Di Indonesia, ARV digunakan dengan mengikuti pedoman yang dikeluarkan Kementerian Kesehatan RI. “Kementrian Kesehatan RI telah mengeluarkan pedoman penggunaan ARV pada anak-anak dan pada orang dewasa,” kata Prof. dr. Samsuridjal Djauzi, Sp.PD-KAI, dari FK Universitas Indonesia.
Diutarakan oleh Prof. Samsuridjal, obat-obatan ARV yang ada di Indonesia sebagai lini pertama terdiri dari kombinasi NRTI (nucleoside Reverse Transcriptase Inhibitor) dan NNRTI (Non nucleoside Reverse Transcriptase Inhibitor). NRTI yang tersedia adalah Zidovudin, Lamivudin, dan Stavudin. NNRTI terdiri dari Nevirapin dan Efavirenz.
Dalam Pedoman Nasional disebutkan, untuk memulai terapi antiretroviral perlu dilakukan pemeriksaan jumlah CD4 (bila tersedia), dan penentuan stadium klinis infeksi HIV-nya. Hal tersebut untuk menentukan, apakah penderita sudah memenuhi syarat terapi antiretroviral atau belum.
Di tempat-tempat dimana tidak terdapat pemeriksaan CD 4, penentuan mula terapi ARV didasarkan pada penilaian klinis. Sedangkan, di tempat-tempat di mana terdapat pemeriksaan CD4, terapi ARV dapat dimulai pada semua pasien dengan jumlah CD4 <35 sel/mm3, tanpa memandang stadium klinisnya. Terapi ARV dianjurkan pada semua pasien dengan TB aktif, ibu hamil dan koinfeksi Hepatitis B tanpa memandang jumlah CD4
Tabel 1. Saat memulai terapi pada ODHA dewasa
Target Populasi | Stadium | Klinis | Jumlah sel CD4 Rekomendasi |
ODHA dewasa | Stadium klinis 1 dan 2 Stadium klinis 3 dan 4 | 350 sel/mm3 < 350 sel/mm3 Berapapun jumlah sel CD4 | Belum mulai terapi. Monitor gejala klinis dan jumlah sel CD4 setiap 6-12 bulan Mulai terapi Mulai terapi |
Pasien dengan ko-infeksi TB | Apapun Stadium klinis | Berapapun jumlah sel CD4 | Mulai terapi |
Pasien dengan ko-infeksi Hepatitis B Kronik aktif | Apapun Stadium klinis | Berapapun jumlah sel CD4 | Mulai terapi |
Ibu Hamil | Apapun Stadium klinis | Berapapun jumlah sel CD4 | Mulai terapi |
Memulai Terapi ARV pada Keadaan Infeksi Oportunistik (IO) Aktif
Infeksi oportunistik dan penyakit terkait HIV lainnya, yang perlu pengobatan atau diredakan sebelum terapi ARV, dapat dilihat dalam tabel di bawah ini.
Tabel 2. Tatalaksana IO sebelum memulai terapi ARV.
Jenis Infeksi Opportunistik | Rekomendasi |
Progresif Multifocal Leukoencephalopathy, Sarkoma Kaposi, Mikrosporidiosis, CMV, Kriptosporidiosis | ARV diberikan langsung setelah diagnosis infeksi ditegakkan |
Tuberkulosis, PCP, Kriptokokosis, MAC | ARV diberikan setidaknya 2 minggu setelah pasien mendapatkan pengobatan infeksi opportunistik |
Paduan ARV Lini Pertama yang Dianjurkan
Pemerintah menetapkan kombinasi yang digunakan dalam pengobatan ARV, berdasarkan pada 5 aspek yaitu: efektivitas, efek samping / toksisitas, interaksi obat, kepatuhan dan harga obat. Pada prinsipnya, kombinasi ARV harus menggunakan 3 jenis obat yang terserap, dan berada dalam dosis terapeutik. Prinsip tersebut untuk menjamin efektivitas penggunaan obat.
