Ethicaldigest

Disfungsi Barrier Kulit pada DA 1

Kelainan pada barrier kulit dan kecenderungan untuk terjadinya infeksi sekunder, merupakan karakteristik dermatitis atopik. Hingga saat ini, kelainan-kelainan ini diperkirakan terjadi akibat abnormalitas imunologis. Atau, sebaliknya, kelainan pada barrier kulit adalah pemicu munculnya penyakit pada penderita dermatitis atopic (DA). Menurut Peter M. Elias dari Universitas California, San Fransisko, California, ada beberapa bukti dari hubungan ini.

Pertama, tingkat abnormalitas barrier kulit pararel dengan tingkat keparahan penyakit dermatitis atopik. Kedua, daerah kulit yang mengalami dermatitis dan yang bersih dari peradangan sama-sama mengalami abnormalitas pada barrier kulit. Ketiga, pemberian emolien dapat membantu mengatasi penyakit. Keempat, terapi pengganti lipid yang ditujukan mengatasi abnormalitas lipid biokimia pada dermatitis atopic, memperbaiki abnormalitas barrier dan merupakan terapi anti peradangan yang efektif pada dermatitis atopik.

Dasar Permeabilitas Barrier Kulit Normal 

Epidermis memroduksi beberapa faktor pelindung atau difensif, yang dimediasi oleh end product yang berdiferensiasi secara unik. Stratum corneum (SC) salah satu fungsinya adalah barrier permeabilitas, yang memperlambat penguapan air melalui kulit, membantu mempertahankan air di lingkungan yang kering, dan mencegah bakteri masuk ke dalam tubuh serta mambantu tumbuhnya flora normal non patogen.

SC terdiri dari beberapa lapis jaringan, mencakup sel anukleat (korneosit), yang dikelilingi  lembaran lamellar planar multiple, diperkaya dengan tiga lipid utama; seramid, kolesterol, dan asam lemak bebas. Tempat dari lipid yang sangat hidrofobik ini berada di antara domain ektraseluler SC, yang dalam kondisi normal menghambat keluarnya air dan mencegah masuknya bakteri patogen dan allergen.

Abnormalitas barrier kulit turunan

Berdasarkan abnormalitas pada produksi serine protease (SP)/ekspresi anti-protease atau filaggrin (FLG), terjadinya dermatitis atopik saat ini memiliki hubungan yang lebih erat dengan kelainan primer pada struktur dan fungsi stratum corneum.

  • Hubungan mutasi Filaggrin dan dermatitis atopik

Bukti-bukti ilmiah paling kuat yang menunjukkan bahwa abnormalitas struktural primer berperan dalam patogenesis dermatitis atopic, berasal dari hubungan antara mutasi hilangnya fungsi pada gen yang mengode filament aggregating protein 3 (filaggrin, FLG) dan dermatitis atopik. Sekitar 70% keluarga Eropa utara dengan dermatitis atopic, memiliki satu atau lebih dari 20 mutasi berbeda pada FLG. Enam di antaranya kasus terbanyak di Eropa.

FLG merupakan komponen utama dari granula keratohyalin berwarna biru gelap, yang terletak di bagian luar lapisan epidermis nucleated (sel granular). Berdasarkan hal ini, penurunan ekspresi FLG menyebabkan kekurangan granula keratohyalin, suatu penada ichthyosis vulgaris (IV), yang memperlihatkan mutasi dengan spektrum yang sama dengan dermatitis atopik, walau tanpa peradangan.

Didapatkan adanya hubungan mutasi genetik dengan ekspresi FLG, dan hubungan ini bergantung pada besarnya mutasi genetik. Pasien heterozigot ([mutasi] alel tunggal) menunjukkan hilangnya ekspresi FLG, dengan suatu fenotip ringan. Sementara pasien dengan mutasi FLG homozigot dan heterozigot (alel ganda), memperlihatkan peningkatan kecenderungan berkembangnya dermatitis atopik yang lebih berat dan lebih persisten. Yang terpenting, penurunan ekspresi FLG epidermal umum, terjadi tidak hanya pada dermatitis atopik tapi juga pada pasien dengan rhinitis alergika dan/atau asma (tanpa dermatitis atopik). Hal ini menunjukkan bahwa abnormalitas barrier kulit, mendukung berkembangnya penyakit atopik dalam spektrum penuh.

  • Pelajaran dari sindrom Netherton

Kasus paling tepat untuk melihat peranan aktivitas serine protease (SP) yang berlebih dalam patogenesis dermatitis atopic, berasal dari sindrom Netherton. Yakni, gangguan resesif otosomal akibat mutasi hilangnya fungsi pada SPINK5, suatu gen yang mengkode penghambat SP, LEKTI. Sindrom ini ditandai oleh dermatitis atopik berat, atopi mukosa (asma dan rhinitis alergika), dan reaksi anafilaksis terhadap antigen makanan. Hilangnya ekspresi LEKTI berhubungan terbalik dengan peningkatan aktivitas SP, pada epidermis bagian luar. Aktivitas SP yang berlebih pada sindrom ini,  memungkinkan serangan enzimatik berat pada epidermis, yang menghasilkan kelainan permeabilitias berat pada barrier kulit, dengan penipisan stratum corneum secara dramatis.