Tumpukan sel-sel lemak subkutan menimbulkan berbagai masalah kesehatan. Termasuk memicu peningkatan peradangan dan stres oksidatif, dan memicu penyakit metabolik kronis.
Penyakit tidak menular (PTM) makin mengkhawatirkan. Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2018 menunjukkan, angka PTM di Indonesia naik dari 1,4% (Riskesdas 2013) menjadi 1,8%. Bila dirunut, tak berlebihan jika dikatakan bahwa kegemukan merupakan salah satu faktor risiko utama PTM. Berdasar Riskesdas pula, angka kegemukan/obesitas meningkat drastis. Prevalensi berat badan berlebih naik dari 11,5% (2013) menjadi 13,6% (2018), obesitas melonjak dari 14,8% (2013) ke 21,8%, dan obesitas sentral meningkat dari 26,6% menjadi 31%.
Obesitas meningkatkan risiko PTM dalam berbagai cara. Literatur menyebut, obesitas adalah induk dari diabetes mellitus tipe 2 (DM2). Tumpukan lemak membuat tubuh resistan terhadap insulin; gula darah kian meningkat hingga ke tahap diabetes.
Terhadap tekanan darah, jaringan lemak memicu peningkatan sirkulasi darah, agar kebutuhan lemak terhadap pasokan nutrisi dan oksigen terpenuhi. Akibatnya, jantung memompa lebih banyak darah hingga denyut jantung meningkat. Tekanan pada dinding arteri bertambah, dan tekanan darah naik makin tinggi.
Risiko penyakit jantung koroner (PJK) dan stroke lebih tinggi pada orang obes. Aterosklerosis ditemukan sepuluh kali lebih sering pada orang obes, ketimbang mereka yang tidak obes. Aterosklerosis membuat arteri menyempit, sehingga aliran darah melambat. Bila terjadi di pembuluh koroner jantung, akan muncul angina; serangan jantung mengintai bila aterosklerosis di koroner sampai pecah. Bila aterosklerosis yang pecah terjadi di pembuluh otak, terjadilah stroke.
Secara umum, obesitas menimbulkan kondisi inflamasi kronis derajat rendah. Diam-diam, hal ini berimplikasi pada perkembangan penyakit metabolik kronis. Hansongyi Lee, dkk (Pediatric Gastroenterology, Hepatology and Nutrient, 2013) menyebut, akumulasi berlebihan dari jaringan lemak subkutan pada kondisi obesitas, tidak lagi dipandang sebagai jaringan inert yang tidak menimbulkan dampak apapun. Jaringan lemak ini memproduksi dan melepaskan sejumlah adipokin seperti leptin dan adiponektin, serta sitokin pro- dan antiinflamasi seperti TNF-alfa, IL-4, dan sebagainya.
Adipokin juga menginduksi produksi ROS (Reactive Oxygen Species) dan stres oksidatif. Adapun ROS, stres oksidatif, dan peradangan saling berkaitan kuat. Seperti disebutkan Lucia Marseglia, dkk, dalam studinya (International Journal of Molecular Sciences, 2015).
Potensi probiotik
Perbaikan pola makan adalah pilar utama dalam merawat pasien obesitas dan/atau DM2. Probiotik berpotensi dimanfaatkan sebagai salah satu bagian dari pola diet. Seperti tampak dalam studi Naito E, dkk (Bioscience of Microbiota, Food and Health, 2018). Sebanyak 100 orang ikut serta dalam penelitian acak, tersamar ganda, plasebo-kontrol. Para peserta mengalami obesitas (IMT/indeks massa tubuh >25 kg/m2), dengan hiperglikemia post-load moderat (kadar glukosa plasma 1 jam setelah makan >180 mg/dl dalam TTGO/tes toleransi glukosa oral). Mereka dibagi menjadi dua kelompok. Satu kelompok mengonsumsi susu fermentasi dengan kandungan L. casei Shirota strain, kelompok lain mendapat plasebo berupa susu tanpa kandungan probiotik. Probiotik atau plasebo diminum setiap hari selama delapan minggu.
Berdasarkan hasil evaluasi, tampak bahwa glukosa plasma 1 jam post-load, glikolabumin, dan HbA1c di minggu 8 turun di kelompok probiotik, dibanding saat baseline. Menariknya, perbaikan pada glukosa plasma 1 jam post-load dan glikoalbumin, tampak signifikan pada kelompok probiotik dibanding plasebo, pada subjek dengan intoleransi glukosa berat. Disimpulkan, L. casei Shirota strain berdampak positif terhadap abnormalitas metabolik pada subjek obes dengan pradiabetes.
Hulston CJ, dkk (British Journal of Nutrition, 2015) melakukan penelitian pada 17 subjek sehat. Mereka secara acak dibagi menjadi dua kelompok; kelompok probiotik (n=8) dan kelompok kontrol (n=9). Selama tiga minggu pertama penelitian, subjek memelihara pola makan mereka seperti biasa, diikuti pola makan tinggi lemak (65% dari energi) dan tinggi energi (penambahan 50% asupan energi) selama 7 hari berikutnya. Selama penelitian, kelompok probiotik mengonsumsi susu fermentasi dengan L. casei Shirota strain, kelompok kontrol tidak mendapat suplementasi apa-apa. Sensitivitas insulin seluruh tubuh dinilai dengan TTGO, sebelum dan setelah periode makan berlebihan.
