Ethicaldigest

Pneumonia Ancam Balita

Pneumonia merupakan pembunuh utama balita, seperti diare. Tahun 2015 WHO mencatat 5,9 juta balita meninggal; 15% akibat pneumonia, hampir semuanya (99%) terjadi di negara berkembang, termasuk Indonesia.

Sama-sama pneumonia, berbeda yang terjadi di negara maju dengan negara berkembang. Di negara maju, pneumonia lebih banyak disebabkan oleh virus, semen­tara di negara berkembang akibat bakteri. dr. Wiendra Waworuntu, MKes, Direktur Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Menular Langsung, Kementerian Kesehatan RI, menyatakan, salah satu tujuan Global 2025 adalah menurunkan angka kematian akibat pneumonia hingga <3/1000 kelahiran hidup. “Juga mengu­ra­ngi insidensi pneumonia berat sebe­sar 75%,” paparnya pada Perayaan Hari Pneumonia Seduni ke X di Ja­karta, belum lama ini.

Berdasarkan data Riskesdas (Riset Kesehatan Dasar) 2013, preva­lensi pneumonia di Indonesia adalah 4,5%. Prevalensi tertinggi pada usia 1-4 tahun, dan 45-54 tahun. Terdapat 988 kasus pneumonia untuk setiap 100.000 pasien yang dirawat inap, dengan rata-rata masa rawat 6,1 hari.

Sebanyak 25.481 anak meninggal pada 2015 akibat pneumonia, artinya tiga anak meninggal setiap jam akibat pneumonia. Sayangnya, kata dr. Wiendra, “Sekitar 5 juta anak usia <2 tahun di Indonesia belum mendapat imunisasi Pneumonia Conjugate Vaccine (PCV), sebagai vaksin pen­ting dalam pencegahan pneumonia.

Sebuah studi dilakukan oleh Athe­na Anwar dan Ika Dharmayanti, meng­gunakan desain penelitian potong lintang memakai data Riskesdas 2013. Sampel sebanyak 82.666 balita (usia 0-59 bulan). Variabel dependen adalah kejadian pneumonia balita, sedangkan variabel independen adalah karakte­ristik individu, lingkungan rumah, perilaku penggunaan bahan bakar dan kebiasaan merokok. 

Penetapan kejadian pneumonia berdasarkan hasil wawancara, dengan batasan operasional diagnosis pneumonia oleh tenaga medis dan/atau dengan gejala pneumonia dalam 12 bulan terakhir. Penelitian tersebut menunjukkan, faktor risiko pneumonia balita paling dominan adalah jenis kelamin, tipe tempat tinggal, pendidikan ibu, tingkat ekonomi keluarga/kuintil indeks kepemilikan, pemisahan dapur dari ruangan lain, keberadan/kebia­sa­an membuka jendela kamar, serta ventilasi kamar yang cukup.

Risiko pneumonia meningkat se­ca­ra bermakna (p <0,05) pada ke­lom­pok balita laki-laki (OR = 1,11), pada mereka yang tinggal di pede­saan, ibu ba­lita dengan pendidikan SD ke ba­wah, dan pada kelompok ekonomi me­nengah bawah.

Juga meningkat secara bermakna (p <0,05) pada kelompok balita yang tinggal di rumah berlantai tanah, din­ding bukan tembok, atap rumah tidak berplafon, tidakmemiliki/tidak biasa membuka jendela kamar tidur, dapur tidak terpisah dengan ruangan lain, ventilasi dan pencahayaan kamar tidak cukup, padat penghuni, menggu­nakan bahan bakar memasak yang tidak aman. Peneliti menyimpulkan faktor sosial, demografi, ekonomi dan kondisi lingkungan fisik rumah secara bersa­ma-sama berperan terhadap kejadian pneumonia pada balita di Indonesia.

