bahwa proses patologis menyebar dari usus ke otak.

Stimulasi berlebihan pada sistem imun bawaan yang disebabkan disbiosis dan/atau SIBO, serta peningkatan perme­a­bi­li­tas usus, bisa menginduksi inflamasi sis­te­mik. Pilihan terapeutik baru untuk me­modifikasi komposisi mikrobiota usus dan meningkatkan integritas barrier epitel usus pada pasien Parkinson, diduga bisa memengaruhi tahap awal dari kaskade neurodegenerasi pada Parkinson.

Probiotik

Riset di laboratorium menemukan,  probiotik dapat memperbaiki proteksi jaringan otak dan menurunkan pera­dangan di otak. Penelitian mengenai man­faat probiotik dalam pengobatan Parkin­son antara lain dilakukan oleh Cassani E, dkk (2011), melibatkan 40 penyandang Parkinson yang mengalami sembelit. Penelitian dibagi dua periode. Pada satu minggu pertama, sembelit yang dialami para partisipan hanya diatasi dengan terapi diet. Pada lima minggu berikutnya, di samping terapi diet, partisipan menerima tambahan probiotik berupa susu fermen­tasi dengan kandungan L. casei Shirota strain.

Hasilnya, terjadi perbaikan yang signifikan, setelah konsumsi probiotik. Frekuensi BAB per minggu meningkat, konsistensi feses juga membaik. Disertai berkurangnya keluhan kembung, nyeri perut, dan rasa tidak lampias setelah BAB.

Bebas sembelit merupakan salah satu indikator sehatnya saluran cerna. Fre­kuensi BAB yang teratur dan feses mudah dikeluarkan, menandakan bahwa usus bekerja dengan baik. Proses pembuangan yang lancar berarti tidak terjadi penum­pukan ampas makanan, racun dan lain-lain di usus. Risiko racun dari usus masuk ke pembuluh darah dan hinggap di otak menjadi minimal.

Untuk bisa bermanfaat, bakteri pro­biotik harus bisa mencapai usus dalam kea­daan hidup dan berkembang biak di usus. Penelitian oleh Mat Tuyet, dkk (2017) membuktikan hal ini. Sebanyak 26 orang Vietnam usia dewasa diminta me­ngon­sumsi susu fermentasi dengan L. casei Shirota strain, selama 14 hari. Contoh feses dikumpulkan sebelum, selama dan setelah konsumsi probiotik.

Setelah konsumsi probiotik selama 7 hari ditemukan L. casei Shirota strain pada feses mereka. Pada 8 partisipan, bakteri tersebut masih terlihat di feses pada 14 hari setelah konsumsi probiotik dihentikan.

Saat berhasil mencapai usus, bakteri probiotik akan tumbuh dan merangsang pertumbuhan bakteri bermanfaat lainnya, sehingga terbentuk koloni bakteri baik. Inilah yang akan membantu pertahanan alami usus, sehingga usus lebih kuat. Proses pengolahan makanan mulai dari pencernaan, penyerapan hingga pem­buangan berjalan lancar.

Bakteri bermanfaat seperti Lactobacillus memetabolisme karbohidrat menjadi ALRP. Bakteri bermanfaat juga membantu produksi hormon dan neurotransmitter, termasuk dopamin. (nid)