Ethicaldigest

Masalah Aborsi Spontan

Abortus spontan adalah abortus yang terjadi tanpa tindakan mekanis atau medis, umumnya  tanpa intervensi dari luar. Penyebab terbanyak faktor genetik, kelainan kongenital uterus, penyakit autoimun, defek fase luteal, infeksi, hematologik dan lingkungan.

Abortus adalah ancaman atau pengeluaran hasil konsepsi sebelum janin dapat hidup di luar kandungan. Sebagai batasan ialah kehamilan kurang dari 20 minggu atau berat janin kurang dari 500 gram. Terdapat dua jenis abortus, yaitu abortus spontan dan abortus provokatus.

Abortus spontan didefinisikan sebagai abortus yang terjadi tanpa tindakan mekanis atau medis, yang istilah awamnya adalah keguguran (miscarriage). Tindakan abortus yang terjadi dengan sengaja dilakukan tindakan, disebut abortus provokatus.

“Abortus spontan umumnya terjadi tanpa intervensi dari luar, hanya disebabkan oleh faktor-faktor alamiah,” ujar dr. Susanti Kusumo Budiarti, SpOG. Berdasarkan aspek klinis abortus spontan dibagi menjadi: abortus iminens, abortus insipiens, abostus kompletus, abortus inkompletus, abortus tertunda, abortus habitualis, abortus infeksious dan abortus sepsis.

Abortus provokatus merupakan tindakan abortus yang sengaja dilakukan. Ada 2 abortus provokatus, yaitu abortus provokatus medisinalis dan abortus provokastus kriminalis. Abortus provokatus medisinalis merupakan abortus yang dilakukan atas dasar indikasi vital dan indikasi sosial. Tindakan ini harus disetujui 3 dokter yang merawat ibu hamil. Indikasi vital yang dimaksud adalah penyakit ginjal, penyakit jantung, penyakit paru berat, diabetes mellitus berat dan kanker. Indikasi sosial yang dimaksud adalah kegagalan pemakian alat kontrasepsi, grandamultipara, kehamilan IQ rendah, kehamilan akibat perkosaan, atau kehamilan dengan penyakit jiwa.

Adapun abortus provokatus kriminalis, tak lain adalah abortus yang dilakukan pada kehamilan yang tidak diinginkan. Dilakukan oleh tenaga tidak terlatih, yang selanjutnya menimbulkan trias komplikasi seperti perdarahan, trauma alat genitalia/ jalan lahir, infeksi hingga syok sepsis.

Etiologi

Menurut dr. Susanti, sampai saat ini banyak hal yang diduga menjadi penyebab abortus. Umumnya terdapat lebih dari satu penyebab, dengan penyebab terbanyak meliputi: faktor genetik, kelainan kongenital uterus, penyakit autoimun, defek fase luteal, infeksi, hematologik dan lingkungan sekitar.

Setidaknya 50% abortus karena ada kelainan sitogenik pada trimester pertama, berupa trisomi autosom. Trisomi timbul akibat non disjunction meiosis selama gametogenesis, pada pasien dengan kriotip normal. Untuk sebagian besar trisomi, gangguan miosis maternal bisa berimplikasi pada gametogenesis. Insiden trisomi meningkat dengan bertambahnya usia. Trisomi 16, berperan pada 30% kejadian dari seluruh trisomi, dan merupakan penyebab terbanyak.

Semua kromosom trisomi berakhir abortus, kecuali pada trisomi kromosom 1. Pengelolaan standar menyarankan untuk pemeriksaan genetik amniosentesis pada semua ibu hamil, dengan usia di atas 35 tahun. Risiko ibu terkena aneuploidi 1:80 pada usia di atas 35 tahun, karena angka kejadian kelainan kromosom/ trisomi meningkat setelah usia 35 tahun.

Defek anatomik uterus diketahui sebagai penyebab komplikasi obstetrik, seperti abortus berulang, prematuritas, serta malpresentasi janin. Insiden kelainan bentuk uterus berkisar 1/200 sampai 1/600 perempuan. Pada perempuan dengan riwayat abortus, ditemukan anomali uterus pada 27% pasien. Hasil studi oleh Acien (1996) pada 170 pasien hamil dengan malformasi uterus, mendapatkan hanya 18,8% responden yang bisa bertahan sampai melahirkan cukup bulan, sedangkan 36,5% mengalami persalinan abnormal (prematur, sungsang).

