Diabetes, gangguan metabolisme lipid dan penyakit ginjal kronis, bisa menyebabkan gangguan pendengaran. Tampak sepele, namun bisa menyebabkan demensia dan menurunkan kualitas hidup pasien.
Organisasi Kesehatan Dunia WHO menyebutkan, >5% populasi dunia atau sekitar 466 juta orang memiliki gangguan pendengaran. Angka ini diperkirakan akan melonjak menjadi >900 juta orang pada tahun 2050, atau 1 dari 10 orang. Menurut Departemen Kesehatan RI, Indonesia menduduki peringkat 4 gangguan terbanyak di kawasan Asia Tenggara. Berdasarkan Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2013, sebanyak 2,6% penduduk usia 5 tahun ke atas mengalami gangguan pendengaran, dan 0,09% mengalami ketulian.
Penyakit kronis tidak boleh dilupakan sebagai salah satu penyebab gangguan pendengaran. Apalagi, insiden penyakit tidak menular (PTM) kronis meningkat secara signifikan di berbagai negara.
“Gangguan pendengaran akibat penyakit-penyakit kronis cukup banyak dijumpai di Klinik Audiologi. Terutama pada kasus dewasa dan orang lanjut usia, di mana faktor degenerasi akibat usia mulai ikut berperan,” ujar Dr. dr. Siti Faiza Abiratno, Sp.THT-KL, M.Sc dari Kasoem Balance Hearing & Speech Center, Jakarta. Penyakit kronis termasuk faktor yang dapat menyebabkan penurunan fungsi pendengaran dapatan, selain pajanan suara keras dan pemakaian obat-obatan yang bersifat ototoksik.
Penyakit kronis yang jamak menyebabkan gangguan pendengaran antara lain diabetes, hipertensi, gangguan metabolisme lipid, dan penyakit ginjal kronis. Reseptor pendengara perifer (koklea/rumah siput), hanya mendapat asupan oksigen dari satu pembuluh darah. “Dengan demikian, semua penyakit yang berdampak pada aliran atau sirkulasi darah, dapat menyebabkan gangguan fungsi dengar. Termasuk di antaranya gangguan metabolisme gula dan lemak, dan hipertensi,” terang Dr. dr. Siti.
Diabetes dan gangguan pendengaran
Hubungan diabetes dan gangguan pendengaran, antara lain terungkap dalam studi yang didanai Institut Kesehatan Nasional (NIH), Amerika Serikat. Studi yang dipublikasi di jurnal Annals of Internal Medicine (2008) itu, menganalisis data dari tes pendengaran partisipan NHANES (National Health and Nutrition Examination Survey) sepanjang 1999 – 2004.
Ditemukan bahwa gangguan pendengaran terhadap bunyi frekuensi rendah-sedang, dialami oleh 21% dari 399 orang dewasa dengan diabetes, dibandingkan 9% dari 4.741 orang dewasa normal. Adapun gangguan dengar bunyi frekuensi tinggi, dialami oleh 54% pasien diabetes, dibandingkan 32% non diabetes.
Studi meta-analisis oleh Horikawa C, dkk (The Journal of Clinical Endocrinology and Metabolism, 2013) menunjukkan, lebih tingginya prevalensi gangguan pendengaran pada pasien diabetes dibandingkan pasien nondiabetik, konsisten tanpa memandang usia. Analisis dilakukan berdasarkan 13 studi terpercaya, dengan total 20.194 pasien dan 7.377 kasus.
Belum sepenuhnya diketahui, mengapa diabetes bisa mengganggu pendengaran. Diduga, kadar gula darah yang tinggi bisa menyebabkan kerusakan pada pembuluh darah kecil di telinga dalam. Sel-sel rambut di sana (stereosilia), sangat tergantung pada sirkulasi darah. Terganggunya sirkulasi darah bisa merusak stereosilia, dan stereosilia tidak mengalami regenerasi. Gangguan pendengaran yang muncul bersifat permanen.
“Memang secara umum diabetes bisa menimbulkan gangguan saraf halus atau neuropati,” ujar Dr. dr. Aris Wibudi, Sp.PD-KEMD, Ketua Perhimpunan Edukator Diabetes Indonesia (PEDI). “Kasus gangguan pendengaran akibat diabetes cukup banyak terjadi.”
