Ethicaldigest

Tatalaksana Hipertensi, agar Hipertensi Terkontrol dan Komplikasi bisa Dicegah

Vaksinasi massal COVID-19 menemukan hal menarik yang perlu menjadi kewaspadaan: saat dilakukan pengukuran tensi sebelum vaksin, ternyata banyak yang tekanan darahnya tinggi. “Hampir 50% batal vaksinasi karena tensinya tinggi, dan mereka tidak tahu kalau mereka ternyata memiliki hipertensi,” ungkap dr. Vito Anggarino Damay, Sp.JP (K), M.Kes, AIFO-K, FIHA, FICA, FAsCC. Padahal tatalaksana hipertensi sangat penting untuk mencegah komplikasi.

Separuh dari penyandang hipertensi memang tidak menyadari kalau dirinya memiliki kondisi tersebut. “Yang tahu dirinya hipertensi pun, setengahnya tidak minum obat. Tidak cuma di Indonesia, tapi dunia. Cuma 36,8% penyandang hipertensi yang minum obat,” ujar dr. Vito lagi, dalam webinar bertajuk A Practical Guide to Managing Hypertension: From Guidelines to Daily Practice yang diselenggarakan oleh OTC Digest bekerjasama dengan PT Wellesta CPI Healthcare dan PT Takeda Indonesia, Sabtu (13/5/2023).

Ditegaskan oleh dr. Vito, penting untuk mencari tahu latar belakang dan profil kesehatan pasien sedetil mungkin. Pasien sebaiknya juga disarankan untuk mengukur tensi secara mandiri di rumah, di pagi, siang, dan malam hari, untuk mengetahui pola dan profil tekanan darah pasien. Bila memungkinkan, bisa dilakukan ABPM (Ambulatory Blood Pressure Monitoring). “Hipertensi di pagi hari bisa meningkatkan risiko stroke,” tandasnya.

Tatalaksana Hipertensi

“Tujuan dari tatalaksana hipertensi bukan hanya menurunkan tekanan darah, tapi juga menurunkan risiko komplikasi yang bisa mengancam nyawa, seperti gagal jantung,” tegas dr. Vito. Sebagaimana diketahui, hipertensi merupakan salah satu faktor risiko utama terjadinya gagal jantung.

Begitu banyak guideline di seluruh dunia untuk tatalaksana hipertensi. Salah satunya yaitu 2020 Global Hypertension Practice Guidelines, yang dikeluarkan oleh International Society of Hypertension (ISH). Menariknya, guideline ini bisa digunakan di negara maju maupun bukan.

Dalam guideline tersebut, dituliskan bahwa tekanan darah normal yaitu <130 mmHg (sistolik) dan <85 mmHg (diastolik). Disebut normal-tinggi bila angkanya 130-139 mmHg dan/atau 85-89 mmHg. Bila tensi mencapai 140-159 mmHg dan 90-99 mmHg, maka tergolong hipertensi tingkat 1. Hipertensi derajat 2 yaitu bila sistolik >160 dan/atau diastolik >100.

Pada hipertensi derajat 1, pengobatan dimulai dengan intervensi gaya hidup selama 3-6 bulan. Bila tidak terkontrol, maka dimulailah farmakoterapi. Adapun pada hipertensi derajat 2, langsung dilakukan intervensi gaya hidup dan farmakoterapi secara bersamaan. “Diberikan terapi kombinasi dua obat dosis penuh, meski belum diketahui adanya kerusakan organ,” ujar dr. Fathy Fathini, Sp.JP dalam kesempatan yang sama.

Terapi Kombinasi Candesartan dan Amlodipine

Berdasarkan guideline terbaru ISH, farmakoterapi untuk hipertensi kini harus langsung diberikan dalam terapi kombinasi dua obat. “Tidak lagi terapi tunggal seperti dulu. Namun tidak boleh menggunakan dua RAS blocker; salah satu saja yaitu ARB atau ACE, ditambah CCB seperti amlodipine,” ujar dr. Fathy.

Farmakoterapi untuk hipertensi dimulai dengan terapi kombinasi ARB/ACE ditambah CCB, dalam dosis rendah. Pengecualian untuk pasien hipertensi derajat 1 dengan risiko rendah, atau berusia >80 tahun, atau yang kondisinya rapuh, pertimbangkan pemberian monoterapi.

Candesartan menjadi salah satu obat favorit karena mudah didapat, dan cepat menurunkan tekanan darah. “Candesartan bisa bisa dipakai sebagai terapi kombinasi yang paling efektif,” lanjut dr. Vito. Ditemukan bahwa dalam jangka panjang, candesartan menurunkan dan mempertahankan tekanan darah dengan stabil, sekitar 30% penurunan. Termasuk menurunkan tekanan darah di pagi hari.

Candesartan memiliki juga efek positif untuk pasien dengan riwayat gagal jantung. “Obat ini mampu menurunkan risiko serangan jantung, gagal jantung, dan kekakuan pembuluh darah. Ini adalah obat antihipertensi yang paling efektif menurunkan risiko kardiovaskular,” jelas dr. Vito.

Adapun amlodipine dinilai sebagai obat yang paling aman, tapi perlu diwaspadai efek samping berupa edema kaki. “Kombinasi amlodipine dengan ARB seperti candesartan bisa mengurangi edema,” tambahnya.

Bila hipertensi belum tekontrol dengan kombinasi ARB/ACE dan CCB dosis rendah, maka dosis obat ditingkatkan secara bertahap hingga dosis maksimal. Inilah tahap kedua.

Tahap tiga bila tensi belum juga berhasil dikendalikan, maka diberikan kombinasi tripel. Yaitu terapi kombinasi ditambahkan thiazide atau diuretik. Bila tidak berhasil juga, masuklah ke tahap 4 (hipertensi resistan), yaitu kombinasi tripel ditambah spironolactone atau obat lain.

“Kombinasi candesartan dan amlodipine bisa diberikan dalam kombinasi pil tunggal, atau tablet terpisah,” ucap dr. Fathy. Obat berupa fixed dose combination lebih mudah diminum, sehingga meningkatkan kepatuhan pasien. Kepatuhan merupakan hal penting dalam keberhasilan tatalaksana hipertensi. Dengan tekanan darah yang terkontrol, berbagai risiko komplikasi pun bisa dicegah. (nid)

Ilustrasi: