Ethicaldigest

Diagnosa Dini Autis, Secercah Cahaya Diagnosa Dini menggunakan DSM V

Diagnosa dini autis telah menemukan jalannya. Banyak publikasi mengenai autisme. Tapi, apa penyebab pasti austime masih gelap. Banyak yang menghubungkan dengan faktor genetik, tetapi faktor genetik mana yang berperan belum terungkap. Belakangan banyak publikasi yang menghubungkan peningkatan jumlah kejadian autisme dengan faktor lingkugan. Telah banyak penelitian yang menghubungkan autisme dengan berbagai faktor lingkungan, dan tidak ada satu pun yang benar-benar terbukti. Inilah sisi gelap dari autism, yang menyebabkan pengobatannya menjadi tidak sempurna.

Hal ini diutarakan Prof. Dr. dr. Hardiono D. Pusponegoro, Sp.A(K) dalam pidato pengukuhannya sebagai Guru Besar Ilmu Kesehatan Anak di Balai Sidang, Kampus UI, Depok, 24 September 2016. Kini mulai ada secercah cahaya dan harapan dalam tatalaksana autisme.

Berbagai instrument skrining telah menunjukkan keberhasilan, untuk diagnosa dini autis pada anak-anak. Diagnosis dini yang lebih spesifik dapat ditegakkan, seiring terbitnya Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorder ke 5 (DSM-V). Intervensi yang dilakukan lebih cepat, terbukti memberi hasil atau prognosis yang lebih baik. “Beberapa program dan teknik intervensi telah mempunyai bukti ilmiah yang cukup kuat,” kata Prof. Hardiono.

Untuk menegakkan diagnosis autisme perlu suatu proses yang panjang, dimulai dari kecurigaan terhadap adanya red flags, skrining dan diagnosis. Suatu practice parameter yang diterbitkan oleh American Academy of Neurology and Child Neurology Society menyebutkan,  red flags mencakup:

  1. Tidak ada babbling, tidak menunjuk atau tidak menunjukkan mimik wajah yang wajar pada usia 12 bulan.
  2. Tidak ada kata berarti pada usia 16 bulan.
  3. Tidak ada kalimat terdiri dari 2 kata yang bukan ekolalia pada usia 24 bulan.
  4. Hilangnya kemampuan berbahasa atau kemampuan sosial pada usia berapa pun.
  5. Dan, berdasarkan pengalaman Prof. Hardiono, anak tidak menoleh atau sulit menoleh bila dipanggil namanya pada usia 6 bulan-1 tahun.

Skrining perkembangan rutin harus dilakukan pada semua anak berusia 9, 18 dan 30 bulan. Skrining pada usia 9 bulan ditujukan sebagai evaluasi lanjutan pendengaran dan penglihatan, serta penilaian kemampuan komunikasi dini. Gejala ASD dapat terlihat pada usia ini, misalnya kurangnya kontak mata, tidak menoleh bila dipanggil atau tidak menunjuk. Skrining berikutnya pada usia 18 dan 30 bulan.

Skrining pediatric umum dapat digunakan sebagai skrining ASD? Peneltian terhadap 2848 anak dari 20 pusat pediatrik menujukkan bahwa Ages and Stages Questionnaire  versi 3 (ASQ-3), dapat mendeteksi 87% anak yang dicurigai mengalami ASD berdasar instrument Modified Checklist for Autism in Toddlers, Revised with Follow up (M-Chat-R-follow up). Sebanyak 95% anak akhirnya mendapat diagnoss ASD.

Skrining khusus autism harus dilakukan terhadap semua anak berumur 18 bulan. Banyak instrument skrining khusus autisme yang dapat digunakan, antara lain Checklist for Autism in Toddler (CHAT), Pervasive Developmental Disorders Screening Test II (PDDST-II), Modified Checklist for Autism in Toddler, Revised (M-CHAT-R), dan lain-lain.

Apabila anak tidak lolos skrining autisme, dilakuan pemeriksaan untuk menegakkan diagnosis berdasar DSM-V, dokter atau psikolog. BIla terdapat keraguan, segera rujuk ke dokter anak, dokter anak konsultan tumbuh kembang, dokter anak konsultan saraf anak, psikiater anak atau psikologi anak. 

“Diagnosis autisme akan mengubah pola kehidupan keluarga,” kata Prof. Hardiono. “Mereka  membutuhkan bantuan dari berbagai disiplin ilmu, bergantung umur anak, berat gejala dan kemampuan intelektual anak,” tambahnya.

Terhadap anak autisme harus dilakukan assessment atau penilaian medis oleh dokter, dokter anak, psikiater anak atau dokter lainnya. Penilaian kebutuhan intevensi dilakukan oleh dokter saraf anak dan dokter rehabilitasi medis bersama dengan terapis yang sudah berpengalaman, serta menggunakan instrumen yang baku.