Pemberian L. casei Shirota strain memberi efek positif pada penurunan BAB, memperbaiki fungsi ginjal dan inflamasi pada pasien gastroenteritis.
Penyakit ginjal termasuk salah satu beban kesehatan terberat di Indonesia. Terapi pengganti ginjal hemodialisis (HD) kini menempati urutan kedua, penyakit yang menyedot biaya BPJS, setelah penyakit jantung. Total klaimnya mencapai 7,6 triliun rupiah sejak awal BPJS (2014) hingga 2016. Penyakit ginjal kronis (PGK) awalnya tidak menunjukkan gejala khas, sehingga sering terabaikan, dan baru diketahui saat penyakit sudah dalam stadium lanjut.
Dalam menangani pasien PGK, masih kerap dilupakan hubungan antara ginjal dengan usus (kidney-gut axis). Orang dewasa sehat memiliki sekitar 100 triliun bakteri pada ususnya, 10 kali lebih banyak daripada sel manusia. Bakteri usus berkembang bersama manusia, dan mengembangkan hubungan yang bersifat simbiosis. Hubungan ini bahkan memperluas kemampuan metabolik dan biosintesis kita, jauh melampaui kode dalam genom manusia.
Lebih dari 50 fila bakteri menghuni usus manusia; yang terbanyak yakni kelompok Bacteriodete dan Firmicute. Jumlah dan keberagaman bakteri di usus meningkat dari bagian proksimal ke distal. Bakteri proteolitik seperti Bacteriodete terdapat pada kolon distal, sedangkan bakteri sakarolitik menghuni kolon proksimal. Bakteri proteolitik menghasilkan toksin; karenanya, distribusinya di kolon distal meminimalkan paparan terhadap toksin.
Dalam kondisi sehat, tercipta hubungan simbiosis yang harmoni antara usus dengan bakteri. Namun dalam kondisi sakit, keseimbangan ini terganggu, yang disebut oleh Metchnikoff sebagai ‘disbiosis’. Disbiosis kini didefinisikan sebagai perubahan kualitatif dan kuantitatif flora usus, dalam aktivitas metabolik dan distribusinya.
Studi oleh Vaziri, dkk (2013) menemukan, profil mikrobioma pada pasien dan model hewan dengan PGK berbeda dari kelompok kontrol. Tikus dengan PGK memiliki penurunan total kekayaan populasi bakteri, dengan perbedaan 175 unit taksonomi antara tikus PGK dengan yang normal. Struktur komunitas bakteri di antara dua kelompok itu juga berbeda. Beberapa Bacteriodete dan Firmicute lebih sedikit pada tikus dengan PGK. Pada manusia, 24 pasien penyakit gagal ginjal tahap akhir (PGTA) memiliki 190 unit taksonomi operasional yang memiliki kelimpahan berbeda dibanding dengan 12 subjek kontrol. Pasien PGTA juga memiliki distribusi spesies bakteri yang berbeda. Bakteri Firmicute, Actinobacteria, dan Proteobacteria meningkat, sedangkan Bifidobacteria dan Lactobacilli menurun.
Maria R. Wing, dkk (2015) memaparkan beberapa faktor yang turut berkontribusi terhadap disbiosis pada pasien PGK. Antara lain transit usus yang melambat, penurunan kapasitas pencernaan, sekresi ammonia dan urea ke usus.
Melambatnya transit usus memungkinkan terjadinya proliferasi bakteri. Adapun terganggunya pencernaan protein menyebabkan protein yang belum dicerna tiba di kolon, yang juga akan memicu proliferasi bakteri proteolitik. Bakteri-bakteri ini akan memfermentasi protein dan asam amino dan menghasilkan toksin uremia seperti p-cresol, indoxyl sulfate dan trimethylamine N-oxide.
Terganggunya fungsi barrier usus memungkinkan terjadinya translokasi toksin-toksin tersebut ke dalam sirkulasi sistemik. Pada akhirnya, hal ini bisa memicu progresi PGK, penyakit kardiovaskular, pemborosan energi protein, dan manifestasi sistem saraf pusat.
Hal serupa diungkapkan oleh Sabatino A, dkk (2015). Dalam studinya, ia merangkum bahwa dari berbagai studi ada dua konsep patofisiologis penting yang terjadi dalam kidney-gut axis pada pasien PGK. Yakni (i) produksi dan akumulasi produk akhir yang berasal dari meningkatnya fermentasi protein dan zat lain, yang mengandung nitrogen di saluran cerna oleh bakteri, dan (ii) translokasi endotoksin dan bakteri hidup dari lumen usus ke dalam aliran darah, akibat rusaknya barrier epitel usus dan perubahan kuantitatif/kualitatif mikrobiota usus yang berkaitan dengan kondisi uremia.
Dalam studi tersebut, disoroti bahwa perubahan flora usus memiliki konsekuensi sistemik pada pasien PGK. Tidak lain karena disbiosis bisa memicu inflamasi kronik, meningkatkan risiko kardiovaskular, serta memperburuk toksisitas uremia.
