Ethicaldigest

Memanfaatkan Probiotik Cegah Infeksi Nosokomial

Infeksi nosokomial menimbulkan banyak kerugian, bagi pasien maupun instansi yang membayar biaya perawatan. Berbagai penelitian menunjukkan manfaat probiotik sebagai tindakan preventif, untuk pasien anak hingga lansia.

Pasien yang dirawat di rumah sakit (RS) menghadapi berbagai risiko kesehatan, misalnya infeksi nosokomial. Infeksi nosokomial diartikan sebagai infeksi yang tidak ada saat pasien masuk RS, lalu terjadi dalam >48 jam setelah pasien dirawat.

Kondisi ini merupakan masalah di seluruh dunia, baik di negara maju maupun negara berkembang. Ditengarai, infeksi nosokomial paling banyak terjadi di daerah Mediteranian Timur (11,8%) dan Asia Tenggara (10%). Sedangkan di Eropa, prevalensinya diperkirakan sekitar 7,7%. Di Amerika Serikat (AS), sekitar 4-5% pasien yang dirawat terjangkit infeksi nosokomial, dan sekitar 75.000 orang meninggal setiap tahunnya. Bayi, orang lanjut usia (lansia) dan pasien dengan sistem imun lemah, lebih rentan mengalami infeksi nosokomial.

Mikroba penyebab infeksi nosokomial bisa berupa bakteri, virus, maupun jamur. Yang mengkhawatirkan, mikroba tersebut resisten terhadap berbagai antibiotik, akibat tingginya penggunaan antibiotik di RS.

Pneumonia—utamanya akibat pemasangan ventilator (ventilator-associated pneumonia/ VAP), infeksi saluran kemih (ISK), infeksi daerah operasi, dan infeksi darah, termasuk infeksi nosokomial yang paling jamak terjadi. Ini juga disebutkan oleh Hassan Ahmed Khan, dkk, dalam studinya (Asian Pacific Journal of Tropical Biomedicine, 2017). Pasien terpapar mikroba patogen melalui berbagai sumber. Termasuk petugas medis, dan pasien lain.

Infeksi nosokomial kerap menimbulkan disabilitas fungsional dan stress pada pasien, karena dapat menurunkan kualitas hidup. Risiko kematian juga mengancam; infeksi nosokomial merupakan salah satu penyebab utama kematian. Belum lagi lama tinggal di RS, yang menjadi lebih panjang, dan tentu meningkatkan biaya perawatan. Tak hanya biaya langsung, tapi juga biaya tidak langsung akibat hilangnya produktivitas kerja.

Pencegahan dan pengendalian infeksi nosokomial harus dilakukan secara komprehensif. Melibatkan dokter dan perawat, pihak RS, ahli mikrobiologi, pelayanan sterilisasi, hingga pelayanan makan dan housekeeping. Cara-cara baru terus dicari, untuk menekan risiko infeksi nosokomial hingga serendah mungkin. Penggunaan probiotik, menurut berbagai studi, patut dipertimbangkan sebagai salah satu cara melakukan pencegahan.

Probiotik dan pencegahan VAP

Banupriya, dkk (Intensive Care Medicine, 2015) membuktikan manfaat probiotik, sebagai profilaksis untuk mencegah VAP. Sebanyak 150 anak (usia maksimal 12 tahun) yang dirawat di PICU dan membutuhkan ventilasi selama >48 jam, dilibatkan dalam studi ini. Mereka dibagi ke dalam dua kelompok. Kelompok intervensi mendapat preparat probiotik dua kali sehari sejak dirawat di ICU, hingga 7 hari atau setelah keluar dari ICU. Kelompok kontrol tidak mendapat (plasebo).

Hasilnya, insiden VAP lebih rendah pada kelompok intervensi (17,1%) dibandingkan kelompok kontrol (48,6%). Tampak bahwa probiotik profilaksis menurunkan insiden VAP hingga 77%, serta mengurangi lama rawat inap sekitar 2,1 – 3,3 hari. Tidak ditemukan adanya komplikasi dengan administrasi probiotik. Peneliti menyimpulkan bahwa administrasi probiotik profilaktik, menurunkan insiden VAP pada anak-anak yang sakit kritis, dan intervensi tersebut aman.

Temuan serupa tampak pada orang dewasa, berdasarkan studi yang dilakukan Yong Rongrunruang, dkk (Journal of The Medical Association of Thailand, 2015). Dilakukan penelitian terhadap 150 orang dewasa yang dirawat di ruang rawat inap, dan mendapat ventilator mekanik >72 jam. Mereka dibagi menjadi kelompok probiotik dan kelompok kontrol. Pasien di kelompok probiotik mendapat 80 ml L. casei Shirota strain untuk oral care, setelah menerima perawatan mulut standar, sekali sehari.

