Ethicaldigest

Melawan Bakteri Resistan Antibiotik dengan Probiotik

Masalah resistansi obat antibiotik menjadi masalah di seluruh dunia. Menurut berbagai penelitian, probiotik berpotensi besar  untuk mengatasi masalah ini.

Mikroba yang resistan terhadap satu atau beberapa jenis antimikroba, kini menjadi masalah besar di seluruh dunia. Hal ini mengancam kemampuan kita untuk mengobati penyakit infeksi umum, menye­babkan penyakit berlangsung lebih lama, disabilitas, bahkan kematian. Pengobatan menjadi lebih mahal, dan perawatan harus lebih intensif. Tanpa antimikroba yang efektif untuk mencegah dan mengobati infeksi, berbagai prosedur medis seperti transplantasi organ, kemoterapi, tatalak­sana diabetes, dan berbagai prosedur operasi terancam gagal.

Resistansi antibiotik disebut sebagai “tsunami sunyi terhadap pengobatan modern”. Pada 2016 Organisasi Kesehat­an Dunia WHO menyebutkan, secara global sekitar 490.000 orang mengembangkan TB MDR (multi-drug resitant). Sedang­kan di Amerika Serikat (AS) berdasar laporan CDC (Centers for Disease Control and Prevention) terbaru, terjadi sedi­kitnya >2 juta penyakit dan >23.000 kema­tian, akibat resistansi antibiotik. Laporan ini juga menyebutkan, infeksi bisa terjadi di mana saja. Umumnya, kematian terjadi di lingkungan perawatan kesehatan, seperti rumah sakit (RS) dan panti jompo.

CDC juga menyebutkan, resistansi antibiotik terjadi dalam empat tahap. Awalnya, dari sekian banyak bakteri, hanya sedikit yang resistan. Konsumsi antibiotik membunuh semua bakteri yang ada, termasuk bakteri bermanfaat yang melindungi tubuh dari infeksi. Karena bakteri bermanfaat mati, bakteri resistan berkesempatan tumbuh subur dan meng­ambil alih komando. Beberapa bakteri memberi resistansi kepada bakteri lain, dan menimbulkan masalah lebih jauh lagi.

Harapan pada probiotik

Banyak penelitian untuk mencegah infeksi, dengan memanfaatkan probiotik. Misalnya yang dilakukan Asahara T, dkk (Journal of Applied Microbiology, 2011). Penelitian ini tentang efek protektif L. casei Shirota strain, terhadap infeksi mematikan Salmonella enterica serovar Typhi­murium DT104 (DT104) MDR pada tikus, sebagai infeksi oportunistik yang diinduk­si oleh antibiotik.

Ditemukan, ledakan pertumbuhan DT104 dan translokasinya di luar saluran cerna selama pemberian fosfomisin, secara signifikan dihambat oleh adminis­trasi L. casei Shirota strain oral yang kontinyu. L. casei Shirota strain yang secara alamiah resistan terhadap fosfomi­sin, diberikan dengan dosis 10(8) CFU (colony-forming units)/tikus/hari.

Efek ini dibandingkan dengan bebe­rapa strain Lactobacillus lain, yang juga resistan terhadap fosfomisin secara alami. Ditemukan bahwa Lactobacillus brevis ATCC 14869(T), Lactobacillus planta­rum ATCC 14917(T), Lactobacillus reuteri JCM 1112(T), Lactobacillus rhamnosus ATCC 7469(T) dan Lactobacillus salivarius ATCC 11741(T). Hasil­nya, strain Lactobacillus tersebut tidak menampakkan aktivitas inhibisi, sekalipun tingkat populasinya tinggi hingga hampir menyamai strain yang efektif seperti L. casei Shirota strain, L. casei ATCC 334(T), dan L. zeae ATCC 15820(T).

Ditengarai, yang berperan penting dalam mencegah infeksi adalah aktivitas metabolik Lactobacillus. Yakni mening­kat­nya konsentrasi asam organik dan terpeliharanya pH yang rendah di usus, yang dihasilkan kolonisasi Lactobacillus.

Antibiotik seperti fosfomisin meng­gang­gu aktivitas metabolik mikrobiota usus, yang menghasilkan asam organik. Untuk profilaksis terhadap infeksi usus oportunistik yang disebabkan patogen MDR seperti DT104, sebaiknya hanya digunakan strain probiotik yang aktif secara metabolik in vivo, sebagai kombi­nasi dengan antibiotik tertentu.

Adapun Tiengrim S, dan Thamlikitkul V, (Journal of the Medical Association of Thailand, 2012) menemukan aktivitas inhibisi dari susu fermentasi dengan L. casei Shirota strain (FMLC) terhadap bakteri MDR umum, penyebab infeksi yang didapat di RS.

Dalam penelitian tersebut, digunakan FMLC dan cell-free filtered fluid of FMLC (CF-FMLC) untuk melawan Acinetobac­ter baumannii, Pseudomonas aerugino­sa, Escherichia coli penghasil ESBL, Klebsiella pneumoniae, dan Staphylococcus aureus resistan metisilin. Sebagai solusi kontrol digunakan Mueller Hinton broth (MHB) dan air suling. Selanjutnya, dipersiapkan mikstur FMLC, CF-FMLC, <HB dan air suling dengan 10(5) hingga 10(6) CFU/ml dari tiap bakteri, dan diinku­basi pada suhu 35 derajat Celcius.

Bakteri hidup pada tiap misktur dinilai pada 0, 1, 3, 6, dan 24 jam setelah inkubasi, ke dalam piring agar-agar infus otak jantung (brain heart infusion). Piring agar yang sudah diinokulasi kemudian diinku­basi pada suhu 35 derajat Celcius selama 24-48 jam. Koloni bakteri pada piring agar kemu­dian dihitung, dan dibandingkan di antara mikstur.

