Ethicaldigest

Disfungsi Barrier Kulit pada DA 3

Kegagalan barrier antimikroba

Seperti disfungsi pada permeabilitas barrier, barrier antimikroba mengalami gangguan pada DA. Kolonisasi oleh Staphylococcus aureus (S. aureus) merupakan tanda-tanda umum pada DA. Meski kolonisasi tertinggi pada kulit yang mengalami dermatitis, koloni juga terdapat pada kulit yang tidak mengalami lesi. Lebih lanjut, impetigo, follikulitis dan abses kulit atau selulitis, merupakan komplikasi umum dari dermatitis atopik. Selain itu, pasien dermatitis atopik lebih mudah terkena infeksi virus, termasuk molluscum contagiosum, Herpes simplex ( erupsi Kaposi’s varicelliform), dan Vaccinia. Dermatofitosis (infeksi jamur) yang luas, juga terjadi pada dermatitis atopik.

Peningkatan kolonisasi dengan S. aureus, terjadi akibat abnormalitas barrier (kelainan structural, rendahnya lipid, keasaman stratum corneum dapat memudahkan kolonisasi bakteri patogen). Kolonisasi S. aureus lebih lanjut dapat memperburuk fungsi barrier pada penderita dermatitis atopic, melalui beberapa mekanisme. Barrier terhadap antimikrobial berhubungan erat dengan permeabilitas barrier. Saat penguapan air meningkat, invasi patogen terjadi melalui domain ekstraseluler.

Terlebih lagi, dengan adanya gangguan permeabilitas barrier saja kolonisasi pathogen bisa terjadi. Tak hanya karena peningkatan pH di permukaan, tapi juga karena penurunan kadar lipid anrtimikrobial pada penderita dermatitis atopik. Lebih lanjut, protein permukaan pada S. aureus dapat downregulasi produksi asam lemak bebas di epidermal, sehingga merusak permebilitas barrier dan fungsi antimikrobial pada dermatitis atopik.

Kolonisasi S. aureus yang menghasilkan super antigen lebih lanjut memperburuk dermatitis atopik dengan memperbesar produksi IgE. Akhirnya, 2 peptida microbial kunci, human cathelicidin, LL-37, dan human β-defensin 2, yang memperlihatkan aktivitas kuat terhadap S. aureus, mengalami down-regulasi pada dermatitis atopik. Yang patut dicatat, LL-37 juga dibutuhkan untuk fungsi permeabilitas barrier dari epidermis normal, dan untuk integritas extracutaneous epithelia. Sehingga penurunan LL-37 kemungkinan memperkuat kelainan barrier pada DA.

Strain S. aureus non toksigenik yang mengkolonisasi penderita dermatitis atopic, dapat diganti oleh strain yang menghasilkan enterotoksin yang memperburuk DA melalui setidaknya tiga mekanisme:  1) Strain ini lebih besar kemungkinannya menghasilkan infeksi klinis. 2) Strain ini menstimulasi rasa gatal (pruritus), sebagian dengan meningkatkan produksi IgE spesifik dan/atau sitokin sel T, IL-31; dan 3) Beberapa toksin bertindak sebagai ‘superantigens’ yang menstimulasi proliferasi sel T dan B, dengan produksi IgE lebih lanjut.

Akhirnya, infeksi klinis, terutama folikulitis, yang dikenal menyebabkan pruritus, dapat menyebabkan siklus ‘gatal-garuk’, yang lebih lanjut menciptakan jalan masuk bagi pathogen.

Stressor eksogen dan endogen, dan pemburukan barrier kulit

Mutasi FLG saja tidak cukup untuk menginduksi dermatitis atopic, sebagaimana pada ichthyosis vulgaris. Walau disebabkan oleh mutasi alel tunggal dan ganda FLG yang menurunkan kadar FLG pada dermatitis atopik, inflamasi merupakan satu petanda dari penyakit ini. Karena itu, peningkatan SP yang bergantung pada pH, dapat berkontribusi pada patogenesis dermatitis atopik. Peningkatan pH (dan aktivitas SP) dipengaruhi oleh faktor pencetus. Seperti penggunaan sabun netral sampai alkalin. Lebih lanjut, paparan berkepanjangan terhadap lingkungan dengan kelembaban yang rendah, juga faktor risiko untuk dermatitis atopik.

Pada lingkungan dengan kelembaban yang rendah, penurunan kadar air transkutan menjadi lebih cepat, pada orang dengan kelainan stratum corneum. Kondisi ini memperburuk abnormalitas barrier dan memperbesar sinyal inflamatori. Lebih lanjut, karena proteolisis FLG diregulasi oleh perubahan kelembaban eksternal, penurunan menetap kelembaban dapat mengurangi FLG residu pada pasien dermatitis atopic, dengan desisiensi FLG alel tunggal.

Mekanisme ‘Outside-Inside,’ dan ‘Back-to-Outside’ pada dermatitis atopik

Banyak bukti mengenai pathogenesis dermatitis atopic, yang diinisiasi kelainan barrier kulit. Beberapa penelitian menunjukkan mekanisme lain. Dalam penelitian-penelitian ini diperlihatkan, bagaimana sitokin yang digenerasi oleh Th2, dapat memperburuk dermatitis atopik. Sitokin Th2 menghalangi rekoveri permeabilitas barrier kulit setelah perturbasi akut, melalui: 1) penghambatan sintesis seramid, menyebabkan penurunan seramid pada dermatitis atopik, dan 2) penurunan ekspresi FLG.

Karena itu, abnormalitas barrier kulit turunan pada penderita dermatitis atopik menstimulasi mekanisme downstream parakrin, yang dapat lebih jauh mengganggu fungsi permeabilitas barrier kulit, menyelesaikan loop patogenik ‘outside-inside-outside’ pada dermatitis atopik.

Disfungsi Barrier Kulit pada DA 2