Ethicaldigest

Penuaan dan Risiko Osteoporosis

Osteoporosis bisa menyerang usia tua dan muda. International Osteoporosis Foundation (IOF) mengungkapkan, 1 dari 4 perempuan Indonesia usia 50-80 tahun berisiko osteoporosis. Risiko wanita 4 kali lebih tinggi dibanding laki-laki.

Osteoporosis tidak menam­pak­kan gejala fisik yang nyata. Tidak mudah mende­teksi osteoporosis, walau masalah ini terjadi di seluruh dunia, terutama di negera-negara berkembang. WHO mencatat, sekitar 200 juta orang di seluruh dunia menderita osteoporosis. Tahun 2050, diperkirakan angka patah tulang pinggul meningkat 2 kali lipat pada wanita, dan 3 kali lipat pada pria.

Laporan WHO juga menunjukkan, 50% kejadian fraktur terjadi pada tu­lang paha atas. Bisa mengakibatkan ke­cacatan seumur hidup dan kemati­an. Dibanding masyarakat Afrika, densitas tulang warga Eropa dan Asia lebih rendah, sehingga risiko osteopo­rosis lebih tinggi. Hasil penelitian White paper yang dilaksanakan bersama Per­himpunan Osteoporosis Indonesia (2007), proporsi penderita osteoporosis usia >50 tahun adalah 32,3% (wanita) dan 28,8% (pria). Dan data Sistem Informasi Rumah Sakit (SIRS, 2010) menunjukkan, angka insidensi patah tulang paha atas akibat osteoporosis sekitar 200 dari 100.000 ka­sus di usia 40 tahun.

Menurut dr. Heri Aminuddin, SpBS(K), dari RSU Bunda, Jakarta, osteoporosis adalah penyakit degene­ra­tif yang terjadi di tulang belakang. “Juga terjadi pada sendi-sendi di tulang belakang, 2 facet dan 1 diskus inter­ver­tebra. Pada sendi atau tulang terja­di perubahan; tulang makin keropos, makin mudah patah, tidak tahan benturan,” terang dr. Heri. 

Osteoporosis bisa terjadi akibat dua hal: (1) kegagalan memperoleh puncak massa tulang, (2) resorpsi tulang berlebihan dan/atau penurunan kecepatan pembentukan tulang, selama proses remodeling. Di masa de­wasa, proses remodeling tulang penting untuk memelihara kesehatan tulang dan memperbaiki kerusakan-kerusakan mikro. Proses seluler ini melibatkan aksi koordinasi osteoblas dan osteoklas.

Osteoblas adalah sel tulang yang bertanggung jawab terhadap proses formasi tulang, berperan dalam sin­tesis matriks tulang yang disebut osteoid (komponen protein jaringan tu­lang). Osteoblas  memulai proses re­sorp­si tulang, dengan cara member­sih­kan permukaan osteoid yang akan diresorpsi melalui berbagai proteinase netral yang dihasilkan. Pada permu­ka­an osteoblas terdapat berbagai re­sep­tor untuk berbagai mediator meta­bo­lisme tulang, termasuk resorpsi tu­lang, sehingga osteoblas merupakan sel yang sangat penting pada bone turnover.

Osteoklas adalah sel yang bertang­gung jawab terhadap proses resorpsi tulang. Pada tulang trabekular (be­rong­ga), osteoklas membentuk ce­kung­an di permukaan tulang yang aktif, disebut lacuna Howship. Pada tulang kortikal (kompak), osteoklas membentuk kerucut sebagai hasil re­sorpsinya yang disebut cutting cone; osteoklas berada di apex kerucut tersebut.  

Ketidakseimbangan pembentukan tulang

Kemampuan memperoleh puncak massa tulang, penting dalam mence­gah osteoporosis dan risiko patah tulang. Risiko fraktur tulang pinggul berkurang 30%, jika ada penambahan massa tulang hingga 10%. Genetik merupakan faktor utama yang mem­pe­ngaruhi puncak massa tulang dan kehilangan tulang; berpengaruh hingga 80%. Riset oleh Styrkarsdottir U, Halldorsson BV, et al., mengi­den­ti­fi­ka­si beberapa varian genetik, yang mem­pengaruhi densitas tulang. Seper­ti low-density lipoprotein receptor-related protein 5 (LRP5), sclerostin (SOST), osteoprotegerin (OPG), estrogen receptor 1 dan receptor activator dari NF-kb (RANK).

Osteoprotegerin, RANK dan ligan dari RANK (RANKL) merupakan mediator-mediator penting dalam aktivitas osteoklas. LRP5 adalah mediator terpenting pada aktivitas os­teoblas. Rasio OPG dan RANKL vital untuk menjaga densitas dan proses pergantian (turnover) normal tulang. Beberapa hormon, faktor pertum­buh­an (TGF-b, IFG-1, BMP2), sito­kin (IL-1, IL-6, TNF-a, prosta­glan­­din E2) dan obat-obatan tertentu mempengarui ekspresi OPG/RANKL, juga pada proses pergantian tulang.

Gangguan pembentukan tulang, sebagai akibat dari peningkatan laju resorpsi tulang, merupakan komponen penting dalam patogenesis osteoporosis. Ini disebabkan berkurangnya jumlah sel-sel osteoprogenitor/pra-osteoblastik dan/atau kecacatan, yang berkaitan dengan usia dalam kemampuan proliferasi dan diferen­siasi sel. Seiring bertambahnya usia, pem­bentukan tulang lebih lambat dari­pada resorpsi tulang. Diduga akibat sel stroma sumsum tulang cenderung menjadi adiposity, daripada osteoblas.

