Tersedia metode diagnosa dan terapi yang efektif untuk osteoporosis. Mayoritas mereka yang berisiko tinggi mengalami fraktur, tidak terdiagnosa atau diterapi.
Diagnosa osteoporosis dilakukan dengan pengukuran densitas tulang (bone mineral density/BMD), menggunakan dual X-ray absorptiometry (DXA). Namun, riwayat atau risiko perorangan ikut berpengaruh.
Misalnya, “Riwayat anggota keluarga yang mengidap osteoporosis, sering mengonsumsi minuman keras dan merokok. Atau, mengalami kondisi-kondisi akibat peradangan, seperti rheumatoid arthritis, penyakit paru obstruktif kronis dan penyakit Crohn,” terang dr. Ibnu Benhadi, SpBS(K), dari RSU Bunda, Jakarta.
BMD merupakan perbandingan antara orang dewasa muda sehat berdasarkan jenis kelamin (T-score), dengan kecocokan jenis kelamin dan usia pada populasi sehat (Z-score). Menurut WHO, dinyatakan osteoporosis jika T-score < -2,5 dan osteopenia jika T-score antara -1,0 dan -2,5. Kriteria T-score digunakan pula untuk wanita pascamenopause dan pria usia >50 tahun. The International Society for Clinical Densitometry merekomendasikan pemakaian Z-score, dibandingkan BMD pada wanita pramenopause dan pria usia <50 tahun. Skor <-2,0 dianggap memiliki densitas tulang dibawah rentang yang diharapkan sesuai usia.
BMD diukurkan pada tulang belakang dan pinggul/panggul. Pengukuran lengan bawah direkomendasikan, jika pinggul dan/atau tulang belakang tidak bisa diukur, atau pada pasien obesitas dan hiperparatiroidisme yang berada di atas batas tabel DXA. BMD adalah prediktor spesifik untuk risiko patah tulang, pada perempuan atau laki-laki. Individu dengan T-score kurang dari -2,5 berisiko lebih tinggi mengalami fraktur yang progresif.
Nguyen ND, et al., dalam Journal of Clinical Endocrinology and Metabolism (2007) menyatakan, pasien dengan T-score > -2,5 tetap berisiko tinggi mengalami fraktur. Diperkirakan, sekitar 50% pasien dengan patah tulang pinggul dan 35% dengan fraktur tulang vertebral, memiliki T-score di atas -2,5. Karenanya, kombinasi BMD dan faktor risiko klinis memberi perkiraan risiko fraktur yang lebih akurat.
Dari penelitian Gunawan Tirtoraja, Bambang Setyohadi, dll., di Pusat Osteoporosis Jakarta (RS Medistra, Jakarta) terlihat, masa puncak bone mineral densitiy untuk seluruh tulang adalah antara usia 30-39 tahun. Kepadatan tulang tertingi terlihat pada tulang spine L1-L4 pada usia 35 tahun, yakni 1,12 gr/cm². Kepadatan tulang terendah terlihat pada tulang paha bagian trochanter. Pemeriksaan BMD pada spine L1-L4, relatif lebih stabil dari usia 25-75 tahun.
Pada tulang tronchater terlihat penurunan tajam di usia 55-75 tahun, yakni dari 0,83 menjadi 0,77. Prevalensi osteoporosis pada perempuan meningkat lebih tinggi pada pemeriksaan tulang selain spine L1-L4, femur neck dan total femur. Pada laki-laki, tren osteoporosis meningkat seiring usia, tapi tidak sebesar perempuan.
WHO mengembangkan Fracture Risk Assessment Tool (FRAX). Metode ini menggabungkan pengukuran BMD dan faktor risiko klinis, untuk memperoleh kemungkinan patah tulang pinggul selama 10 tahun, atau patah tulang utama karena osteoporosis (panggul, tulang belakang, humerus atau pergelangan tangan).