Tentu, tidak semua pasien diabetes mengalami gangguan pendengaran. “Ada gen-gen tertentu yang ikut berperan. Jadi selain faktor diabetes, ada faktor kerentanan yang ditentukan oleh genetik,” ungkapnya. Kerentanan gen berbeda pada tiap orang. Ada pasien diabetes yang rentan terhadap gangguan pendengaran, ada yang rentan terkena stroke, penyakit jantung, ginjal, dan sebagainya.
“Ada dua hal yang berperan: epigenetik dan polimorfisme. Perbedaan polimorfisme dan epigenetik membuat orang memiliki kerentanan yang berbeda,” tandasnya.
Korelasi dengan penyakit ginjal
Gangguan pendengaran pada pasien penyakit ginjal kronis, telah dibuktikan dalam studi. Misalnya yang dilakukan di Australia, dengan memeriksa rekam medis 2.564 orang usia 50 tahun ke atas. Sebanyak 513 di antaranya memiliki penyakit ginjal kronis (PGK) moderat. Ditemukan, 54,4% pasien PGK tersebut mengalami gangguan pendengaran, dibanding 28,3% yang tanpa gangguan ginjal. Gangguan pendengaran berat dialami oleh hampir 30% pasien PGK, dibanding 10% orang tanpa PGK.
Ditengarai, korelasi antara PGK dan gangguan pendengaran tampak pada kesamaan struktural dan fungsional, antara jaringan pada telinga bagian dalam dan yang di ginjal. Toksin yang terakumulasi akibat gagal ginjal bisa berusak saraf, termasuk yang ada di telinga dalam. Beberapa pengobatan ginjal juga bisa memengaruhi pendengaran.
Pendapat senada diutarakan Dr. dr. Siti. Katanya, “Secara fisiologis, ginjal memiliki beberapa kesamaan dengan reseptor saraf di koklea.” Antara lain mekanisme transport cairan dan elektrolit di stria vaskularis dan glomerulus, kesamaan imunologik, serta dampak obat-obat ototoksik yang bisa memengaruhi fungsi pendengaran dan ginjal. “Perkembangan organ koklea dan ginjal dapat dipengaruhi oleh faktor genetik herediter, yang sama seperti pada sindrom Alport dan sindrom Branchio-oto-renal,” imbuhnya.
Sering tidak disadari pasien
“Gangguan pendengaran akibat diabetes berjalan pelan sekali, sehingga pasien tidak sadar dia mengalami gangguan, dan secara otomatis beradaptasi,” tutur Dr. dr. Aris. Sering pasien baru menyadarinya ketika orang lain mengungkapkan, mengapa mereka tidak mendengar saat dipanggil.
Pasien yang sadar mengalami gangguan pendengaran, biasanya akan mencari pertolongan. Sayang, sering kali gangguan pendengaran tidak bisa diperbaiki Menurut Dr. dr. Siti, gangguan pendengaran akibat gangguan saraf pendengaran di koklea umumnya bersifat progresif dan permanen. “Derajat dan progresivitas fungsi pendengaran, tergantung dari lamanya pasien mengalami penyakit, dan apakah penyakitnya terkontrol dengan pengobatan,” tuturnya.
Baik Dr. dr. Siti maupun Dr. dr. Aris setuju, dokter yang merawat pasien dengan penyakit kronis biasa mengingatkan pasien untuk memeriksa fungsi pendengaran, bersama berbagai pemeriksaan lain seperti fungsi ginjal, jantung, mata, dan lain-lain secara berkala. “Terutama perlu segera dilakukan bila pasien mulai merasakan kesulitan mendengar, atau kesulitan berkomunikasi secara verbal,” ucap Dr. dr. Siti.
