Ethicaldigest

Efikasi dan Keamanan Eribulin untuk Kanker Payudara Metastatik

Kanker payudara metastatik acap menunjukkan resistensi terhadap beberapa obat kemoterapi. Eribulin sebagai mitotic inhibitor efektif pada pasien kanker payudara metastatik, yang sebelumnya sudah mendapat obat kemoterapi golongan lain.

Di Indonesia, sekitar 70-80% pasien kanker payudara datang pada stadium lanjut. Pada stadium akhir (IV) kanker sudah bermetastasis ke lokasi di luar kelenjar getah bening (distant metastasis). Tulang, paru, otak, dan lever termasuk organ yang paling sering terkena metastasis kanker payudara.

Kanker payudara metastatik bisa diobati, bahkan kadang pasien bisa bertahan hingga bertahun kemudian. Namun, tidak bisa disembuhkan. Ditengarai, sekitar 90% kematian akibat kanker payudara disebabkan oleh distant metastasis.

Perkembangan dalam bidang teknologi dan farmasi berhasil menekan mortalitas akibat kanker payudara, hingga ‘hanya’ 50% dari total kasus. Namun tetap saja, kanker ini masih menjadi kanker pembunuh nomor wahid di Indonesia.

Sel-sel kanker yang bermetastasis sering mengembangkan resistensi terhadap pengobatan sebelumnya. Misalnya pada taxane dan antrasiklin. Penggunaan kedua obat tersebut pada stadium yang lebih awal, ditengarai menurunkan efektivitasnya pada kanker payudara metastatik.

Tujuan pengobatan pada kanker payudara metastatik bukanlah untuk menyembuhkan pasien, melainkan untuk membuat pasien tetap memiliki hidup yang cukup berkualitas selama mungkin, sehingga mereka tetap bisa melakukan kegiatan yang diinginkan. Minimal, tidak membebani orang lain untuk merawatnya setiap waktu.

Eribulin mesylate

Eribulin mesylate (EM) pertama kali disetujui FDA untuk pengobatan kanker payudara metastatik, pada pasien yang sebelumnya telah mendapat dua regimen kemoterapi, termasuk antrasiklin dan taxane.

Awalnya, peneliti asal Jepang Hirata dan Uemura mengisolasi halicondrin B dari Halicondria okadai,spons laut Jepang yang langka. Dalam penelitiannya, mereka melaporkan aktivitas antikanker terhadap sel-sel kanker tikus, secara in vitro maupun in vivo, pada 1985. EM merupakan analog dari halicondrin B.

Cara kerja eribulin sedikit berbeda dari agen antimikrotubulus lainnya. Eribulin berikatan secara kimiawi pada ujung-ujung (+) mikrotubulus sel kanker, mengganggu pembelahan dan pertumbuhan sel kanker. Terhambatnya proses mitotik dalam waktu lama, pada akhirnya menyebabkan apoptosis; sel kanker menghancurkan dirinya sendiri.

Mitotic inhibitor seperti eribulin sangat efektif membunuh sel kanker, karena sel kanker membelah lebih cepat daripada sel normal. Dengan demikian, lebih rentan terhadap obat-obatan yang menargetkan pembelahan sel.

Penelitian oleh X.Pivot, dkk (Annals of Oncology, 2016) melakukan pooled analysis berdasarkan data dari dua studi klinis multisenter fase III (Studi 301 dan 305). Diteliti efikasi eribulin pada berbagai subkelompok pasien yang sesuai dengan label Uni Eropa, termasuk pasien dengan HER2-, dan tripel-negatif.

Pada studi 305, pasien secara acak dibagi (2:1) untuk mendapat EM pada hari 1 dan 8 tiap 21 hari, atau pengobatan pilihan dokter setelah 2-5 kemoterapi sebelumnya. Sedangkan pada studi 301, pasien secara acak dibagi (1:1) untuk mendapat EM (dengan skema seperti 305), atau capecitabine (1,25 g/m2 secara oral dua kali sehari, pada hari 1-14 tiap 21 hari) mengikuti <3 kemoterapi sebelumnya (<2 untuk yang stadium lanjut). Total ada 1.644 pasien yang dilibatkan.

Hasilnya, overall survival (OS) secara signifikan lebih lama pada kelompok eribulin ketimbang kontrol; demikian pula dengan progression-free survival (PFS) dan rerata manfaat klinis. Manfaat eribulin juga terlihat signifikan dibandingkan kontrol pada berbagai subkelompok pasien, termasuk mereka dengan HER2- dan tripel negatif.

Adapun Orditura M, dkk (ESMO Open, 2017) meneliti efikasi dan tolerabilitas eribulin sebagai kemoterapi lini kedua atau late-line, pada 137 perempuan pasien kanker payudara. Hasilnya, sebagai monoterapi, eribulin memberi manfaat dalam hal PFS, response rate (RR), dan laju kontrol penyakit (DCR) sebagai terapi lini kedua atau late-line.

DCR dan RR keseluruhan pada pasien yang diobati dengan eribulin yakni: 50% dan 13,6% (lini kedua); 65,4% dan 21,1% (lini ketiga); 70,4% dan 14,8% (lini keempat); dan 66,7% dan 16,7% (lini-lini selanjutnya). Adapun median PFS yakni 5,7 bulan (lini kedua); 6,3 bulan (lini ketiga); 4,5 bulan (lini kempat); dan 4,0 bulan (lini-lini selanjutnya).

Secara keseluruhan, eribulin aman. Efek samping umumnya derajat 1 dan 2, dan mudah dikelola. (nid)