Penyebab terbanyak abortus karena kelainan anatomik uterus adalah septum uterus (40-80%), kemudian uterus bikornis atau uterus didelfis atau unikornis (10-30%). Mioma uteri bisa menyebabkan  infertilitas maupun abortus berulang. Sindroma Asherman bisa menyebabkan gangguan tempat implantasi serta pasokan darah pada permukaan endometrium. Risiko abortus antara 25-80%, tergantung berat ringannya gangguan.

Terdapat hubungan nyata, antara abortus berulang dan penyakit autoimun. Misalnya, pada Systematic Lupus Erythematosus (SLE) dan antiphospholipid Antibodies (aPA). aPA merupakan antibody spesifik yang didapati pada perempuan dengan SLE. Kejadian abortus spontan pada pasien SLE sekitar 10%, dibanding populasi umum. Bila digabung dengan peluang terjadinya pengakhiran kehamilan trimester 2 dan 3, diperkirakan 75% pasien dengan SLE akan berakhir dengan terhentinya kehamilan. Sebagian besar kematian janin dihubungkan dengan adanya aPA. aPA merupakan antibodi yang berikatan dengan sisi negative dari fosfolipid.

Teori peran mikroba infeksi terhadap kejadian abortus, diduga sejak 1917 ketika DeForest dan kawan-kawan melakukan pengamatan kejadian abortus berulang pada perempuan yang terpapar brucellosis. Berbagai teori diajukan untuk mencoba menerangkan peran infeksi terhadap risiko abortus, di antaranya:

  • Adanya metabolik toksik, endotoksin, eksotoksin, atau sitokin yang berdampak langsung pada janin atau unit fetoplasenta.
  • Infeksi janin yang bisa berakibat kematian janin atau cacat berat, sehingga janin sulit bertahan hidup.
  • Infeksi plasenta yang berakibat insufisiensi plasenta dan bisa berlanjut kematian janin.
  • Infeksi kronis endometrium dari penyebaran kuman genitelia bawah (misalnya Mikoplasma bominis, Klamidia), yang bisa mengganggu proses implantasi.
  • Memacu perubahan genetik dan anatomik embrio, umumnya karena virus selama kehamilan awal (misalnya Rubela, Parvovirus B19, Sitomegalovirus, Koksakie virus B, Varisela-Zoster, HSV).

Diperkirakan 1-10% malformasi janin akibat paparan obat, bahan kimia atau radiasi dan umumnya berakhir dengan abortus. Rokok diketahui mengandung ratusan unsur toksik, antara lain nikotin yang diketahui mempunyai efek vasoaktif sehingga menghambat sirkulasi uteroplasenta. Karbon monoksida juga menurunkan pasokan oksigen ibu dan janin, serta memacu neurotoksin. Terjadinya gangguan pada sistem sirkulasi fetoplasenta, dapat terjadi gangguan pertumbuhan janin yang berakibat terjadinya abortus.

Beberapa kasus abortus berulang ditandai dengan defek plasentasi dan adanya mikrotrombi, pada pembuluh darah plasenta. Berbagai komponen koagulasi dan fibrinolitik memegang peran penting pada implantasi embrio, invasi trofoblas dan plasentasi. Pada kehamilan terjadi keadaan hiperkoagulasi karena peningkatan kadar faktor prokoagulan, penurunan faktor antikoagulan, dan penurunan aktivitas fibrinolitik. Kadar faktor VII, VIII, X, dan fibrinogen meningkat selama kehamilan normal, terutama pada kehamilan sebelum 12 minggu.

Bukti lain menunjukkan bahwa sebelum terjadi abortus, sering didapati defek hemostatik. Penelitian yang dilakukan Tulpalla dan kawan-kawan menunjukkan, perempuan dengan riwayat abortus berulang sering terdapat peningkatan produksi tromboksan yang berlebihan pada usia kehamilan 4-6 minggu, dan penurunan produksi prostasklin saat usia kehamilan 8-11 minggu. Perubahan rasio tromboksan -prostasiklin memacu vasospasme serta agregrasi trombosit, yang menyebabkan mikrotrombi serta nekrosis plasenta. Juga sering disertai penurunan kadar protein C dan fibrinopeptida.

Defisiensi faktor XII (Hageman) berhubungan trombosis sistemik atau plasenter dan dilaporkan juga berhubungan dengan abortus berulang, pada lebih dari 22% kasus. Hiperhomosisteinemi berhubungan dengan trombosis dan penyakit vaskular dini. Kondisi ini berhubungan dengan 21% abortus berulang. Gen pembawa akan diturunkan secara autosom resesif. Bentuk terbanyak yang didapat adalah defisiensi folat.