Setelah dilakukan penilaian ditemukan, massa tubuh pada kelompok kontrol naik sekitar 0,6 kg, sedangkan pada kelompok probiotik hanya sekitar 0,3 kg. Pada kelompok kontrol, terjadi peningkatan konsentrasi glukosa plasma puasa, nilai glukosa AUC (area under the curve), serta penurunan sensitivitas insulin hingga 27% setelah periode makan berlebihan. Pada kelompok probiotik tidak terjadi perubahan; sensitivitas insulin pun tampak terpelihara. Disimpulkan bahwa suplementasi probiotik bisa bermanfaat, dalam pencegahan penyakit metabolik yang disebabkan oleh pola makan.
Penelitian pada anak-anak dilakukan oleh Nagata S, dkk (Beneficial Microbes, 2017). Sebanyak 12 anak obes (rerata usia 10,8 tahun) disertakan dalam studi. Profil mikroba usus dan kadar asam organik usus mereka, diperbandingkan dengan 22 anak berat badan (BB) normal sebagai kelompok kontrol (rerata usia 8,5 tahun). Ditemukan adanya penurunan yang signifikan pada konsentrasi Bifidobacterium pada feses mereka. Juga tampak penurunan kelompok Bacteroides fragilis, Atopobium, sub kelompok Lactobacillus gasseri, serta asam asetat pada kelompok obes saat baseline.
Anak-anak yang obes kemudian menjalani pengaturan pola makan dan latihan selama 6 bulan, dan diberi minuman L. casei Shirota strain selama 6 bulan berikutnya. BB dan penanda serologis dimonitor.
Setelah 6 bulan konsumsi L. casei Shirota strain, terjadi penurunan BB yang signifikan dan peningkatan kolesterol HDL, dibandingkan saat baseline. Terjadi peningkatan signifikan pada konsentrasi Bifidobacterium dan asam asetat di feses. Disimpulkan, konsumsi L. casei Shirota strain berkontribusi terhadap penurunan BB dan perbaikan metabolisme lipid pada anak obes, melalui peningkatan jumlah Bifidobacterium dan konsentrasi asam asetat.
Probiotik dan antioksidan
Manfaat probiotik sebagai antioksidan antara lain terlihat pada studi yang dilakukan oleh Alberto Finamore, dkk (Frontiers in Immunology, 2018). Dalam studi tersebut, dipaparkan bahwa pola makan berlebihan dan makanan tinggi lemak yang jamak dilakukan masyarakat Barat, memicu kondisi peradangan dan stres oksidatif kronis terkait makanan. Di satu sisi, makanan tinggi lemak dimediasi oleh sitokin-sitokin proinflamasi, respons glikemik/insulin, dan lipid yang teroksidasi. Di sisi lain, hal tersebut memicu respons antioksidan endogen, ditandai dengan peningkatan produksi asam urat dan kelompok tiol. Ini menunjukkan koneksi kuat, antara antioksidan dan jaringan redox yang menangkis stres oksidatif/peradangan yang dipicu makanan.
Studi-studi terdahulu menemukan bahwa konsumsi probiotik mengembalikan keseimbangan mikrobiota usus dalam kasus disbiosis, serta memperbaiki struktur mikroba usus pada kasus hiperlipidemia. Berdasarkan hal-hal tersebut, Finamore, dkk mengemukakan bahwa probiotik mungkin dapat memitigasi stres oksidatif dan peradangan, melalui modulasi pertahanan redox endogen pada sel-sel usus. Dilakukan penyelidikan terhadap efek protektif redox dari L. casei Shirota strain, pada kerusakan seluler; bagaimana kemampuan L. casei Shirota strain dalam menginduksi respons antioksidan untuk menangkal stres oksidatif dan peradangan, dalam model in vitro enterosit.
Hasilnya menunjukkan, pra perawatan enterosit dengan L. casei Shirota strain mencegah disrupsi barrier membran dan akumulasi ROS di dalam sel. Tindakan ini juga tampak memodulasi ekspresi enzim antioksidan GPX2, serta mengurangi fosforilasi p65. Hal-hal tersebut mendukung keterlibatan jalur NF-kB dan Nfr2 dalam aktivasi pertahanan seluler antioksidan oleh probiotik. Ini merupakan studi pertama yang menunjukkan mekanisme redox oleh L. casei Shirota strain, dalam melindungi sel-sel usus dari stres inflamasi dan oksidatif yang diinduksi AAPH (2,22 -Azobis (2-amidinopropane) dihydrochloride).
Pola makan modern yang tinggi kalori, gula, garam dan lemak, serta minim serat, berperan besar dalam peningkatan obesitas. Perbaikan pola makan dan pola hidup secara menyeluruh adalah kunci dalam menurunkan prevalensi obesitas. Probiotik bisa menjadi bagian dari pola makan sehat. (nid)