Berikut ini tanda-tanda gangguan pendengaran, yang bisa diedukasi ke pasien maupun keluarganya, sehingga mereka tidak terlambat menyadari:
- Sering meminta orang lain mengulangi perkatannya
- Kesulitan mengikuti percakapan yang melibatkan lebih dari dua orang
- Berpikir bahwa orang lain berbicara dengan bergumam
- Enggan berbicara melalui telepon
- Kesulitan mendengar di tempat ramai, misalnya restoran yang ramai
- Kesulitan mendengar suara perempuan dan anak kecil
- Menyalakan TV atau radio dengan volume tinggi, yang terasa terlalu bising bagi orang-orang sekitar
Menurunkan fungsi kognitif
Gangguan pendengaran memang tidak mengancam nyawa, tapi sangat menurunkan kualitas hidup, dan meningkatkan risiko demensia. Fungsi pendengaran dan fungsi kognitif saling berhubungan. “Mekanisme mendengar yang dimulai dari jalur pendengaran perifer (telinga) sampai dengan pemahaman mengenai apa yang kita dengar yang berpusat di otak, memerlukan fungsi kognitif,” papar Dr. dr. Siti. Fungsi kognitif yang dimaksud berupa atensi atau perhatian saat komunikasi, serta kemampuan memori jangka pendek dan panjang.
Berkurangnya input/stimulus ke pusat pendengaran di otak akibat gangguan pendengaran perifer, dapat menyebabkan penurunan fungsi kognitif bahkan demensia. “Ini terbukti dalam beberapa penelitian, yang menunjukkan bahwa penurunan fungsi kognitif bisa dicegah dengan pendengaran yang lebih baik, melalui alat bantu dengar,” tuturnya.
Frank R. Lin dari Universitas John Hopkins, termasuk yang banyak meneliti kaitan antra gangguan mendengaran dengan fungsi kognitif. Misalnya dalam studinya yang dipublikasi di jurnal Aging and Mental Health (2014). Ia menyebutkan, studi longitudinal pada dewasa tua menunjukkan, gangguan pendengaran secara independen, berhubungan dengan 30-40% percepatan penurunan kognitif. Ini berdasarkan studinya yang dipublikasi di Neuroimage (2014). Dalam studi tersebut ditemukan, individu dengan gangguan pendengaran mengalami percepatan penurunan volume pada seluruh otak dan daerah lobus temporal kanan, dibandingkan individu dengan pendengaran normal.
Dibandingkan individu dengan pendengaran normal, mereka dengan gangguan pendengaran memiliki peningkatan risiko demensia dalam >10 tahun follow up. Peningkatan lebih banyak seiring dengan beratnya gangguan pendengaran. Pada gangguan pendengaran ringan, terjadi peningkatan dua kali lipat; sedang tiga kali lipat; dan lima kali lipat pada yang berat. Hal ini dipaparkan dalam studinya yang dipublikasi di JAMA (2013). Studi tersebut menemukan bahwa individu dengan gangguan pendengaran saat baseline (PTA >25 dB), memiliki rerata penurunan pada skor 3MS 41% lebih besar dan skor DSS 32% lebih besar, ketimbang mereka dengan pendengaran normal. Dibandingkan individu dengan pendengaran normal, mereka dengan gangguan pendengaran, memiliki 24% peningkatan risiko untuk insiden gangguan kognitif.
Dampaknya tak hanya sampai di sana. Akibat gangguan pendengaran, kualitas hidup pasien memburuk, dengan munculnya isolasi sosial, perasaan kesepian dan depresi, serta ketergantungan pada orang lain. Pada akhirnya, hal-hal tersebut bisa meningkatkan risiko demensia.
Orang yang kesulitan mendengar, otaknya harus bekerja lebih keras untuk menerjemahkan dan memproses bunyi. Hal ini menjadi tambahan beban pada sumber mental di otak, sehingga sumber untuk memori, memahami percakapan, dan fungsi kognitif lainnya bisa menjadi lebih sedikit, dan bisa menyebabkan perubahan pada otak.
Gangguan pendengaran pada penyakit kronis tidak bisa dianggap sepele, meski tidak seberbahaya komplikasi lain yang mungkin muncul. Tetap harus diperhatikan, oleh dokter maupun pasien, karena ada efek domino akibat gangguan pendengaran, yang akan sangat menurunkan kualitas hidup pasien. (nid)