Ethicaldigest

Masalah Nyeri

Nyeri, berdasarkan definisi, adalah pengalaman sensorik atau emosional, yang terkait dengan kerusakan jaringan atau yang berpotensi. “Benar jika disebut sebagai pengalaman sensorik, yang melibatkan serabut saraf dari perifer hingga sentral,” terang dr.  Yudiyanta, Sp.S, dari FK Universitas Gajah Mada, Yogyakarta. “Juga benar jika disebut pengalaman emosional.” 

Seseorang mau ujian, karena belum belajar dia stress. Ketika dia bangun tidur, leher terasa tegang dan punggung sakit. Ini pengalaman emosional yang bisa memicu timbulnya nyeri. “Atau, yang berpotensi. Kita mendekatkan diri ke api timbul nyeri, jadi kita menghindari sumber yang berpotensi menyebabkan nyeri,” terang dr. Yudianta.

Memahami nyeri harus dilakukan secara komprehensif. ”Kita juga harus memahami bagaimana biospsikososial spiritual pasien. Kadang kita bisa menggunakan pendekatan biopsikososial dalam penatalaksanaan nyeri,” katanya.

Pada seorang penderita kanker yang takut mati, perlu pendekatan yang baik. Misalnya dengan mengatakan bahwa semua orang menuju kematian. Walau pasien menderita kanker, ia masih bisa masuk kantor dan merawat anak. Semua itu berpahala. Pendekatan seperti itu bisa mengurangi intesitas nyeri yang dikelola pasien, sehingga kualitas hidup pasien meningkat.

Jenis nyeri

Tipe nyeri secara umum terbagi menjadi nyeri nosiseptif atau inflamatorik, disebabkan adanya aktivitas serabut saraf akibat proses inflamasi. Nyeri neuropati murni disebabkan adanya lesi pada saraf somatosensorik, baik perifer atau pun sentral. Tidak ada mekanisme inflamasi di tepat lain. Nyeri disfungsional jelas tidak ada gangguan somatotik, baik inflamasi atau pun jaras pada somatosensoriknya. Dan di antaranya ada mixed pain, yaitu nyeri campuran dari beberapa tipe.

Selain itu, berdasarkan durasi, nyeri dibagi menjadi nyeri akut dan nyeri kronis. “Yang perlu kita lakukan pada seorang pasien adalah, jangan sampai pasien datang dengan nyeri akut kemudian menjadi nyeri kronis,” ucap dr. Yudianta.

Nyeri akut didefinisikan sebagai nyeri dengan durasi kurang dari 4 minggu atau 1 bulan. Biasanya disebabkan kerusakan jaringan yang nyata. Nyeri membaik bersamaan dengam membaiknya kerusakan jaringan. Nyeri ini biasanya besifat perlindungan. Nyeri kronis biasanya tidak bersifat proteksi lagi, sudah berubah sifat. Mekanisme berbeda sehingga pengobatannya berbeda.

Nyeri inflamasi

Nyeri inflamasi terjadi karena cidera jaringan. Biasanya nyeri ini terlokalisir pada tempat yang mengalami trauma. Tempat yang mengalami nyeri bisa kaku, kemeng, dan berdenyut. Nyeri ini biasanya membaik seiring perbaikan jaringan. Namun, bisa juga pasien nyeri akut menjadi nyeri kronis. Managemen nyeri akut perlu diberikan secara adekwat.

Pasien dengan nyeri ini umumnya bisa merespon pemberian Obat Anti Inflamasi Non Steroid (OAINS). ”Kalau dokter mendapat pasien dengan nyeri yang setelah diobati sekali dan dua kali dengan OAINS dan tidak sembuh, pikirkan jangan-jangan diagnosis kita salah. Pasien bukan nyeri inflamatorik, mungkin neuropatik atau nyeri campuran,” kata dr. Yudianta.

Mekanisme nyeri inflamatorik

Cidera atau inflamasi jaringan akan menyebabkan munculnya perubahan lingkungan kimiawi pada akhir nosiseptor. Sel yang rusak akan melepaskan  komponen intraselulernya seperti adenosine trifosfat, ion K+, pH menurun, sel inflamasi akan menghasilkan sitokin, Chemokine dan growth factor.

Beberapa komponen ini langsung merangsang nosiseptor (nociceptor activators), dan komponen lainnya menyebabkan nosiseptor menjadi lebih hipersensitif terhadap rangsangan berikutnya (nociceptor sensitizers).

Komponen sensitisasi, misalnya prostaglandin E, akan mereduksi ambang aktivasi nosiseptor dan meningkatkan kepekaan ujung saraf dengan cara berikatan pada reseptor spesifik di nosiseptor. Berbagai komponen yang menyebabkan sensitisasi akan muncul secara bersamaan. Penghambatan hanya pada salah satu substansi kimia tersebut, tidak akan menghilangkan sensitisasi perifer.

Sensitisasi perifer akan menurunkan ambang rangsang dan berperan dalam meningkatkan sensitifitas nyeri, di tempat cedera atau inflamasi. Sama halnya dengan sistem nosiseptor perifer, transmisi nosiseptor di sentral juga dapat mengalami sensitisasi. Sensitisasi sentral dan perifer bertanggung jawab terhadap munculnya hipersensitivitas nyeri setelah cidera.

Sensitisasi sentral memfasilitasi dan memperkuat transfer sipnatik dari nosiseptor ke neuron kornu dorsalis. Pada awalnya, proses ini dipacu oleh input nosiseptor ke medulla spinalis (activity dependent), kemudian terjadi perubahan molekuler neuron (transcription dependent).

Sensitisasi sentral dan perifer merupakan contoh plastisitas sistem saraf, di mana terjadi perubahan fungsi sebagai respon perubahan input (kerusakan jaringan). Dalam beberapa detik setelah kerusakan jaringan yang hebat, akan terjadi aliran sensoris yang masif ke dalam medulla spinalis, menyebabkan jaringan saraf di medulla spinalis menjadi hiperresponsif.

Reaksi ini menyebabkan munculnya rangsangan nyeri, akibat stimulus non noksius dan pada daerah yang jauh dari jaringan cedera, juga akan menjadi lebih sensitif terhadap rangsangan nyeri. 

Nyeri neuropatik

Nyeri neuropatik adalah akibat langsung dari lesi atau penyakit yang menyerang sistim saraf somatosensorik. Nyeri ini ditandai sensasi pinprick, mati rasa, rasa seperti tersengat listrik atau rasa terbakar dan alodinia. Daerah tubuh yang terasa sakit tidak harus bagian yang mengalami cidera. Nyeri ini selalu bersifat kronis. Contohnya adalah neuralgia pasca herpes, nyeri pasca stroke. Respon terhadap analgensi konvensional buruk. Sehingga terapinya adalah ajuvan analgesik.