Ethicaldigest

Potensi Probiotik dalam Tatalaksana Penyakit Lever

Studi menemukan korelasi antara bakteri usus dengan penyakit lever. Ditemukan bahwa probiotik bermanfaat dalam tatalaksana maupun mencegah infeksi pascaoperasi.

Penyakit lever termasuk dalam 10 besar penyakit penyebab kematian di Indonesia. Berdasarkan analisis Badan Penelitian dan Pengem­ba­ngan Kesehatan (Balitbangkes) Kemen­te­rian Kesehatan RI tahun 2015, penyakit lever menduduki peringkat tujuh (2,7%). Data ini dikumpulkan dari 41.590 kematian sepanjang 2014, yang dilakukan otopsi verbal. Adapun menurut Organisasi Ke­se­hatan Dunia WHO tahun 2013, jumlah pen­derita penyakit lever di Indonesia men­capai 28 juta orang, dengan penyebab ter­banyak (sekitar 70%) hepatitis B. Sekitar 3-5 juta orang ditengarai menderita sirosis.

Selama ini, pengobatan penyakit lever hanya fokus pada organ lever. Pada­hal, sesungguhnya, ada hubungan timbal balik yang jelas antara lever dengan usus. Abbas Fooladi, dkk dalam studinya (2013) me­nye­butkan, mikroflora pada lumen usus ber­pe­ran penting dalam fungsi he­pa­­tosit. Perubahan jenis dan jumlah mi­kroor­ga­nisme usus, bisa menyebabkan dis­­fungsi lever yang serius dan berbaha­ya seperti sirosis, perlemakan hati non al­ko­hol (PHNA), hingga ensefalopati hepatik.

Juga disebutkan bahwa peningkatan jumlah mikroba pathogen khususnya spe­sies Enterobacteriaceae, enteroko­kus dan streptokokus, menyebabkan naiknya per­meabilitas usus dan translokasi bak­teri. Kadar lipopolisakarida (LPS) dan subs­tansi bakteri yang tinggi dalam da­rah, memicu hipertensi portal dan keru­sak­an hepatosit.

Pertumbuhan bakteri yang berlebihan hingga translokasi

Abbas Fooladi menjabarkan hubung­an antara mikroflora usus dan pathogenesis beberapa penyakit lever. Dalam PHNA misalnya, dikemukakan teori yang menyebutkan bahwa komponen berba­haya yang berlebihan seperti LPS bakteri, substansi pemicu inflamasi dan substrat energi berbeda akibat pertumbuhan mikroflora yang berlebihan, merupakan faktor kausal. Overproduksi etanol dan endotoksin serta fenomena translokasi bakteri, diikuti pertumbuhan abnormal bakteri gram negatif, stimulasi imunitas bawaan di lever dan induksi kerusakan oksidasi hati menyebabkan perlukaan pada lever hingga sirosis.

Pada hepatitis akibat infeksi virus, kadar endotoksin dalam plasma mening­kat pada pasien penyakit hepatitis B dan C. Sitokin pro inflamasi dan nekrosis yang dilaporkan pada pasien-pasien ini, menye­babkan kerusakan lever jangka panjang. Hasil studi tentang efek laktitol terhadap jumlah endotoksin pada darah pasien hepa­titis B dan C menunjukkan, endotok­semia bisa dikurangi dengan mening­katkan jumlah Bifidobacteria dan Lactobacillus, serta mencegah pertumbuhan bakteri pathogen.

Adapun Robert S. Lo, dkk dalam stu­dinya (2014) menyatakan bahwa pada pa­sien dengan sirosis hati, terjadi koloni­sa­si usus halus oleh bakteri kolon. Seti­dak­nya 50% pasien memiliki overpopulasi bakteri usus, bila dibandingkan dengan individu sehat yang hanya memiliki sejum­lah kecil bakteri tersebut di usus halusnya.

Diduga, penyebab utamanya yakni hipoklorhidria, penurunan sekresi IgA, penurunan motilitas usus, dan malnutrisi. Dalam pengaturan klinis, meningkatkan mortilitas usus halus dengan Cisapride, terlihat mengurangi overpopulasi bakteri pada pasien dengan sirosis.