Hasilnya, log CFU tiap organisme pada MHB dan air suling setelah inkubasi meningkat dari 5,1-6,3 pada jam 0 hingga 6,4- >11 pada jam 24. Sedangkan log CFU tiap organisme pada FMLC dan CF-FMLC setelah inkubasi bakteri pada jam 0, 1, 3, 6, dan 24, justru menurun hingga tidak terdeteksi di jam 24. Disimpulkan, FMLC dan CF-FMLC memiliki aktivitas inhibisi lambat terhadap bakteri MDR, yang beru­jung pada eradikasi semua bakteri yang diteliti dalam 24 jam. Efek tersebut diduga karena produk dari susu yang difermenta­sikan oleh L. casei Shirota strain. Diperlu­kan studi klinis untuk memastikan, apakah konsumsi FMLC bisa mencegah dan mengobati kolonisasi dan infeksi bakteri MDR pada pasien yang dirawat di RS.

C. H. Thomson, dkk (Journal of Wound Care, 2013) menyelidiki peranan L. casei Shirota strain, dalam melawan Pseudomonas aeruginosa MDR. Pseudomonas aeruginosa MBL VIM (metallo-²-lacta­mase) yang sangat resistan terhadap obat, ditemukan pada seorang pasien dengan luka bakar deep dermal  54% dan ketebalan penuh pada leher, dada, perut atas, dan anggota tubuh bagian atas. Keberadaan kuman tersebut tampak berhubungan dengan luka yang rusak dan tak kunjung sembuh.

Organisme ini juga ditemukan meng­ko­lonisasi saluran pencernaan pasien, yang diduga merupakan reservoir untuk reinfeksi luka-lukanya. Dilakukan pengo­bat­an oral probiotik (susu fermentasi dengan L. casei Shirota strain) untuk memperbaiki flora usus pasien.

Dua minggu setelah regimen ini dimu­lai, P. aeruginosa pada luka pasien berubah dari MDR menjadi strain yang sensitif terhadap berbagai obat. Perubah­an ini bertahan hingga pasien akhirnya boleh pulang dari RS.

Hubungan temporal yang terlihat antara pemberian probiotik sekali sehari dan perubahan pada organisme MDR, menjadi sensitif terhadap berbagai obat.

Studi kasus juga dilaporkan Yutaka Kanamori, dkk (Pediatrics International, 2003), pada kasus enteritis MRSA (Methicillin-resistant Staphylococcus aure­us). Enteritis fulminan akibat infeksi S. aureus, banyak dilaporkan sejak 1950-an. Kasus-kasus seperti itu biasanya muncul dengan masalah klinis berat seperti nekrosis, perforasi dan sepsis sistemik. Sebagian besar kasus memiliki riwayat pengobatan dengan antibiotik profilaktik, menyusul operasi abdomen. Kini banyak laporan S. aureus yang sensitif terhadap metisilin, tergantikan dengan MRSA. Vankomisin efektif melawan MRSA. Namun mulai muncul MRSA yang kurang sensitif terhadap vankomisin di Jepang, sehingga perlu strategi yang benar-benar berbeda untuk mengontrol bakteri patogen yang resistan terhadap antibiotik.

Dalam laporannya, Kanamori mema­par­kan kasus seorang bayi lelaki usia 3 bulan dengan sindrom Down. Ia dibawa ke  RS dengan demam tinggi dan diare. Didiagnosis enterokolitis, dan pasien diobati dengan antibiotik selama sekitar 20 hari. Pasien juga dicurigai memiliki penyakit Hirschprung. Pada perawatan di RS hari ke-44, pasien dipindahkan ke fasilitas di mana Kanamori bekerja, untuk investigasi lebih lanjut. Kondisi pasien memburuk akibat enterokolitis fulminan yang diderita, dan ia mengalami sepsis. Diambil tindakan intensif, termasuk transfusi dan hemodialisis.

Selama beberapa hari fesesnya encer, hijau, dan berlendir. Berdasar analisis, hanya MRSA yang terdeteksi pada sampel feses. Ditegakkan diagnosis enterokolitis MRSA fulminan, dan pasien diberi vankomisin oral dengan dosis 120 mg/hari. Setelah 16 hari pengobatan dengan vankomisin, MRSA sudah tidak ada di feses, dan bakteri apapun serta jamur  Candida tidak terdeteksi melalui kultur. Hal ini bisa dibilang abnormal.

Untuk mengembalikan flora bakteri usus yang normal, dimulai administrasi L. casei Shirota strain 3 gr/hari dan galakto­oli­gosakarida, dikombinasi dengan vankomisin oral. Flora anaerob dominan di usus, berhasil direkonstruksi dengan terapi sinbiotik.

Di laman Probiotic, Prebiotic, and Health, Kanamori menjelaskan bahwa terapi sinbiotik yang dilakukan dalam beberapa studi, efektif mengubah mikro­bio­ta usus abnormal menjadi populasi sehat yang didominasi bakteri probiotik, dalam jangka pendek. Hasil akhirnya, usus didominasi bakteri anaerob komen­sal. Mikrobiota abnormal ditandai dengan kurangnya bakteri anaerob dan mening­katnya bakteri patogen.

Pada pasien dengan sindrom disfung­si usus, tidak terjadi enterokolitis berat se­te­lah terapi sinbiotik. Bobot tubuh pa­sien meningkat, dan nilai serum rapid-tur­nover protein pun meningkat secara statistik. (nid)