Potensi probiotik
Nakabayashi, dkk (2011) dalam studi meneliti preliminer manfaat terapi sinbiotik terhadap kadar serum p-cresol pada pasien hemodialisis. P-cresol adalah toksin uremia yang berikatan dengan protein; di dalam darah utamanya berupa p-cresylsulphate. Produksi p-cresol di usus oleh bakteri, dipengaruhi berbagai faktor lingkungan. Seperti telah disebutkan, pasien PGTA yang menjalani HD sering kali mengalami gangguan defekasi. Mengingat sinbiotik (kombinasi probiotik dan prebiotik) efektif memperbaiki pola buang air besar (BAB), dilakukan penelitian untuk menilai efeknya terhadap kadar p-cresol pada pasien HD.
Sebanyak sembilan pasien HD mendapat terapi sinbiotik (L. casei Shirota strain dan Bifido bacterium breve Yakult strain, dan galakto-oligo sakarida sebagai prebiotik), tiga kali sehari selama dua minggu. Mereka diminta untuk menyelesaikan kuesioner, mengenai kebiasaan BAB (frekuensi, kuantitas feses, bentuk feses, serta kemudahan defekasi) selama periode studi. Serum p-cresol dinilai sebelum dan sesudah terapi sinbiotik.
Berdasarkan kuesioner sebelum terapi, didapatkan bahwa partisipan dengan kadar serum p-cresol tinggi, cenderung mengalami sembelit dan fesesnya keras. Terapi sinbiotik meningkatkan kuantitas feses secara signifikan. Tekstur feses yang keras/bertekstur seperti lumpur/lunak pun menjadi normal. Selain itu, serum p-cresol juga turun secara signifikan.
Disimpulkan bahwa toksin uremia p-cresol berhubungan dengan konstipasi, dan bahwa terapi sinbiotik menghasilkan kebiasaan BAB yang normal dan turunnya kadar serum p-cresol pada pasien HD. Karenanya, terapi dengan sinbiotik bisa menjadi cara antisipasi yang bertujuan mengurangi efek toksik p-cresol pada pasien HD.
Alireza Soleimani, dkk (2017) meneliti efek suplementasi probiotik terhadap kontrol glikemi, konsentrasi lipid, penanda inflamasi, dan stress oksidatif pada 60 pasien diabetes yang juga menjalani HD. Para partisipan disesuaikan berdasarkan jenis kelamin, durasi dialysis dan diabetes, IMT dan usia. Selanjutnya, mereka secara acak dibagi menjadi dua kelompok. Satu kelompok mendapat kapsul berisi probiotik (L. acidophilus, L. casei dan Bifidobacterium bifidum), kelompok lain mendapat plasebo, selama 12 minggu.
Berdasar catatan tiga harian selama studi, tidak ada perubahan signifikan dalam asupan nutrisi makro dan mikro, atau total serat pangan yang bisa memengaruhi hasil.
Setelah 12 minggu, analisis menunjukkan bahwa pasien yang mendapat suplemen probiotik mengalami penurunan glukosa plasma puasa yang signifikan, dibanding yang mendapat plasebo (-22,0 vs. +6,6 mg/dL), serum insulin (-6,4 vs. +2,3 ¼IU/ml), model homeostasis perkiraan pengukuran resistensi insulin (–2.9 vs. +2.5), model homeostasis perkiraan pengukuran fungsi sel beta function (–14.1 vs. +6.1) dan Hb A1c (–0.4 vs. –0.1%), dan perbaikan indeks uji sensitivitas insulin kuantitatif (+0.03 vs. –0.02).
Selain itu dibandingkan dengan plasebo, suplementasi probiotik menurunkan secara signifikan protein C-reaktif yang sensitivitas tinggi (–1933 vs. +252 ng/ml), plasma malondialdehid (–0.3 vs. +1.0 ¼mol/l), skor penilaian global subjektif (–0.7 vs. +0.7), kapasitas pengikatan zat besi total (–230 vs. +33 ¼g/dl), dan peningkatan kapasitas antioksidan total plasma secara signifikan (+15 vs. –88 mmol/l).
Memperbaiki fungsi ginjal
Penelitian menarik dilakukan oleh Bora Akoglu, dkk (2015), terkait manfaat L. casei Shirota strain dalam memperbaiki fungsi ginjal, inflamasi dan BAB, pada pasien gastroenteritis. Dalam studi ini, dilibatkan 142 pasien rawat inap dengan gejala gastroenteritis akut. Sebagian dari mereka diberi minuman probiotik berupa L. casei Shirota strain dua kali sehari, sebagian menerima L. casei dan antibiotik, sebagian lainnya mendapat terapi antibiotik.
Ditemukan, kelompok L. casei Shirota strain mengalami penurunan rerata BAB harian dan kumulatif, serta perbaikan pada laju filtrasi glomerulus. Perawatan dengan L. casei Shirota strain, juga menurunkan CRP (C-Reactive Protein) pada hari kelima, keenam dan ketujuh. Jumlah leukosit turun pada semua kelompok, tapi pada hari ketiga efeknya lebih tinggi secara signifikan pada kelompok yang mendapat L. casei Shirota strain dan antibiotik.
Dalam studi tersebut, pemberian L. casei Shirota strain dua kali sehari memberi efek positif pada penurunan BAB, memperbaiki fungsi ginjal dan inflamasi, ketimbang kelompok kontrol. Penulis studi menyarankan untuk mempertimbangkan pemberian L. casei Shirota strain sebagai tambahan, pada pasien gastroenteritis akut dengan penanda inflamasi tinggi dan/atau gangguan fungsi ginjal akut. (nid)