Cyotherapy memberi hasil memuaskan. Untuk kanker payudara, bedah masih menjadi terapi standar.
Manajemen tatalaksana tradisional pada kanker lever primer atau metastasis, bergantung pada terapi bedah. Sayangnya, hanya sekitar 10% kasus yang benar-benar bisa ditatalaksana dengan bedah. Limitasi yang menghalangi dilakukannya bedah di antaranya bilobar, sirosis, hemochromatosis, kekurangan alpha-1-anti-trypsin, dan/atau berhubungan dengan kondisi komorbid lainnya.
Laman cancernetwork.com menyebutkan, tahun 1997 di Amerika Serikat sekitar 13.600 orang menderita tumor lever primer, dan diperkirakan menyebabkan kematian pada 12.400 orang. Walau prevalensi kanker hati di AS kecil, sekitar 2,5%, hepatocellular carcinoma (HCC) dianggap sebagai kanker yang banyak terjadi di dunia; termasuk Asia dan Afrika.
Kanker ini berdampak buruk, karena karakteristik progresinya sangat cepat. Data Hepatic Registry Group, dari 859 pasien yang melakukan bedah, rata-rata harapan hidup 5 tahun antara 10-40%. Yang mendapat transplantasi hati, harapan hidup 5 tahun tak beda jauh, 20-40%. Tatalaksana lain seperti kemoterapi regional atau sistemik berdampak minimal.
Rendahnya kemungkinan bedah, terbatasnya pilihan terapi dan buruknya prognosis, membuat para ahli melirik teknik ablasi, termasuk di dalamnya cryosurgery, alkohol atau laser ablasi, radiasi interstitial, hipertermia dan ablasi radiofrekuensi. Dari berbagai jenis metode ini, cryotherapy (cryoablasi) tergolong aman, dan memberi hasil memuaskan. Bahkan cryoablasi pada kanker hati primer atau metastase, memberi kelangsungan hidup yang baik.
“Hasil meta analisa menunjukkan, tidak terjadi perbedaan signifikan, pada progresi tumor hepatocellular carcinoma (HCC) antara cryoablasi dengan ablasi radiofrekuensi (RFA), yakni di kisaran 95%,” papar Prof. Niu Lizhi, MD, dari Guangzhou Fuda Cancer Hospital, China, beberapa waktu lalu. “Cryoablasi pada kanker hati sudah masuk dalam guideline. Pembedahan atau cryoablasi, memberikan hasil yang sama.”
Cryotherapy merusak jaringan (tumor) pada temperatur minus. Kematian sel diakibatkan mekanisme yang kompleks, secara langsung atau tidak. Efek tersebut termasuk terbentuknya kristal es dan anoxia sel selama proses pembekuan, diikuti trombosis mikrovaskular. Secara umum, menurut Rubinsky B, Lee CY, dkk., dalam jurnal Cryobiology 1990, mengakibatkan rusaknya membaran sel, denaturasi enzim, dehidrasi osmosis, anoxia dan nekrosis sel.
Weber SM dan Chinn DO mencatat terjadi nekrosis di area perivaskular dan jaringan dalam lesi, sebagai hasil cryoablasi. Dengan memakai panduan IOUS (intraoperative ultrasound), lesi tumor ganas dapat diablasi seluruhnya, sementara jaringan lever lainnya dapat dipertahankan. IOUS memungkinkan lokasi tumor dalam lever ditemukan dengan tepat, khususnya jika berhubungan dengan struktur biliari dan vaskular. Ini metode pemanduan yang akurat dan aman. Cryoprobe masuk ke dalam lesi, kemudian memvisualisasikan luas pembekuan. Praktisi jadi lebih gampang mengidentifikasi lingkaran hyperechoic melalui posterior acoustic shadowing.
Ada masalah teknis di mana terjadi efek penyerta, yakni area kulit dan jaringan di sekitar dan sepanjang alat probe ditusukkan ikut membeku. Namun dengan teknologi terbaru, dimungkinkan meminimalkan efek pembekuan di jaringan sekitar tumor. Pemakaian cryoprobe berdiameter kecil meminimalkan risiko perdarahan. Efek cryotherapy lebih efektif setelah melakukan siklus beku-cair lebih dari satu kali. Kerusakannya pun lebih tampak pada proses pembekuan cepat dan/atau lambat dari 1-10°C per menit.
Riset oleh Weaver ML, Atkinson D dan Zemel R., dari Department of Surgey, Alleghenry General Hospital Pittsburgh, AS, menyatakan indikasi terbaik dilakukan tindakan cryosurgery adalah jika diameter tumor kurang dari 5 cm, dengan nodul tidak lebih dari tiga. Mereka juga melakukan studi prosedur cryosurgery pada kasus tumor hati, akibat metastase dari kanker kolorektal.
Partisipan berjumlah 47 orang yang melakukan cryosurgery dalam periode November 1987 – Februari 1992, dimonitor sampai dengan Februari 1994. IOUS dipakai sebagai alat bantu menentukan lokasi lesi. Tiap lesi dibekukan dengan suhu minus (-) 196°C selama 15 menit, dicairkan dalam 10 menit, dibekukan kembali selama 15 menit. CT scan dilakukan sebelum pasien meninggalkan rumah sakit, diulang kembali pada bulan ke 6 dan ke 12. Level antigen cryoembrionik dimonitor tiap bulan.
