Ethicaldigest

Peranan Probiotik Cegah Muntaber di Musim Hujan

Musim hujan tiba, banjir mengintai. Banjir dapat menimbulkan berbagai penyakit, salah satunya muntaber. Studi menunjukkan, pemberian probiotik bisa mencegah dan/atau membantu mengatasi diare.

Musim hujan tiba, gastroenteritis akut atau lebih dikenal awam sebagai muntaber, mulai me­nam­pakkan diri. Secara umum, gastroenteritis bisa disebabkan oleh infeksi virus, bakteri, atau parasit; bisa pula karena keracunan zat-zat iritan.

Terkait infeksi, mikroba patogen menyebar melalui makanan dan sumber air minum yang terkontaminasi. Genangan air, banjir, hingga tanah becek yang terjadi saat musim hujan, mempermudah penye­baran. Belum lagi kerumunan lalat akibat bang­kai hewan yang bertebaran usai ban­jir, kecoak yang berhamburan dari sarang­nya yang teredam air.

Gastroenteritis lebih mudah menyebar di lingkungan yang padat. Risiko terjadi­nya gastroenteritis sangat tinggi pada pen­duduk, yang terpaksa mengungsi aki­bat kebanjiran, terutama anak-anak. Apa­lagi, fasilitas sanitasi dan sumber air bersih di tempat pengungsian umumnya minim dan tidak memadai.

Semua kelompok umur bisa terkena gastroenteritis; anak-anak dan orang lanjut usia (lansia) utamanya lebih rentan, dan keluhan umumnya lebih berat. Selain diare dan muntah-muntah, gastroenteritis kerap menimbulkan kram perut dan demam. Pada anak kecil, gastroenteritis bisa fatal. Bisa menyebabkan kematian, utamanya akibat dehidrasi.

Diare merupakan salah satu penyebab utama kematian anak usia <5 tahun. CDC menyebut, diare membunuh 2.195 anak setiap hari; ini lebih banyak daripada AIDS, malaria, dan campak jadi satu. Ditengarai, 1 dari 9 kematian anak dise­bab­kan diare. Muntaber relatif jarang me­nyebabkan kematian pada orang dewasa, tapi bukan berarti bisa dianggap enteng.

Belum lama ini (April 2019), kita baru saja menghadapi KLB (kejadian luar biasa) muntaber di Gorontalo Utara. Ratusan orang dirawat, dan sangat disesalkan, dua anak balita meninggal dunia.

Pemanfaatan probiotik

Rehidrasi oral untuk menggantikan cairan dan elektrolit yang hilang akibat diare dan muntah, merupakan tatalaksana utama dalam kasus gastroenteritis akut. Pada kasus yang lebih berat, mungkin dibutuhkan rehidrasi secara intravena. Organisasi Kesehatan Dunia WHO merekomendasikan suplementasi zinc, untuk membantu memperbaiki hidrasi oral. Antibiotik tidak perlu, bila gastroenteritis disebabkan oleh virus.

Selain rehidrasi, probiotik kerap diberi­kan, termasuk pada gastroenteritis akibat virus. Studi in vivo dan in vitro mene­mu­kan beberapa mekanisme perlindungan probiotik. Antara lain dengan mem­pro­duksi senyawa antimikroba (asam laktat, nitric oxide, H2O2 dan bakteriosin), mensti­mu­lasi peptide antimikroba, merangsang produksi musin oleh sel-sel epitel, hingga menstimulasi respon imun adaptif lokal (respons IgA spesifik) dan respon imun bawaan.

Pemberian probiotik juga membantu mengembalikan/menjaga keseimbangan mikrobiota usus. Beberapa studi mene­mukan, keseimbangan flora usus bisa terganggu saat terjadi gastroenteritis akut. Bila ini terjadi, masalahnya bisa bertambah pelik; risiko terjadinya infeksi oportunis oleh bakteri meningkat. Bila terjadi infeksi bakteri, dibutuhkan antibiotik, sedangkan konsumsi antibiotik makin memperparah kondisi mikrobiota usus. Salah satu dampak yang paling dikhawatirkan, yakni diare berat akibat infeksi C. difficile.

Penelitian mengenai manfaat probiotik untuk mengatasi diare, telah dilakukan sejak lama. Misalnya studi in vivo oleh Jacalne AV, dkk (Acta Medica Philippina, 1990). Dalam penelitian ini, ditemukan bahwa pemberian 40 ml probiotik dengan kandungan L. casei Shirota strain kepada tikus dengan berat 200-250 gr, efektif mencegah diare akibat E. coli dan vibrio kolera (V. cholera E1 dan V. cholera klasik). Probiotik diberikan secara oral, selama tujuh hari berturut-turut.