Secara umum faktor risiko pneumonia antara lain, bayi yang tidak men­dapat ASI eksklusif, BBLR (bayi be­rat lahir rendah), mengalami malnutrisi, defisiensi vitamin A, imunisasi tidak lengkap, hidup di cuaca dingin, terpajan polusi di dalam dan luar ruang, dan hi­dup dalam lingkungan ‘kumis pa joko’ (kumuh, miskin, padat, jorok dan kotor).

Patofisiologi

Pneumonia merupakan infeksi akut jaringan paru-paru (alveoli). Penyebabnya mulai dari bakteri, virus, jamur, pajanan bahan kimia atau kerusakan organ paru, dan pengaruh tidak langsung dari bakteri lain.

Bateri yang biasa menyebabkan pneu­monia adalah Streptococcus pneu­monia (pneumokokus) dan Hemophilus influenza type b (Hib). Se­dangkan virus penyebab pneumonia se­perti adenoviruses, rhinovirus, influenza virus, respiratory syncytial virus (RSV) dan para influenza virus.

Dokter Darmawan Budi Setyanto, SpA(K), dari Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI), menjelaskan tractus respiratorius (sistem saluran napas) manusia terbagi menjadi dua bagian besar: jalan napas (zona kon­duksi) dan zona napas (difusi/pertu­kar­an gas). Zona konduksi terdiri dari hi­dung, faring, laring, trakea dan bronkus. Zona difusi meliputi paru-paru dan alveoli.

Alveoli atau saluran udara buntu merupakan akhir dari alat pernapasan, yang terdapat di paru-paru. Menurut Ha­num (2009 : 165), alveoli memiliki din­ding tipis terbuat dari epitel selapis pipih yang membantu terjadinya pro­ses difusi gas. Jumlah alvoli paru seba­nyak 300, dengan luas mencapai 70m².

Dalam sistem pernapasan ekster­nal udara dihirup melalui hidung, ma­suk di sepanjang saluran napas sampai ke paru-paru. Proses pertukaran gas (O‚ dengan CO‚ ) berlangsung di alveoli paru; CO‚   meninggalkan darah dan O‚  masuk ke dalam darah secara difusi.

Saat alveoli terifeksi, dalam keada­an radang jaringan alveoli mengalami ke­rusakan, terisi cairan radang se­hing­ga proses pertukaran gas tidak terjadi. “Infeksi pneumonia ber­ba­haya, karena oksigen yang masuk berkurang. Kalau radangnya meluas, oksigen yang masuk sangat kurang. Ini yang bisa menyebabkan kematian. Pasien yang mengalami pneumonia tidak mendapat oksigen yang cukup, karena tempat oksigennya mengalami radang,” terang dr. Darmawan.

Setiap organisme yang mencapai alveoli, cenderung sangat mematikan. Bisa mengalahkan makrofag, memro­duksi eksudat kaya fibrin yang mengisi ruang alveolar yang terinfeksi dan alveoli di sekitarnya. Mereka saling me­nem­pel dan oksigen tidak bisa masuk. Respons peradangan juga meng­ha­sil­kan proliferasi neutrofil, yang bisa me­ru­sak jaringan paru-paru menye­bab­kan fibrosis dan edema paru. Juga mengganggu ekspansi paru.

Menurut Koegelenberg, et al., respons inflamasi mengakibatkan perkembangan efusi pleura yang menyulitkan penanganan kasus pneumonia hingga 40%. Perubahan ini menyebabkan pertukaran gas berku­rang. Akibatnya organ vital kekura­ngan oksigen. Terjadi peningkatan pernapasan dan detak jantung, sebagai respons terhadap turunnya oksigen dan naiknya kadar karbon dioksida.

“Neunatus dan balita sangat rawan mengalami pneumonia. Juga mereka yang mengalami gangguan sistem imun seperti penderita HIV. Sang le­genda musik dunia, Freddie Mercury, me­ninggal akibat pneumonia, akibat kom­plikasi AIDS,” kata dr. Darmawan.