Anjuran Pemilihan Obat ARV Lini Pertama
Paduan yang ditetapkan pemerintah untuk lini pertama adalah 2 NRTI + 1 NNRTI. Mulailah terapi antiretroviral dengan salah satu dari paduan di bawah ini:
AZT + 3TC + NVP | (Zidovudine + Lamivudine + Nevirapine) | ATAU |
AZT + 3TC + EFV | (Zidovudine + Lamivudine + Efavirenz) | ATAU |
TDF + 3TC (atau FTC) + NVP | (Tenofovir + Lamivudine (atau Emtricitabine) + Nevirapine) | ATAU |
TDF + 3TC (atau FTC) + EFV | (Tenofovir + Lamivudine (atau Emtricitabine) + Efavirenz) |
Tabel 3. Paduan Lini Pertama yang direkomendasikan pada orang dewasa yang belum pernah mendapat terapi ARV (treatment-naïve)
Populasi Target | Pilihan yang direkomendasikan | Catatan |
Dewasa dan anak | AZT atau TDF + 3TC (atau FTC) + EFV atau NVP | Merupakan pilihan paduan yang sesuai untuk sebagian besar pasien Gunakan FDC jika tersedia |
Perempuan hamil | AZT + 3TC + EFV atau NVP | Tidak boleh menggunakan EFV pada trimester pertama TDF bisa merupakan pilihan |
Ko-infeksi HIV/TB | AZT atau TDF + 3TC (FTC) + EFV | Mulai terapi ARV segera setelah terapi TB dapat ditoleransi (antara 2 minggu hingga 8 minggu) Gunakan NVP atau triple NRTI bila EFV tidak dapat digunakan |
Ko-infeksi HIV/Hepatitis B kronik aktif | TDF + 3TC (FTC) + EFV atau NVP | Pertimbangkan pemeriksaan HBsAg terutama bila TDF merupakan paduan lini pertama. Diperlukan penggunaan 2 ARV yang memiliki aktivitas anti-HBV |
Memulai dan Menghentikan Non-Nucleoside Reverse Transcriptase Inhibitor (NNRTI)
Nevirapine dimulai dengan dosis awal 200 mg setiap 24 jam selama 14 hari pertama, dalam paduan ARV lini pertama bersama AZT atau TDF + 3TC. Bila tidak ditemukan tanda toksisitas hati, dosis dinaikkan menjadi 200 mg setiap 12 jam, pada hari ke-15 dan selanjutnya.
Mengawali terapi dengan dosis rendah diperlukan, karena selama 2 minggu pertama terapi NVP menginduksi metabolismenya sendiri. Dosis awal tersebut juga mengurangi risiko terjadinya ruam dan hepatitis karena NVP yang muncul dini. Bila NVP perlu dimulai lagi setelah pengobatan dihentikan selama lebih dari 14 hari, diperlukan kembali pemberian dosis awal yang rendah tersebut.
Cara menghentikan terapi kombinasi yang mengandung NNRTI, adalah dengan menghentikan NVP atau EFV. Teruskan NRTI (2 obat ARV saja) selama 7 hari setelah
penghentian Nevirapine dan Efavirenz. Ada yang menggunakan 14 hari setelah penghentian Efavirenz, kemudian hentikan semua obat. Hal tersebut guna mengisi waktu paruh NNRTI yang panjang, dan menurunkan risiko resistensi NNRTI.
Penggunaan NVP dan EFV
NVP dan EFV mempunyai efikasi klinis yang setara. Ada perbedaan dalam profil toksisitas, potensi interaksi dengan obat lain, dan harga. NVP berhubungan dengan insidensi ruam kulit, sindrom Steven-Johnson dan hepatotosksisitas yang lebih tinggi, dibanding EFV. Dalam keadaan reaksi hepar atau kulit yang berat, NVP harus dihentikan dan tidak boleh dimulai lagi.
Gunakan NVP atau PI untuk ibu hamil trimester 1. Atau triple NRTI, jika NVP dan PI tidak dapat digunakan. Triple NRTI hanya diberikan selama 3 bulan, lalu dikembalikan pada paduan lini pertama. Perlu kehati-hatian penggunaan NVP pada perempuan dengan CD4 >250 sel/mm3 , atau yang tidak diketahui jumlah CD4-nya dan pada laki-laki dengan jumlah CD4 >400 sel/mm3 , atau yang tidak diketahui jumlah CD4-nya. Perlu dilakukan lead-in dosing pada penggunaan NVP, yaitu diberikan 1x sehari selama 14 hari pertama,dilanjutkan dengan 2x sehari.
EFV dapat digunakan 1x sehari dan biasanya ditoleransi dengan baik. Hanya saja biayanya lebih mahal, dan kurang banyak tersedia dibanding NVP. Toksisitas utama EFV adalah berhubungan dengan sistem saraf pusat (SSP), dan ada kemungkinan (meski belum terbukti kuat) bersifat teratogenik bila diberikan pada trimester 1 (tetapi tidak pada triemester dua dan tiga), dan ruam kulit yang biasanya ringan dan hilang sendiri tanpa harus menghentikan obat. Gejala SSP cukup sering terjadi. Meski pun biasanya hilang sendiri dalam 2-4 minggu, gejala tersebut dapat bertahan beberapa bulan, dan sering menyebabkan penghentian obat oleh pasien
EFV perlu dihindari pada pasien dengan riwayat penyakit psikiatrik berat, pada perempuan yang berpotensi hamil dan pada kehamilan trimester pertama. EFV merupakan NNRTI pilihan, pada keadaan ko-infeksi TB/HIV yang mendapat terapi berbasis Rifampisin. Dalam keadaan penggantian sementara dari NVP ke EFV selama terapi TB dengan Rifampisin , dan mengembalikan ke NVP setelah selesai terapi TB, maka tidak perlu dilakukan lead-in dosing
Pilihan pemberian Triple NRTI
Regimen triple NRTI digunakan hanya jika pasien tidak dapat menggunakan obat ARV berbasis NNRTI, seperti dalam keadaan berikut:
• Ko-infeksi TB/HIV, terkait interaksi terhadap Rifampisin.
