Ethicaldigest

Mikosis Paru Kerap Terabaikan

Kewaspadaan mengenai mikosis paru masih relatif rendah. Mengenali faktor risiko dan penyakit dasar pasien, merupakan salah satu kunci diagnosis.

Infeksi paru masih erat dengan kecurigaan terhadap TB maupun infeksi bakteri lainnya. “Kadang kita lupa, di antara mikroorganisme penye­bab pneumonia dan bronkhitis, juga ada jamur; tidak hanya bakteri,” ungkap Dr. dr. Anna Rozaliyani, M.Biomed, Sp.P, Ke­tua Departemen Parasitologi FKUI, Jakarta.

Mikosis paru masih kerap terlupakan atau terabaikan, padahal kasusnya ba­nyak. Meski belum ada data berapa infeksi paru yang disebabkan oleh jamur di Indonesia, dengan berbagai faktor risiko yang ada di sini, bisa diduga mikosis paru bukan masalah yang jarang terjadi.

Secara umum, infeksi jamur (mikosis) dibagi dua, menjadi superficial/muko­ku­tan dan sistemik/invasif. Mikosis paru ter­­masuk bagian dari infeksi sistemik, umum­nya potensial terjadi pada pasien dengan gangguan daya tahan tubuh, baik imu­nokompromis maupun imunodefisiensi.

Pada dasarnya, risiko mikosis paru mengintai orang dengan penurunan imu­ni­tas, karena penyakit maupun obat-obatan. Sistem imun tubuh memiliki kemam­puan untuk membasmi jamur yang masuk. Apalagi secara alami, patogeni­si­tas jamur rendah. Namun dengan turun­nya imunitas, jamur yang awalnya tidak berbahaya memiliki kesempatan untuk berkembang bahkan berkolonisasi.

Seiring dengan meningkatnya pasien imunokompromi, kejadian mikosis paru cenderung meningkat. Ini merupakan salah satu faktor yang berperan dalam meningkatnya mikosis paru di Indonesia. 

“Kasus HIV belum turun secara signi­fikan. Pasien dengan penyakit kronis dan keganasan pun makin banyak,” ujar Dr. dr. Anna. Belum lagi kasus kelainan imu­nitas bawaan, berupa autoimun yang menurunkan daya tahan tubuh seperti lupus dan SLE. Pasien transplantasi juga meningkat. “Dan jangan lupakan pasien sakit berat, yang di ICU maupun di ruang rawat biasa, tapi kondisinya critically ill se­hingga daya tahan tubuhnya menu­run,” imbuhnya.

Sebab kedua, dokter mulai sadar dan waspada mengenai mikosis paru. Boleh jadi, mikosis paru sudah banyak terjadi sejak lama, tapi karena belum ada kewas­padaan maka banyak yang luput.  Ketiga, alat diagnostik sudah makin baik. Kini bisa ditelusuri bahwa infeksi yang terjadi pada paru seorang pasien, ternyata disebabkan oleh jamur.

Sebab lain yang tak boleh dilupakan, tingginya penderita TB di Indonesia. TB merupakan salah satu penyakit dasar (underlying disease) yang jamak menim­bulkan mikosis paru. “Jadi ada mikosis pa­ru terkait TB, yang sedang dalam pengo­bat­an maupun pasien bekas TB,” ucapnya.

Penyakit dasar memang merupakan satu dari dua faktor penting pada pasien, yang bisa menjadi petunjuk awal. Penyakit dasar lain yakni yang telah disebutkan, berbagai gangguan imunitas.

Faktor lain adalah faktor risiko, yang akan mempermudah terjadinya mikosis sistemik. Misalnya pemberian steroid sistemik, antibiotik, hingga penggunaan alat medis invasif di ICU seperti ventilator dan kateter intravena. “Antibiotik, ter­utama bila penggunaannya seram­pang­an, akan mematikan banyak bakteri ko­men­sal dalam tubuh. Bila bakteri berku­rang, populasi jamur akan naik,” terang dr. Arifin Nawas, Sp.P(K), dari MRCCC Siloam Hospitals Semanggi, Jakarta. Adapun steroid menekan sistem imun.

Jamur yang paling sering menyebab­kan mikosis paru yakni Aspergillus spp, Cryptococcus spp, Pneumocystis jiro­vecii, dan Histoplasma capsulatum. Adapun Candida paling sering menye­bab­kan mikosis organ sistemik. “Asper­gi­lus ada di udara. Masuk ke tubuh mela­lui saluran napas,” ujar dr. Arifin.