Tampak bahwa perlakuan ini memberi tingkat protektif hingga 97,22% terhadap dia­re akibat E. coli enterotoksik, 94,44% ter­­ha­dap V. cholera E1, dan 91,66% terha­dap V. cholera klasik. Dibutuhkan sekitar 3 – 5 hari pemberian  L. casei Shirota strain untuk mendapat proteksi moderat terha­dap dia­re, dan 6-7 hari untuk proteksi mak­si­mum. Disimpulkan bahwa pemberian L. casei Shirota strain merupakan agen biolo­gis yang aman dan efektif, yang bisa digu­na­kan untuk mencegah dan mengatasi diare.

Penelitian yang lebih baru, dilakukan Sur D, dkk (Epidemiology and Infection, 2011) di area kumuh perkotaan di India. Penelitian terkontrol, acak, dan tersamar ganda ini melibatkan 3.758 anak usia 1 – 5 tahun di Kolkata. Mereka secara acak dibagi menjadi dua kelompok. Satu kelompok mendapat minuman probiotik dengan L. casei Shirota strain, kelompok lain diberi minuman bernutrisi, setiap hari selama 12 minggu. Selanjutnya, dilakukan follow-up selama 12 minggu berikutnya.

Outcome utama studi yakni kemun­culan episode diare pertama, yang dinilai selama 2 minggu studi dan 12 minggu follow-up. Selama periode 24 minggu ini, ditemukan 608 anak yang mengalami diare pada kelompok probiotik, dan 674 anak pada kelompok minuman bernutrisi. Tingkat efikasi protektif untuk probiotik yakni 14%; tidak ada efek samping dari probiotik maupun minuman bernutrisi. Studi tersebut menyatakan, asupan minu­man probiotik sehari-hari bisa berperan dalam pencegahan diare akut pada anak kecil dalam suatu komunitas di negara berkembang.

Studi oleh Nagata S, dkk (British Journal of Nutrition, 2011) menemukan efek positif dari susu fermentasi L. casei Shi­rota strain, terhadap demam akibat wabah gastroenteritis norovirus di fasilitas layan­an kesehatan untuk lansia. Sebanyak 77 lansia (rerata usia 84 tahun) diikutsertakan dalam studi ini. Mereka secara acak dibagi menjadi dua kelompok. Satu kelompok (n=39) diberi susu fermentasi dengan kan­dungan L. casei Shirota strain, kelompok lain tidak mendapat susu fermentasi (n=38).

Selama periode satu bulan, tidak ada perbedaan signifikan dalam insiden gastroenteritis akibat norovirus antara dua kelompok. Namun ditemukan, rerata dura­si demam (>37oC) saat terjadi gastroenteritis lebih pendek pada kelompok pro­bio­tik (rerata 1,5 hari vs 2,9 hari). Ana­lisis PCR RT-kuantitatif yang menargetkan RNA ribosomal menunjukkan bahwa Bifidobac­terium dan Lactobacillus, tam­pak dominan pada sampel feses dari ke­lompok probiotik, sedangkan Enterobacteriaceae tampak berkurang. Konsentrasi asam asetat pada feses pun meningkat secara signifikan.

Disimpulkan, asupan susu fermentasi dengan L. casei Shirota strain bisa berkontribusi positif terhadap perbaikan demam, akibat gastroenteritis norovirus. Ditengarai, hal ini karena probiotik mengo­reksi ketidakseimbangan mikroflora usus.

Manfaat probiotik dalam pencegahan diare akibat antibiotik, dilakukan oleh Stockenhuber A, dkk (2008). Dalam peneli­ti­an ini, pasien yang dirawat di RS (n=340, rerata usia 71) diberi sebotol minuman probiotik L. casei Shirota strain. Probiotik dikonsumsi selama periode pemberian anti­biotik, dilanjutkan selama 3 hari sete­lahnya. Sebagai kelompok kontrol yakni 338 pasien yang mendapat terapi anti­biotik, tapi tidak menerima probiotik. Efikasi probiotik dinilai dengan memban­dingkan insiden diare terkait antibiotik atau AAD (antibiotic-associated diarrhea) dan deteksi toksin C. difficile, pada pasien yang mengalami diare.

Hasilnya, hanya 5% (17 dari 340) pasien di kelompok probiotik yang meng­a­lami AAD, sedangkan di kelompok kon­trol mencapai 18% (63 dari 338). Adapun diare yang terkait dengan C. difficile atau CDAD (C. difficile-associated diarrhoea) tidak ditemukan pada kelompok probiotik (0%), dan 6% (21 dari 338 pasien) pada kelompok kontrol. Disimpulkan, asupan probiotik berupa susu fermentasi dengan kandungan L. casei Shirota strain sehari sekali, selama dan setelah periode terapi antibiotik, bisa mengurangi insiden AAD dan CDAD pada pasien lansia.

Mengantisipasi terjadinya banjir di musim hujan yang datang tak lama lagi, pemberian probiotik bisa dipertimbangkan untuk mencegah diare. Khususnya pada kelompok masyarakat yang terpaksa mengungsi akibat banjir. (nid)