FRAX terutama berguna untuk mengidentifikasi pasien osteopenia yang berisiko tinggi mengalami fraktur. Namun, FRAX memiliki keterbatasan hingga tidak bisa dipakai sebagai gold standard. Pertama, metode ini dirancang untuk perempuan pascamenopause dan pria> 40 tahun, yang sebelumnya tidak pernah menjalani perawatan tulang.
Kedua, tidak memperhitungkan respon dosis obat untuk beberapa faktor risiko, termasuk penggunaan glukokortikoid. Ketiga, riwayat atau kecenderungan jatuh pada lansia tidak termasuk dalam alogaritma. Keempat, BMD tulang leher hanya digunakan untuk menghitung risiko fraktur; karenanya, risiko patah tulang absolut mungkin tidak akurat pada pasien dengan BMD tulang belakang terendah.
Data dari WHO FRAX Calculation tahun 2011 menunjukkan, insiden patah tulang panggul tertinggi adalah pada usia 95-99 tahun (wanita 1.680 kasus, pria 718 kasus). Terendah pada usia 40-44 tahun (wanita 8 kasus, pria 10 kasus).
Terapi nonfarmakologi
Tujuan utama terapi adalah mengurangi/mencegah risiko patah tulang. Terapi nonfarmakologi, menurut dr. Ibnu, dengan mengonsumsi makanan seimbang, terutama tinggi kalsium dan vitamin D, berhenti merokok dan menghindari alkohol.
Menurut FAO kebutuhan vitamin D pada usia 51-65 tahun meningkat, dari 200 IU/ hari (usia 19-50 tahun) menjadi 400 IU/hari, dan berdasarkan Reference Nutrient Intake (RNI) dari 5 µg/hari menjadi 10 µg/hari. Pada kelompok umur 65+ dosis harian vitamin D adalah 600 IU/hari atau 15 µg/hari. Pada orang dewasa yang lebih tua, dosis harian vitamin D dan kalsium dapat membantu mencegah kerapuhan dan patah tulang. Kebutuhan kalsium usia 19-50 tahun adalah 1000 mg/hari, dan 1200 mg/hari pada usia >50 tahun.
Olahraga rutin, khususnya yang bersifat weight bearing dan muscle strengthening exercises, berdampak positif pada kepadatan tulang. Analisa Cochrane (Cochrane Database System Reviews 2009) dari 18 penelitian melihat manfaat olahraga untuk mencegah kehilangan tulang, pada wanita pascamenopause. Peneliti mendapati olahraga aerobik, angkat beban dan latihan resistensi efektif menjaga densitas tulang belakang.
Menurut dr. Ade Jeane Domina L. Tobing, SpKO, dari Persatuan Osteoporosis Indonesia (PEROSI), pada latihan fisik weight bearing (pembebanan) terjadi aktivasi osteoblas, yang akan memadatkan tulang. Jalan kaki efektif menjaga kepadatan tulang spine atau pinggul dan direkomendasikan sebagai terapi fisik paling sederhana dan mudah dilakukan.
“Sudah dikembangkan senam osteoporosis, untuk mereka yang masih osteopenia atau sudah kena osteoporosis. Latihan dilakukan dengan duduk dan memakai beban, untuk menguatkan area lumbal (L1-L5) atau femur neck. Penelitian yang kami lakukan, pasien usia 60-80 tahun kekuatan tulangnya bertambah baik, walau tidak bisa kembali seperti sedia kala,” terangnya dalam acara ‘Hidup Aktif Cegah Osteoporosis Mulai dari Saya’.
Dalam senam osteoporosis tercakup latihan kekuatan dan latihan keseimbangan; mencegah risiko jatuh. Latihan fisik untuk tulang, dilakukan dengan prinsip BBTT (baik, benar, teratur, terukur) minimal 6 bulan untuk mendapatkan tulang yang lebih padat dan kuat. “Bila mau jatuh, pasien bisa bertahan. Jatuh paling ditakuti lansia,” ujar dr. Ade.