Rerata waktu pasien (31 pria, 16 wanita; rata-rata usia 63 tahun) tinggal di rumah sakit 10 hari. Mereka dimonitor 24 – 57 bulan (rata-rata monitoring 26 bulan). Pasien yang mampu bertahan hidup dalam 24 bulan sebanyak 62%; 11% di antaranya tidak terbukti mengalami sakit sampai sekitar 30 bulan berikutnya. Dua pasien (4%) meninggal akibat kegagalan multi organ karena coagulopathy. Terjadi komplikasi seperti myoglobinuria, efusi pleura (akumulasi cairan di jaringan yang melapisi paru dan rongga dada), dan luka pada saluran empedu.
Peneliti berkesimpulan, cryosurgery meningkatkan kemungkinan pasien metastase tumor hati bisa bebas dari penyakitnya, walau untuk efek jangka panjang secara umum membutuhkan waktu monitoring yang lebih panjang.
“Kemungkinan terjadi komplikasi setelah cryo sekitar 0,3 – 1,5%. Trombositopenia adalah efek samping yang perlu diperhatikan pada cryosurgery tumor hati,” papar Prof. Lizhi. “Juga coagulopathy. Coagulopathy ringan (jumlah platelet [70-100] X 109/L) dapat sembuh sendiri tanpa perawatan dalam waktu satu minggu. Pemberian recombinant human interleukin (IL)-11 bisa memulihkan kondisi coagulopathy berat (platelet <70 X 109 /L).”
Setelah melakukan prosedur cryotherapy, pasien dimonitor ketat setiap 3 bulan; memakai CT scan dan serum marker, level AFP (alpha-fetoprotein) untuk HCC dan CEA (carcinoembryonic antigen) untuk metastase kanker kolorektal. CT scan spiral sangat berguna untuk mendeteksi pembuluh darah dalam tumor; menandakan tumor belum mati atau rekuren.
Cryoablasi pada kanker payudara
Tindakan cryoablasi pada kanker payudara, bisa menjadi alternatif terapi pada pasien yang tidak cocok dilakukan terapi standar, akibat adanya kontra indikasi. “Bisa dilakukan pada pasien kanker payudara yang menolak tindakan bedah,” kata Prof. Lizhi. “Termasuk, untuk kanker stadium akhir. Diameter tumor mengecil setelah cryoablasi.”
Keuntungan metode cryo adalah bisa menggunakan anestesi lokal, dan tidak perlu memakai ruang operasi besar. Tatalaksana ini dianggap lebih cost-effective, dibanding metode lain. Karena tidak melibatkan insisi besar, maka dapat menghindari bentuk asimetris payudara yang berdampak pada kosmetik yang buruk.
Efek tak terduga lainnya adalah merangsang respon imunologi. Sabel MS, dkk., dari University of Michigan, AS., melihat cryosurgery memicu inflamasi dan membiarkan antigen tumor spesifik tetap utuh. Ini justru merangsang respon imun antitumor, yakni interleukin (IL)-12 dan IFN-gamma. Dibanding metode bedah, cryoablasi meningkatkan aktivitas sel NK (natural killer); ini hasil riset yang dilakukan pada hewan uji.
Menurut Kaufman, cryoablasi pada kanker payudara paling pas diterapkan pada pasien dengan massa tumor < 15 mm atau tumor unifocal (hanya satu tumor). Sebaliknya, kurang sesuai untuk invasive lobular carcinoma (tumor berada pada kelenjar susu) dan extensive ductal carcinoma in situ (DCIS). Namun, menurut Littrup et al., yang melakukan prosedur cryoablasi pada tumor stadium I-IV dengan pendekatan multi pembekuan, kondisi isothermal (temperatur konstan) bisa dikontrol akurat, sehingga mampu merusak lesi tumor berdiameter sampai 7 cm.
Prosedur bisa dilakukan memakai cryoprobe tunggal atau lebih. Multiprobe memungkinkan memperoleh/mempertahankan kestabilan temperatur. Ini penting dalam tatalaksana tumor besar. Temperatur rendah berperan pula sebagai anestesi tambahan, membuat prosedur bisa lebih ditolerir oleh pasien. “Manfaat lain cryoablasi adalah mengurangi rasa sakit yang muncul,” jelas Prof. Lizhi.
Gumpalan es akan terbentuk di sekitar cryoprobe, kemudian meliputi seluruh bagian tumor dan bagian di sekitarnya dalam ukuran yang bisa dikontrol. Pada beberapa kasus, injeksi saline dibutuhkan untuk melindungi kulit dari nekrosis. Katung berisi saline atau menggosok-gosok area kulit, juga mampu mencegah es ‘menusuk’ masuk ke kulit dan menyebabkan komplikasi.
Yang perlu dicatat, sejauh ini bedah masih menjadi terapi standar pada kanker payudara. Terlepas dari beragam manfaat terapi cryo, Sabel et al., memaparkan, “Cryoablasi tidak menggantikan mastektomi.”
Dalam percobaan multi institusional tentang cryoablasi pada stadium awal kanker payudara dilaporkan, setiap usaha mesti dicoba untuk mengeluarkan pasien dari risiko lebih besar. Terutama yang punya kemungkinan besar memiliki komponen intraductal (tumor jinak). (jie)