Terkait translokasi bakteri, hal ini bisa di­artikan sebagai migrasi bakteri dari lumen usus ke nodul getah bening mesen­trik pada lokasi ekstraintestinal lain. Bak­teri yang paling efektif bertranslokasi yakni anggota Gram-negatif pada famili Enterobacteriaceae seperti E. coli dan Klebsiella spp, enterokokus dan spesies streptokokus lain.

Pada pasien yang menjalani transplan­tasi lever atau reseksi lever, kultur nodul ge­tah bening mesentrik positif untuk bakteri enterik ditemukan pada hampir 31% sirotik Child-Pugh kelas C; lima kali lebih tinggi daripada Child-Pugh kelas A atau B. Hampir 20% pasien sirosis yang men­jalani hepatektomi parsial ditemukan kul­tur nodul getah bening mesentrik positif, dan sebagian besar infeksi pascaoperasi disebabkan oleh bakteri yang sama.

Mekanisme kerja probiotik

Melihat hubungan yang begitu erat antara bakteri usus dengan penyakit lever, masuk akal bila probiotik dianggap berpotensi dalam tatalaksana penyakit lever. Abbas Fooladi dalam studinya me­nulis, terapi dengan probiotik lebih aman dan lebih murah ketimbang pengo­bat­an dengan prebiotik dan antibiotik.

Berdasarkan studi Abbas Fooladi maupun Robert Lo, mekanisme kerja pro­biotik dalam penyakit lever bisa dirangkum sebagai berikut. Probiotik berkompetisi dengan bakteri pathogen sehingga bisa menekan populasi bakteri pathogen, serta mencegahnya menempel pada epitel usus atau menginvasi saluran cerna. Hal ini akan mencegah/menghambat terjadinya trans­lo­kasi bakteri. Fungsi barrier mukosa usus dan permeabilitas usus membaik dengan konsumsi probiotik, yang diikuti dengan penurunan adsorbsi amonia.

Terkontrolnya kuantitas bakteri de­ngan kon­sumsi probiotik, bisa mengha­silkan pe­nu­runan endotoksin dan senya­wa toksik lain dari bakteri seperti etanol, yang menye­babkan luka pada lever. Pada akhir­nya, pe­nu­runan senyawa toksik di hati akan me­ngu­­rangi produksi sitokin pro inflamasi seperti TNF-±, IL-6 dan IFN-³. Sebaliknya, sito­kin protektif seperti IL-10 dan TGF-² terinduksi.

Vanessa Stadlbauer, dkk (2008) meneliti efek pengobatan dengan probiotik, pada pa­sien dengan sirosis dengan respon sito­kin dan fungsi neutrofil terganggu. Dalam studi ini, 12 pasien sirosis alkoholik me­nerima L. casei Shirota strain tiga kali se­hari selama 4 minggu. Datanya lalu diban­dingkan dengan kelompok kontrol sehat (n=13) dan pasien sirosis yang tidak menerima probiotik (n=8).

Pada baseline, kapasitas fagositik neutrofil pasien secara signifikan lebih rendah dibandingkan kontrol sehat (73% vs 98%). Di akhir studi, ini menjadi normal pada kelompok probiotik, tapi tidak terjadi perbaikan pada kelompok kontrol sakit. Soluble TNF-reseptor (TNFR)-1 dan -2 serta IL10 secara signifikan naik pada plasma pasien, tapi tidak berubah selama studi. Kadar sTNFR-1, sTNFR-2 dan IL10 yang distimulasi endotoksin ex vivo lebih rendah secara signifikan di akhir studi. Terjadi overekspresi TLR2, 4 dan 9 pada pasien dan ekspresi TLR4 menjadi normal di akhir studi.

Disimpulkan bahwa probiotik dapat memperbaiki kapasitas fagositik neutrofil pada sirosis. Kemungkinan dari perubah­an sekresi IL10 dan ekspresi TLR4. Dibu­tuhkan studi mekanistik dan kontrol acak yang lebih besar.

