Ethicaldigest

Terapi Kanker: Mekanisme, Proses dan Mengoptimalkan Radioterapi

Terapi kanker terdiri dari beberapa modalitas, salah satunya radioterapi. Menurut dr. Ratnawati Soediro, Sp.Onk.Rad, ada dua sumber radiasi yang digunakan dalam radioterapi. Pertama adalah Linear accelerator (LINAC). Ini adalah alat yang bisa memproduksi energi tinggi foton sebesar 4MV, 25MV dan energi  elektron 4mev-25mev. Kedua dari Telecobalt, yang menggunakan sumber radioaktif dari alam, yaitu cobalt. Telecobalt adalah alat yang menggunakan cobalt 60 sebagai sumber radiasi. Energinya lebih rendah yaitu 1,17 hingga 1,35 mv. Dan karena berasal dari alam, memiliki paruh waktu 5,27 tahun.                   

Metode pemberiannya ada dua cara, iradiasi sinar eksternal dan brachitherapy. Iradiasi sinar eksternal menggunakan suatu mesin untuk mengarahkan sinar berenergi tinggi pada kanker dari luar tubuh. Sedangkan brachitherapy adalah meletakkan sumber radiasi di dalam atau berdekatan dengan kanker atau di suatu daerah, yang mungkin mengandung beban tumor mikroskopik.

Mekanisme kerja radioterapi dalam terapi kanker

Sinar pengion bisa bekerja secara langsung atau tidak langsung. Sinar pengion berefek langsung pada DNA, sehingga dapat menghambat proliferasi sel tumor. Sinar pengion juga berefek secara tidak langsung dengan cara berinteraksi dengan H2O, sehingga menghasilkan radikal bebas. Semua proses ini akan menghasilkan single stranded break atau double stranded break, yang akan menghasilkan protein P53

Protein P53 akan menghambat siklus sel. Gen berusaha memperbaiki sel. Apabila berhasil memperbaiki sel akan terjadi proliferasi, dan apabila tidak berhasil memperbaiki akan masuk programmed cell death atau apoptosis. Ini semua mempengaruhi terapeutik ratio.

Sebenarnya tujuan radioterapi dalam terapi kanker adalah untuk memperbesar terapeutik rasio. “Kita menyebabkan kerusakan maksimal pada sel tumor, dan menyebabkan kerusakan minimal pada jaringan sehat di sekitar tumor,” kata dr. Rachmawati. Ini bisa dilihat dari grafik tumor control probability dan normal tissue control probability, dimana separasi yang besar menunjukkan terapeutik rasio yang baik.

Bagaimana mencapai terapeutik rasio yang lebih baik? Dengan berkembangnya ilmu dan teknologi, dari segi fisika menggunakan alat imobilisasi yang lebih baik, sebagaimana pada stereotactic body radiotherapy. Kemudian, dengan berkembangnya teknologi, bisa dilakukan radioterapi 3D CRT, IMRT, IGRT, Rapid Arc dan ADAPT. “Saat ini, mulai menggunakan implementasi imaging biologis, seperti pada PET-Scan,” ucap dr. Rachmawati.

Di samping itu, dari segi biologis, dapat mengatur jadwal fraksinasi, mengombinasikannya dengan kemoterapi atau terapi hormonal. Atau, yang lebih baru adalah dengan mengombinasikan dengan targeted therapy.

Proses radioterapi

Tindakan radioterapi melalui beberapa tahapan. Diawali dengan imobilisasi pasien. Biasanya menggunakan CT scan, dengan alat imobilisasi yang sesuai dengan daerah tubuh yang akan diradiasi.  Setelah keluar image bisa diimpor untuk delineasi. Ini bisa dikombinasikan dengan hasil dari MRI atau PET scan. Ini sangat membantu menentukan target volum. Dengan adanya teknologi PET scan, paradigma dalam terapi radiasi berubah. Jika sebelumnya berorientasi pada anatomical target volume, sekarang  menjadi biological target volume.

Kemudian ditentukan jumlah energi penyinaran, arah penyinaran, wedge, sudut kolimator dan segmen/portal.  Berikutnya, ditentukan jumlah dosis, dan dilakukan evaluasi, hingga didapatkan planning yang terbaik. Baru kemudian dilakukan radiasi.

Mengoptimalkan radioterapi

Pengobatan kanker memerlukan pendekatan multidisiplin ilmu, mencakup ahli bedah, ahli onkologis medis, onkologi radiasi dan sebagainya. Radioterapi sendiri dapat menjadi terapi definitive, terapi ajuvan dan terapi paliatif.