Gejala

Batuk, terutama batuk berdahak, adalah gejala paling awal pneumonia akibat bakteri. “Sebagian besar pasien pneumonia diawali dengan common cold, dengan gejala demam, batuk, pilek. Sebagian besar akan membaik, sebagian kecil radang menjalar sepanjang saluran napas, sampai ke alveoli,” terang dr. Darmawan.

Dilihat dari warna dahak, bisa dibedakan bakteri yang menginfeksi alveoli. Sputum berwarna seperti karat disebabkan Streptococcus pneumonia, dahak berwarna hijau oleh Pseudomonas, Haemophilus atau spesies pneumococcal. Sputum kemerahan seperti jeli oleh spesies Klebsiella, dan bila dahak berbau tidak enak umumnya disebabkan bakteri anaerobik.

Menurut Claudious I dan Baraff LJ, dalam jurnal Emergency Medicine Clinics of North America (2010), penanda infeksi bakterial lainnya beru­pa hipertermia (demam >38°C), atau hipotermia (<35°C); takipnea (>18 respirasi/menit); takikardia (detak jantung >100 kali/menit) atau bradi­kar­dia (<60 kali/menit); sianosis sen­tral; dan kondisi mental yang memburuk.

Pada pemeriksaan fisik mungkin ditemukan suara napas seperti ronki rhonci (berupa rintihan/seperti suara dengkuran bernada rendah), crackles (menunjukkan adanya cairan di saluran udara kecil), atau wheezes (mengi). Bisa terdapat egophony disebabkan oleh penutupan paru oleh cairan atau fibrosis, pectoriloquy, deviasi trakea dan limfanedopati.  

Menurut dr. Darmawan, tubuh ber­usaha mengurangi kekurangan oksigen dengan cara bernapas  lebih cepat dengan kedalaman napas yang sama. Ini disebut gejala pneumonia napas cepat (trapkinea). Kedua, tubuh meningkatkan kedalaman napas (sesak napas).

Batas frekuensi napas cepat pada bayi >2 bulan adalah >60 kali/menit, bayi 2-12 bulan 50 kali/menit, sedang­kan usia 1-5 tahun 40 kali/menit. Balita yang mengalami perburukan gejala atau pneu­monia berat, ditandai dengan geli­sah, tidak mau makan/minum, siano­sis, kejang, hingga penurunan kesadaran.  

“Awalnya batuk, pilek, kemudian diikuti napas cepat apalagi ditambah napas sesak, itulah pneumonia,” tutur­nya. Tetapi, mengenali sesak napas tidak mudah. Banyak orangtua pasien tidak tahu kalau anaknya sesak napas. Tanda-tanda sesak bila anak berna­pas dengan cuping hidung kembang-kem­pis, atau pada saat bernapas terli­hat cekungan/tarikan dinding dada ke dalam.

Menanggulangi pneumonia, menu­rut WHO, terdapat 3 langkah utama: proteksi balita, pencegahan pneumonia dan tatalaksana pneumonia. Pro­teksi dilakukan dengan menyediakan lingkungan hidup yang sehat bagi balita. Nutrisi cukup, ASI eksklusif, mencuci tangan dan udara pernapasan yang bebas polusi (asap rokok, ken­daraan, pabrik, asap kompor).

“Pemberian ASI eksklusif menu­run­kan kejadian pneumonia pada bali­ta 15-23%. Balita yang kurang vitamin A, berisiko pneumonia karena pertahanan saluran napas menjadi lemah,” terang Dr. dr. Nastiti Kas­wan­da­ni, SpA(K), Ketua UKK Respirologi PP IDAI.

Upaya pencegahan dengan mem­be­rikan imunisasi lengkap. Imunisasi terkait pneumonia meliputi imunisasi pertusis (DPT), Pneumonia Conjugate Vaccine (PCV), Haemophilus influenza type b (Hib), campak dan influenza. Sementara tatalaksana, menurut rekomendasi IDAI, adalah dengan antibiotik Amoxicillin dosis tinggi; 40-50 mg/kg BB, 2x sehari, selama 3 hari. (jie)