Adapun Pneumocyctis jirovecii bisa menimbulkan PCP (pneumocystis pneumonia). Ini merupakan infeksi oportunistik yang paling sering terjadi pada pasien HIV, terutama dengan CD4 <200 sel/unit.

Kriptokokus juga cukup sering men­jangkiti pasien HIV/AIDS. Paling sering mengenai selaput otak atau sistem saraf pusat, bisa juga menimbulkan mikosis paru. Gejalanya mirip dengan penyakit paru lainnya. Kelainan kulit pada wajah, leher, dan kepala berupa papula, pustula, nodul, abses atau ulkus merupakan gejala awal dari infeksi sistemik, dan sering berlanjut pada penurunan kesadaran.

Sedangkan jamur Histoplasma biasa­nya ditemukan di daerah tertentu (ende­mik). “Biasanya berada di tanah yang bercampur dengan bekas kotoran unggas, burung merpati, dan kelelawar,” terang Dr. dr. Anna.

Gejala histoplasmosis kronis bisa me­nyerupai infeksi TB, dengan keluhan awal seperti gejala flu atau tanpa gejala. Telah dilaporkan kasus histoplasmosis yang semakin banyak. Histoplasmosis antara lain ditemukan di Sukabumi, Jakarta, dan Riau.

Secara umum, gejala mikosis paru mirip dengan penyakit paru lainnya, sehingga sering terlewatkan dari perhatian dokter. “Umumnya, pasien datang dengan batuk yang tak kunjung sembuh,” ucap dr. Arifin.

Setelah pengobatan TB tidak berhasil, demikian pula dengan antibiotik, barulah muncul kecurigaan mengenai infeksi jamur. Inilah yang membuat mikosis paru sering terlambat didiagnosis.

Memang, kewaspadaan mengenai miko­sis paru masih relatif rendah. Saat ber­kaitan dengan penyakit paru, pola pi­kir kita masih terpaku pada TB dan bakteri lain, yang sering menyebabkan infeksi paru di Indonesia. “Di kalangan medis sendiri belum terlalu familiar bahwa ada yang namanya jamur sistemik, dengan angka kematian lebih tinggi daripada kematian akibat bakteri,” ujar Dr. dr. Anna.

Akut dan kronis

Secara umum, mikosis paru bisa dibagi menjadi dua, yakni infeksi akut dan kronis. “Yang akut biasanya timbul mendadak, keluhan lebih hebat, dan ancaman kema­tian­nya lebih tinggi, terang Dr. dr. Anna.

Termasuk mikosis paru akut misalnya aspergilosis paru akut invasif. Ini sering terjadi pada pasien di ruang ICU, dengan kelainan paru sebelumnya. Infeksi akut lainnya yakni histoplasmosis akut, dan kriptokokosis akut. Kematian bukan semata disebabkan oleh banyaknya jamur yang menginfeksi, tapi mencakup reaksi peradangan yang ditimbulkan. Reaksi peradangan yang hebat bisa menyebab­kan gagal napas akut, yang ancaman kematiannya tinggi.

Pada mikosis paru kronik, yang pa­ling berisiko mengalaminya yakni pasien dengan penyakit dasar berupa penyakit paru kronis: TB, kanker paru, dan PPOK (penyakit paru obstruktif kronis). Seperti juga mikosis paru akut, mikosis paru kronis paling sering disebabkan oleh aspergilus, kriptokokus, dan histoplasma.

Dalam periode singkat, mikosis paru kronis tidak langsung menyebabkan kematian. Namun, kualitas hidup pasien sangat menurun karena batuk tak kunjung sembuh. “Yang repot kalau batuk darah. Batuk darah pada kondisi yang tidak terlalu berat saja membuat pasien keta­kut­an dan panik. Apalagi kalau batuk darahnya masif. Ancaman kematiannya tinggi,” tutur Dr. dr. Anna.

Banyak faktor yang menyebabkan ba­tuk darah. Kerusakan jaringan paru seperti kavitas, ektasis, dan bula paru, memiliki pro­ses peradangan yang terus berjalan. Dalam kondisi normal sekalipun (tidak sedang serangan), jaringan-jaringan ter­sebut tidak sepenuhnya stabil; tidak normal seperti jaringan biasa. Bila terjadi in­feksi jamur, terjadi proses peradangan yang lebih hebat, dan mengiritasi jaringan yang rusak sehingga rawan terjadi perdarahan.