Publikasi Ascele C dan kawan-kawan menyebutkan bahwa radioterapi yang dikombinasi dengan kemoterapi pre operative, merupakan terapi standar untuk kanker rektal tingkat lanjut.  Ini dapat menurunkan angka kekambuhan lokal dari 37% menjadi 10%. Sementara, penelitian  Jim Lian Li menunjukkan bahwa  kombinasi antara IMRT dengan concomitant dose sebesar 50,6 dan 41,8 dikombinasi capecitabin, dapat meningkakan patological complete respose sebesar 31% dengan toksisitas yang bisa ditoleransi dengan baik.

Penelitian lainnya  mengombinasikan IMRT dengan capecitabin dan oxaliplatin (capox) pada pasien kanker kolorektal stadium lanjut dengan follow up median 55 bulan mendapatkan bahwa kombinasi IMRT dengan CAPOX, adalah aman dan menghasilkan respon patologis pada hampir 50% pasien.

Preoperative vs post operative

Radioterapi yang dilakukan sebelum operasi, bermanfaat untuk downstaging tumor dan memperbaiki reseksi, meningkatkan prosedur sparing spinkter. Radioterapi preoperative juga dapat ditoleransi dengan baik dan berefek baik pada vaskularisasi. Untuk radioterapi post operative, hipoksik post surgery menyebabkan kemoterapi dan radioterapi menjadi kurang efektif. Sementara itu, terdapat mobilitas yang lebih tinggi, terutama pada small bowel, karena adanya adhesi pasca operasi.

Dalam satu penelitian ditemukan bahwa pada pasien dengan kanker rektal yang mendapat radioterapi pre operative, penambahan 5FU pre operative atau post operative tidak berpengaruh pada harapan hidup pasien.

Begitu juga dengan penelitian dari Jerman, Rectal Cancer Study Group  yang menunjukkan bahwa harapan hidup keseluruhan adalah 76%, pada pasien yang mendapat kemoradiasi preoperative dan 74% pada pasien yang mendapat post operative. Angka kejadian kekambuhan 5 tahun adalah 6%, pada pasien mendapat kemoradiasi preoperative dan 13% pada pasien mendapat kemoradiasi postoperative. Toksisitasnya juga lebih rendah pada radioterapi preoperative.

Short course vs long course radioterapi

Untuk preoperative radioterapi bisa dilakukan dengan short course atau long course. Dalam penelitian, radioterapi short course menggunakan 5 x 5 Gy, dan tidak ada perbedaan harapan hidup antara radioterapi yang  short course dengan yang long course.  Tapi, angka rekurensi lebih kecil pada pasien yang menjalani radioterapi long course. Sedangkan toksistas lebih tinggi pada radioterapi short course.

Penelitian lainnya membandingkan radioterapi short course dengan operasi saja. Hasilnya menujukkan, outcome pasien lebih baik pada pasien yang menjalani radioteraopi kemudian menjalani operasi, dibanding pasien yang hanya menjalani operasi saja.

Dari sini keluar rekomendasi bahwa short course radioterapi pre operasi, diberikan dengan dosis 25 Gy  dalam 5 kali fraksi. Diberikan  interval 1 minggu, sebelum dilakukan operasi. Sedangkan radioterapi long course preoperative diberikan dengan dosis  45 gy dalam 25 fraksi, dilanjutkan dengan operasi setelah interval  6-10 minggu.          

Radioterapi post operative memiliki peran pada pasien dengan tumor pT1 (setelah eksisi), tanpa faktor patologis tingkat lanjut (seperti involved margin, poorly differentiated tumor, Sm 3 dan invasi limfovaskuler). Pasien-pasien ini memiliki risiko rendah untuk mengalami rekurensi lokoregional dan tidak dianjurkan untuk diberi terapi ajuvan.

Pasien-pasien dengan tumor pT1 tumor (setelah eksisi local) dengan faktior patologis berbahaya atau dengan kualitas prosedur eksisi lokal meragukan, harus menjalani reseksis seluruh rektum. Radiokemoterapi post operative bisa dipertimbangkan pada kondisi umum yang terkompromisasi, atau jika pasien menolak menjalani operasi.

Pengobatan optimal tumotr pT2 adalah bedah radikal. Radiokemoterapi post operatif adalah alternative untuk pasien dengan komorbdiitas atau menolak menjalani bedah setelah eksisi local, ketika faktor prognostik berbahaya tidak ada.

Peluang Hidup Pasien Kanker Usus Besar Meningkat