Adapun studi oleh Eguchi S, dkk (2010) meneliti pengobatan dengan sin­bio­tik saat perioperatif, untuk mencegah komplikasi infeksi pada pasien setelah menjalani transplantasi lever dari donor hidup (TLDH). Studi ini melibatkan 50 pasien dewasa yang menjalani TLDH sepanjang September 2005 hingga Juni 2009. Mereka secara acak dibagi menjadi dua kelompok. Satu kelompok menerima terapi sinbiotik berupa bifidobac­terium breve, L. casei dan galak­tooli­go­sakarida selama dua hari perioperatif dan 2 minggu pascaoperasi. Pada tiap kelompok, dilaku­kan pencatatan komplikasi infeksi pas­ca­operasi dan mikroflora feses sebelum dan sesudah TLDH.

Hasilnya, hanya terjadi satu infeksi sistemik pada kelompok sinbiotik (4%), sedangkan pada kelompok kontrol terjadi 6 komplikasi infeksi (24%), dengan tiga kasus sepsis dan tiga infeksi saluran ke­mih (ISK) oleh Enterococcus spp. Disim­pul­kan, pemberian terapi sinbiotik perio­pe­­ratif secara signifikan menurunkan kom­plikasi infeksi setelah TLDH.

Studi sebelumya oleh Kanazawa H, dkk (2005) menemukan bahwa terapi sinbiotik mengurangi komplikasi infeksi pada pasien kanker empedu, yang menja­lani hepatek­to­mi. Pada studi ini, 54 pasien kanker empedu secara acak dibagi untuk mene­rima: makanan enteral pascaoperasi yang men­cakup sinbiotik, atau makanan enteral saja. Sebanyak 44 pasien menye­le­saikan studi (21 menerima sinbiotik, 23 sebagai kontrol).

Hasilnya, jumlah bakteri bermanfaat me­ning­kat pada kelompok sinbiotik setelah operasi, tapi jumlahnya justru turun pada ke­lom­pok kontrol. Sebaliknya jumlah bakteri ber­bahaya turun pada kelompok sinbiotik, tapi meningkat pada kelompok kontrol. Total konsentrasi asam organik naik pada kelom­pok sinbiotik, tapi turun pada kelompok kon­trol. Terjadi 19% insiden komplikasi infeksi pa­da kelompok sinbiotik, jauh lebih sedikit di­bandingkan 52% pada kelompok kontrol. Di­simpulkan, kombinasi sinbiotik dengan nu­trisi enteral bisa menurunkan infeksi pasca­ope­rasi. Diduga, manfaat ini berhubungan dengan perbaikan keseimbangan mikroba usus, yang terganggu akibat stres operasi.

Adapun Hirofumi Okubo, dkk (2013) me­nyelidiki tikus dengan NASH (non­al­co­­­holic steatohepatitis) yang diinduksi diet MCD (methionine-choline-deficient), dan efek administrasi L. casei Shirota strain dalam perkembangan NASH. Tikus di­bagi menjadi tiga kelompok; satu ke­lom­pok diberi makan diet chow normal (DCN), satu kelompok diberi diet MCD, dan ke­lom­pok lain diberi diet MCD plus L. casei Shi­rota strain per oral selama enam minggu.

Analisis mikrobiota usus pada ketiga ke­lompok menunjukkan bahwa bakteri asam lak­tat seperti Bifidobacterium dan Lactobacillus di feses berkurang dengan diet MCD. Yang menarik, adminsitrasi oral L. casei Shiro­ta strain tidak hanya meningkatkan subgroup L. casei, tapi juga bakteri asam laktat lainnya.

Perkembangan NASH dievaluasi berdasarkan temuan histokimia hepatik, parameter serum, serta berbagai mRNA dan/atau tingkat ekspresi protein. Inter­ven­si L. casei Shirota strain menekan per­kem­bangan NASH yang diinduksi diet MCD, dengan penurunan konsentrasi serum lipopolisakarida, penekanan infla­ma­si dan fibrosi di lever, serta ber­ku­rang­nya inflamasi kolon. Berkurangnya popu­la­si bakteri asam laktat di kolon mungkin ber­peran dalam pathogenesis NASH yang diin­duksi diet MCD. Normalisasi mikro­biota usus efektif untuk mengobatinya.(nid)