• Ibu Hamil, terkait kehamilan dan ko-infeksi TB/HIV.
• Hepatitis, terkait efek hepatotoksik karena NVP/EFV/PI.
Anjuran paduan triple NRTI yang dapat dipertimbangkan adalah AZT+3TC +TDF. Penggunaan Triple NRTI, dibatasi hanya untuk 3 bulan lamanya. Setelah itu pasien perlu dikembalikan pada penggunaan lini pertama, karena supresi virologisnya kurang kuat.
Penggunaan AZT dan TDF
AZT dapat menyebabkan anemi dan intoleransi gastrointestinal. Indeks Massa Tubuh (IMT / BMI = Body Mass Index) dan jumlah CD4 yang rendah, merupakan faktor prediksi terjadinya anemi oleh penggunaan AZT. Perlu diketahui faktor lain yang berhubungan dengan anemi, antara lain malaria, kehamilan, malnutrisi dan stadium HIV yang lanjut
TDF dapat menyebabkan toksisitas ginjal. Insidensi nefrotoksisitas dilaporkan antara 1-4%, dan angka Sindroma Fanconi sebesar 0,5-2% . TDF tidak boleh digunakan pada anak dan dewasa muda, sementara hanya sedikit data tentang keamanannya pada kehamilan. TDF juga tersedia dalam sediaan FDC (TDF+FTC), dengan pemberian 1x sehari, yang lebih mudah diterima ODHA.
Penggunaan d4T
Stavudin (d4T) merupakan ARV dari golongan NRTI yang poten, dan telah digunakan terutama di negara berkembang dalam kurun waktu cukup lama. Keuntungan d4T adalah tidak membutuhkan data laboratorium awal untuk memulai, serta harganya relatif terjangkau dibanding NRTI yang lain seperti Zidovudin (terapi ARV), Tenofovir (TDF) mau pun Abacavir (ABC).
Namun dari hasil studi didapat data, bahwa penggunaan d4T mempunyai efek samping permanen yang bermakna, antara lain lipodistrofi dan neuropati perifer yang menyebabkan cacat serta laktat asidosis yang menyebabkan kematian.
Efek samping karena penggunaan d4T sangat berkorelasi dengan lama penggunaan d4T (semakin lama d4T digunakan semakin besar kemungkinan timbulnya efek samping). WHO dalam pedoman tahun 2006 merekomendasikan untuk mengevaluasi penggunaan d4T setelah 2 tahun, dan dalam pedoman pengobatan ARV untuk dewasa tahun 2010 direkomendasikan untuk secara bertahap, mengganti penggunaan d4T dengan Tenofovir (TDF).
Berdasar kesepakatan dengan panel ahli, pemerintah memutuskan menggunakan AZT atau TDF pada pasien yang baru memulai terapi, dan belum pernah mendapat terapi ARV sebelumnya. Pada pasien yang sejak awal menggunakan d4T dan tidak dijumpai efek samping dan/atau toksisitas, direkomendasikan untuk diganti setelah 6 bulan.
Jika terjadi efek samping akibat penggunaan AZT (anemia), sebagai obat substitusi gunakan TDF. Sekarang ini penggunaan Stavudin (d4T) dianjurkan dikurangi, karena banyaknya efek samping. Secara nasional dilakukan penarikan secara bertahap (phasing out), dan ke depan tidak disediakan lagi d4T setelah stok nasional habis.
Penggunaan Protease Inhibitor (PI)
Obat ARV golongan Protease Inhibitor (PI), tidak dianjurkan untuk terapi lini pertama; hanya digunakan sebagai lini kedua. Penggunaan pada lini pertama hanya bila pasien benar-benar mengalami intoleransi terhadap golongan NNRTI (Efavirenz atau Nevirapine). Hal ini dimaksudkan untuk tidak menghilangkan kesempatan pilihan untuk lini kedua, mengingat sumber daya yang masih terbatas.