Intervensi farmakologi
Beberapa jenis obat telah disetujui untuk terapi osteoporosis. Rossouw JE, Anderson GL, et al., (JAMA 2002) menyatakan, obat golongan bisfosfonat (alendronate, zoledronic acid, clodronate, ibandronic acid atau risedronate), dan estrogen menurunkan risiko patah tulang vertebral, non-vertebral dan tulang panggul. Menurut the National Osteoporosis Society, Inggris, terapi hormon direkomendasikan pada pasien dengan gejala menopausal yang tidak memiliki faktor risiko kanker payudara, stroke, penyakit jantung atau tromboemboli vena.
Bisfosfonat merupakan analog sintetis pirofosfat, yang memiliki afinitas tinggi terhadap mineral tulang dan mengurangi aktivitas osteoklas. Obat ini juga mencegah sel osteoblas dan osteosit mengalami kematian.
Pedoman National Institute of Clinical Excellence (NICE), aledronate atau risedronate direkomendasikan sebagai pilihan pertama oral bisfosfonat. Zelodronate intravena untuk individu dengan intoleransi gastrointestinal, atau pada mereka yang gagal dengan pemberian bisfosfonat oral. The New England Journal of Medicine (2007) menyatakan, terjadi penurunan angka mortalitas hingga 28% dengan pemberian zelodronate setelah mengalami fraktur tulang panggul.
Durasi optimal pemberian bisfosfonat belum jelas. The New England Journal of Medicine (2007) mencatat adanya pengurangan risiko fraktur, jika pengobatan dilakukan setidaknya selama 10 tahun, pada pasien yang menggunakan alendronate. Dan 7 tahun pada pasien risedronate, tanpa efek samping yang membahayakan. Pada pasien yang memakai bisfosfonat jangka panjang direkomendasikan adanya waktu libur minum obat (bersifat individual).
Riset Watts NB, dkk., menyatakan, penghentian terapi setelah 5 tahun tampaknya tidak berbahaya. Karena waktu retensi tulang bisfosfonat yang lama, efek antifraktur masih bertahan meskipun obat dihentikan selama 12-18 bulan.
Obat osteoporosis lain adalah strontioum ranelat. Obat jenis ini memiliki efek ganda, yakni meningkatkan kerja osteoblas dan menghambat kerja osteoklas. Menurut dr. Bambang Setyohadi, SpPD-KR, dari Divisi Reumatologi Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI, strontium ranelat menyebabkan tulang endosteal terbentuk dan volume trabelar meningkat.
Sayangnya, mekanisme strontium ranelat belum jelas. Diduga efeknya berhubungan dengan perangsangan Calcium sensing receptor (CaSR), pada permukaan sel-sel tulang. “Dosis yang direkomendasikan 2 gram/hari, dilarutkan dalam air dan diberikan malam hari sebelum tidur, atau 2 jam sebelum/sesudah makan,” tulis dr. Bambang dalam Naskah Lengkap Penyakit Dalam.
Sama dengan obat osteoporosis lain, pemberian strontium ranelat harus dikombinasi dengan Ca dan vitamin D; tetapi tidak boleh bersamaan. Efek samping strontium ranelat yang diketahui adalah dispepsia. Pada beberapa kasus juga dilaporkan tromboemboli vena dan reaksi obat, disertai eosinofilia dan gejala sistemik lainnya.
Antibodi monoklonal
Terapi terbaru pada tatalaksana osteoporosis, adalah menggunakan antibodi monoklonal; denosumab. Ini meningkatkan RANKL (receptor activator nuclear factor kb ligand), sehingga mengurangi osteoklas-togenesis. Data percobaan multicenter FREEDOM menunjukkan, pengobatan dengan denosumab pada wanita usia 60-90 tahun selama 3 tahun, meningkatkan densitas tulang dan mengurangi resorpsi tulang secara signifikan. Denosumab terbukti mengurangi kejadian patah tulang belakang, panggul dan non-vertebral pada wanita pascamenopause. Di Inggris, obat ini disetujui untuk pencegahan osteoporosis pascamenopause primer dan sekunder. (jie)
Image by mohamed Hassan from Pixabay