Hasilnya, lebih sedikit pasien di kelompok probiotik yang mengalami VAP (24%) dibandingkan kelompok kontrol (29,3%). Rerata insiden VAP pada kelompok probiotik 22,64 episode/1.000 hari ventilator, dan pada kelompok kontrol 30,22 episode/1.000 hari ventilator. Beberapa bakteri yang resisten berdasarkan kultur dari swab orofangeal, cenderung lebih rendah prevalensinya pada kelompok probiotik, ketimbang kelompok kontrol.

Bakteri MDR

Penelitian lain dari Thailand dilakukan oleh Tiengrim S dan Thamlikitkul V (Journal of The Medical Association of Thailand, 2012). Penelitian ini menilai aktivitas inhibisi susu fermentasi L. casei Shirota strain, terhadap bakteri MDR (multi-drug-resistant) yang menyebabkan infeksi nosokomial.

Secara in vitro, dinilai efektivitas susu fermentasi L. casei Shirota strain dan cell-free filtered fluid (CF) dari L. casei Shirota strain, terhadap Acinetobacter baumannii, Pseudomonas aeruginosa, ESBL-producing Escherichia coli dan Klebsiella pneumoniae yang memproduksi ESBL, serta Staphylococcus aureus resisten metisilin. Sebagai larutan kontrol yakni Mueller Hinton broth (MHB) dan air suling. Semua larutan dicampur dengan masing-masing bakteri (sebanyak 105 atau 106), lalu diinkubasi pada suhu 35 derajat. Tiap campuran diukur kadar bakterinya pada jam 0, 1, 3, 6, dan 24 setelah diinkubasi ke dalam agar-agar.

Hasilnya, log CFU tiap bakteri pada MHB dan air suling setelah inkubasi, meningkat dari 5.1 – 6.3 pada jam 0 menjadi 6.4 – >11 pada jam 24. Sedangkan pada kedua larutan L. casei Shirota strain, masing-masing log CFU organisme pada jam 0, 1, 3, 6 dan 24 terus menurun, hingga jumlahnya tak terdeteksi pada jam 24.

Disimpulkan bahwa L. casei Shirota strain dalam larutan susu fermentasi maupun CF, menunjukkan aktivitas inhibisi terhadap bakteri MDR, hingga menghasilkan eradikasi pada jam 24, pada seluruh bakteri yang diteliti. Diperlukan studi klinis untuk memastikan bahwa konsumsi L. casei Shirota strain, bisa mencegah serta mengatasi kolonisasi dan infeksi bakteri MDR pada pasien rawat inap.

Untuk lansia

Lei Bian, dkk (International Journal of Probiotic and Prebiotic, 2011), meneliti efek pemberian susu fermentasi L. casei Shirota strain secara terus menerus, untuk pasien lansia pada fasilitas rawat inap jangka panjang. Penelitian terbuka ini membandingkan efek sebelum dan sesudah konsumsi probiotik, dengan 42 pasien, rerata usia 82 tahun (+10 tahun).

Mereka diminta meminum sebotol susu fermentasi dengan L. casei Shirota strain setiap hari, selama enam bulan. Sampel feses diambil pada dua minggu sebelum konsumsi probiotik, serta pada bulan 1, 3, dan 6 selama periode probiotik. Dilakukan analisis microflora, asam organik, serta pH pada sampel feses.

Hasilnya, jumlah Bifidobacterium pada feses meningkat setelah mengonsumsi susu fermentasi selama 1, 3, dan 6 bulan, dibandingkan sebelum konsumsi. Sebaliknya, jumlah C. perfringens dan C. difficile turun secara signifikan setelah 6 bulan konsumsi L. casei Shirota strain, dibandingkan sebelum konsumsi. Adapun L. casei Shirota strain tidak terdeteksi sebelum konsumsi susu fermentasi, tapi setelah konsumsi ditemukan 108 sel/gr feses, selama periode konsumsi. Konsentrasi asam asetat meningkat, dan pH feses turun setelah periode probiotik.

Secara klinis, insiden demam > 37oC turun menjadi 0,83/minggu/orang setelah 3 bulan konsumsi susu fermentasi, dari 1,36 hari/minggu/orang. Insiden konstipasi turun dari 0,5 kali/minggu/orang sebelum konsumsi probiotik, menjadi 0,32 kali. Satu kejadian konstipasi dihitung bila tidak ada BAB selama 3 hari. Sebaliknya BAB >3x sehari disebut satu kejadian diare. Sebelum konsumsi probiotik, rerata pasien mengalami diare 0,31 kali/minggu, dan turun menjadi 0,16 kali/minggu setelah konsumsi probiotik selama 6 bulan.

Disimpulkan, susu fermentasi L. casei Shirota strain kemungkinan memiliki efikasi menurunkan risiko infeksi pada lansia, yang tinggal di panti jompo. (nid)