Penambahan massa tulang juga dipengaruhi status hormonal, terutama estrogen. Faktor lingkungan, seperti nu­trisi, olahraga, kebiasaan merokok atau konsumsi alkohol, turut mempe­ngaruhi pencapaian puncak massa tulang.

“Sebaliknya, penyakit yang me­nye­rang kelenjar penghasil hormon, seperti hipertiorid, atau adanya malab­sorpsi usus, pemakaian obat-obatan, seperti prednisolon, yang mempe­nga­ruhi kadar hormon dan kekuatan da­lam jangka panjang, meningkatkan risiko berkembangnya osteoporosis,” terang dr. Ibnu Benhadi, SpBS(K), dari RSU Bunda, Jakarta. 

Ketidakseimbangan proses remo­deling tulang pada mereka yang menopause, adalah akibat defisiensi estrogen. Memasuki usia 40 tahun, wanita mulai mendekati menopause. Kadar estrogen menurun secara alamiah, sehingga kemampuan tubuh untuk menyerap kalsium (yang diperankan oleh estrogen) berkurang.

Untuk pria, Journal of Bone and Mineral Research (1997) menye­but­kan, penurunan serum testosteron lebih lambat. Bioavailibilitasnya berkurang secara progresif, setelah usia 80 tahun. Ini mengakibatkan keropos tulang, meskipun banyak dari efek testosteron dimediasi oleh aro­ma­­tisasi ke estradiol.  Seraya berke­la­kar dr. Ibnu menjelaskan, “Ibarat mo­bil tua yang olinya sudah kering, kadar hormon-hormon pengatur pun secara umum susut.”

Peran estrogen

Wanita pascamenopausal, yang kadar estrogennya rendah, berisiko tinggi mengalami osteoporosis. Parfitt AM, et al (Journal of Bone and Mineral Research 1995) melakukan pengukuran pada marker biokimiawi ter­tentu. Didapati bahwa proses remodeling tulang lebih cepat pada masa me­­no­pause, seiring dengan peningkat­an kedua marker resorpsi dan formasi.

Terapi estrogen cepat menurunkan proses pemecahan tulang pada lansia. Dibutuhkan kadar estrogen yang lebih sedikit, untuk menjaga kenormalan proses remodeling tulang pada wanita pascamenopause, dibanding yang di­bu­tuhkan untuk menstimulasi payudara dan uterus. Dalam JAMA 2003 dise­but­kan, risiko fraktur berbanding ter­balik dengan kadar estrogen pada wa­nita pas­camenopause. Hanya dengan se­pe­rempat dosis estrogen yang me­rang­sang payudara /uterus, cukup un­tuk mengurangi resorpsi tulang dan me­ning­katkan massa tulang pada lansia.

Estrogen berperan penting dalam regulasi kekuatan dan kepadatan tulang; mengontrol aktivitas osteoblas dan osteoklas. Efek seluler estrogen utamanya dimediasi oleh estrogen receptor a (ERalpha). Riset oleh Imai Y, Youn MY, dkk., dari Department of Orthopedic Surgery, Osaka City University Graduate School of Medicine, Jepang, mengamati ekspresi ERalpha yang terdeteksi pada sel-sel osteoklas, yang berdeferensiasi dari sel-sel sumsum tulang primer atau sel RAW264.

Terapi estrogen menyebabkan pe­ngu­rangan ekspresi gen spesifik os­teoklas, yang mengendalikan aktivitas resorpsi tulang. Estrogen tidak mem­pe­ngaruhi ukuran osteoklas berinti banyak, atau mempengaruhi jumlah inti dalam osteoklas dewasa. Kesim­pulan riset tersebut adalah, estrogen menghambat aktivitas resorpsi tulang, bukan deferensiasi osteoklas.

Hormon paratiroid pada terapi osteoporosis

Hormon paratiroid (PTH) berfung­si untuk mempertahankan kadar kalsi­um dalam cairan ekstraselular, dengan cara merangsang sintesis 1,25(OH)2 D di ginjal, sehingga absorpsi kalsium di usus meningkat. Juga berfungsi un­tuk merangsang pembentukan tulang.

Menurut dr. Bambang Setyohadi, SpPD-KR, dari Divisi Reumatologi, Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI, dalam Naskah Lengkap Pe­nya­kit Dalam, fragmen aminoterminal 1-34 (hPTH[1-34]) dari 84 asam amino polipeptida merupakan kompo­nen aktif, yang telah disentesis dan terbukti efektif untuk pengobatan osteo­porosis pada berbagai penelitian multisenter. 

Riset pada 16 penderita osteoporosis yang diberi 50-100 mg/hari subku­tan, menunjukkan pengingkatan den­si­tas tulang trabekula. Tetapi tidak ada perbaikan pada keseimbangan kalsi­um dan densitas tulang kortikal. Kom­bi­nasi PTH dosis rendah (25-40 mg) dengan antiresorptif lain, seperti HRT, bisfosfonat atau kalsitonin, memberi hasil yang lebih baik dibanding pem­berian antiresorptif saja.

Reseptor PTH ternyata tidak dida­pat­kan pada permukaan osteoklas, melainkan pada sel preosteoblas. Se­hingga, diduga, peningkatan resorpsi os­teoklas bersifat sekunder melalui ber­bagai faktor lokal. Penelitian in-vitro mendapati, pemberian PTH te­rus-menerus akan menghambat sin­te­sis kolagen oleh osteoblas. Sebalik­nya, pemberian intermiten mening­kat­kan efek osteoanabolik melalui lokal insulin-like growth factor 1 (IGF-1).

IGF juga mampu menghambat apoptosis osteoblas, sehingga PTH da­pat meningkatkan jumlah osteoblas yang aktif melalui peningkatan produk­si­nya dan menghambat kematiannya. (jie)