Ethicaldigest

Tatalaksana Hipertensi pada Pasien Stroke Menurut Guideline ISH 2020

Hipertensi dan stroke berkaitan sangat erat. “Salah satu pemicu stroke adalah hipertensi,” ujar dr. Rakhmad Hidayat, Sp.S(K), MARS. Tatalaksana hipertensi pada pasien stroke membutuhkan strategi khusus.

Secara umum, stroke iskemik lebih banyak terjadi dibandingkan stroke hemoragik. Di dunia, stroke iskemik mencapai 85%, dan stroke hemoragik 15%. “Namun di Indonesia, stroke hemoragik mencapai 33%. Ini menunjukkan tingginya kasus hipertensi di Indonesia,” papar dr. Rakhmad, dalam Webinar Kedokteran bertajuk Hypertension and Stroke: Understanding the Link and Its Significance yang diselenggarakan OTC Digest dengan PT Wellesta CPI Healthcare dan PT Takeda Indonesia, Sabtu (27/5/2023).

Memang, hipertensi bisa menyebabkan stroke iskemik maupun hemoragik. Namun pada kasus stroke hemoragik, hipertensi menjadi penyebab utamanya.

Tatalaksana Hipertensi pada Pasien Stroke

International Society of Hypertension (ISH) pada 2020 mengeluarkan Global Hypertension Practice Guidelines. Guideline ini membagi tatalaksana hipertensi menjadi dua kelompok besar: esensial dan optimal. Optimal digunakan pada negara pendapatan tingi, dan standar perawatan berbasis bukti. Adapun esensial digunakan pada negara pendapatan rendah-sedang, dengan standar perawatan minimal.

Untuk tatalaksana hipertensi pada pasien stroke, skema pengobatan dibagi menjadi tiga, berdasarkan stroke yang dialami pasien. Pada stroke iskemik akut, target pengobatan yaitu agar tekanan darah sistol <180 mmHg. Pada stroke hemoragik akut, targetnya 140-150 mmHg.

Setelah fase akut berlalu, masuklah ke pencegahan sekunder, untuk mencegah stroke berulang. “Pengobatan harus lebih agresif. Targetnya yaitu mencapai tekanan darah optimal, bukan lagi esensial,” jelas dr. Rakhmad. Pada tahap ini, tekanan darah diturunkan hingga <130/80 mmHg, dan pada pasien lansia <140/80 mmHg.

Tatalaksana stroke juga perlu mempertimbangkan keadaan hipertensi krisis. “Ini adalah kondisi di mana terjadi peningkatan tensi mendadak pada pasien hipertensi,” ujar dr. Taufik Mesiano, Sp.S(K), dalam studi kasus di kesempatan yang sama. Pada kondisi ini, tekanan darah sistol mencapai >180 mmHg dan/atau diastole 120 mmHg. “Kondisi ini membutuhkan penanggulangan segera,” tegasnya.

Hipertensi krisis dikelompokkan ke dalam dua kategori, yaitu emergensi dan urgensi. Keduanya membutuhkan penanganan berbeda. Pada kasus hipertensi emergensi, terjadi kenaikan tensi mendadak yang disertai kerusakan organ target yang progresif. “Pada keadaan ini, diperlukan tindakan penurunan tekanan darah dalam kurun waktu menit atau jam,” jelasnya.

Adapun hipertensi urgensi yaitu kenaikan tensi mendadak yang tidak disertai kerusakan organ target. Penurunan tekanan darah pada kondisi ini harus dilakukan dalam kurun waktu 24-48 jam.

Candesartan sebagai Terapi Kombinasi

Setelah masa kritis stroke berlalu, dimulailah pengobatan untuk prevensi sekunder dengan rawat jalan. “Pada pasien hipertensi yang sudah mengalami stroke atau TIA, target tekanan darah yaitu <130/80 mmHg, untuk mengurangi risiko stroke berulang dan kejadian kardiovaskular,” ujar dr. Taufik, senada dengan yang disampaikan oleh dr. Rakhmad.

Monoterapi maupun terapi kombinasi fixed-dose dengan pil tunggal, sama-sama memiliki tempat di Guideline ISH 2020. Monoterapi diberikan pada pasien hipertensi derajat 1 dengan risiko rendah. Pada pasien hipertensi derajat 1 risiko sedang dan tinggi, serta derajat dua, pengobatan harus dengan terapi kombinasi.

“Candesartan adalah salah satu obat antihipertensi yang paling banyak diteliti,” ungkap dr. Rakhmad. Candesartan memiliki keunggulan tersendiri. Dibandingkan ARB lainnya, candesartan bisa menurunkan tekanan darah diastolik lebih banyak secara signifikan. Candesartan juga lebih unggul dibandingkan losartan dalam menurunkan tekanan darah sistolik, serta dalam mengontrol tekanan darah sistolik dan diastolik di hari dosis yang terlewatkan (missed dose).

Berbagai studi menemukan, ARB merupakan pilihan terbaik untuk monoterapi maupun kombinasi fexed-dose. “Studi E-COST menemukan bahwa candesartan menurunkan insiden stroke sebesar 39%,” ujar dr. Rakhmad. Adapun studi SCOPE menemukan, pada pasien hipertensi sistolik terisolasi, pengobatan dengan candesartan menurunkan risiko stroke non-fatal sebesar 38%.

Kombinasi ARB candesartan dengan CCB menyeimbangkan kontra-regulasi, sehingga didapatkan penurunan tekanan darah yang sinergis, serta memberikan manfaat klinis komplementer. Penelitian oleh Rakugi Hiromi, dkk (Clinical Theraputics, 2012) menemukan kombinasi fixed-dose candesartan dengan amlodipine menurunkan tekanan darah sistol 26,8 mmHg dan diastol sebesar 16,2 mmHg.

Kombinasi fixed-dose candesartan dengan amlodipine juga ditemukan mampu mempertahan tekanan darah dalam jangka panjang. Obat ini bisa menjadi solusi bagi pasien hipertensi lansia yang cenderung memiliki komorbiditas, berisiko terhadap stroke dan penyakit kardiovaskular, kesulitan menelan, dan suka lupa minum obat.

Secara umum, obat kombinasi fixed dose memiliki manfaat tersendiri. “Dengan tablet kecil dan jumlah obat yang lebih sedikit, bisa meningkatkan kepatuhan minum obat,” ucap dr. Rakhmad. Selain itu juga menekan biaya, serta memperbaiki tolerabilitas.

Ingatkan pasien untuk kontrol ulang secara berkala, karena tatalaksana hipertensi pada pasien stroke membutuhkan penanganan khusus. Bila hipertensi sudah berhasil terkontrol, pasien bisa kontrol rutin di fasilitas kesehatan tingkat pertama. “Hipertensi harus bisa diobati di faskes satu,” pungkas dr. Rakhmad. (nid)