Yang ditakutkan dari batuk darah masif yakni asfiksia, hingga henti napas. Inilah yang mengancam nyawa pasien. Kalau pun tidak sampai terjadi gagal napas, mikosis paru kronik yang tidak ditangani dengan baik akan mengganggu kualitas hidup pasien.

Gradasi diagnostik

Tiga kunci diagnosis mikosis paru: fak­tor pejamu, kondisi klinis, dan pemerik­sa­an lab mikologi. “Faktor pejamu berarti kon­disi pasien. Yakni faktor risiko dan pe­nyakit dasar yang dimiliki,” jelas Dr. dr. Anna.

Mengenali kondisi klinis mikosis paru tidak mudah, karena gejalanya tidak jelas dan tidak khas. Karenanya harus ditam­bah pemeriksaan radiologi; standarnya meng­­gunakan foto toraks. Bila memung­kin­kan, pemeriksaan CT scan bisa dila­kukan.

Gambaran pada foto toraks pun tidak se­lalu menunjukkan tanda yang khas. “Ke­cuali aspergilosis pada pada pasien TB atau bekas TB dengan kavitas. Akan terli­hat se­perti bola di dalam kavitas,” ucap dr. Arifin.

Untuk itu harus dilengkapi peme­riksaan lab mikologi. Sampel harus yang berasal dari paru, misalnya sputum yang dibatukkan dari saluran napas bawah. Sampel dari saluran napas atas, bisa saja terkontaminasi jamur dari rongga mulut. Pada pasien yang kesulitan mengeluarkan sputum, bisa dilakukan induksi dengan larutan hipertonik NaCl 3%, untuk mengi­ri­tasi saluran napasnya. Diharapkan akan terangsang pengeluaran sputum dari saluran napas bawah. Pada pasien ICU yang memakai ventilator, sampel diambil dari aspirat ETT (endotracheal tube).

Pemeriksaan mikologi, tak cukup sekadar mengirim sampel ke lab, tanpa menginformasikan faktor risiko dan penyakit dasar pasien, serta gejala klinisnya. “Akhirnya, yang diperiksa jadi tidak fokus. Bila disertakan informasi, kita bisa memprioritaskan ke kecurigana tertentu. Ini membantu kita untuk lebih selektif,” tutur Dr. dr. Anna.

Untuk memprediksi kemungkinan mikosis paru pada pasien yang berisiko, bisa dilakukan pemeriksaan biomarker. Misalnya, marker galaktomanan untuk asper­gilosis dan marker beta-D-glucan, untuk penanda candida. Untuk pemerik­saan biomarker, sampel diambil dari darah. “Bisa juga kita sertakan dari sekret paru, se­hingga lebih tepat. Kombinasi darah dan sekret paru meningkatkan akurasi diagnostik,” ujar Dr. dr. Anna.

Umumnya, pemeriksaan marker darah tidak cukup dilakukan satu kali. Pemerik­saan satu kali biasanya untuk skrining. Untuk lebih pasti, diperlukan dua kali pe­me­riksaan. Kata Dr. dr. Anna, “Masih pan­jang jalan untuk sampai ke tahap diag­nostik mikosis paru yang meyakinkan.”

Terdapat gradasi diagnostik dalam mikosis paru/sistemik. Yang paling meya­kin­­kan yakni proven (pasti), pengobat­an­nya pun pasti. Disebut proven bila ketiga kun­ci diagnosis menunjukkan hasil positif. “Pemeriksaan mikologi berasal dari biopsi ja­ringan atau cairan tubuh yang steril, mi­salnya cairan tulang belakang,” papar­nya. Cairan tulang belakang harus steril, “Kalau di­temukan jamur di sana, pasti positif infeksi.”

Infeksi yang ditemukan dari peme­rik­saan biomarker biasa atau kultur dari ja­ringan yang bukan cairan/jaringan steril, di­sebut probable (sangat mungkin). Pada kon­disi ini, pengobatan disebut preemtif, atau sangat mungkin.

Gradasi terakhir yakni possible (mung­­kin). Disebut demikian bila tidak bisa dilakukan pemeriksaan mikologi, atau dikerjakan tapi hasilnya negatif, meski ada faktor risiko, penyakit dasar, dan gejala kli­nis. Untuk diagnosis possible, te­ra­pi­nya disebut empirik.

“Rasanya, di Indonesia kita masih ba­nyak menggunakan skema terapi empirik, untuk diagnosis yang possible,” ucap Dr. dr. Anna. Tak bisa dipungkiri, belum se­mua RS dari Sabang – Merauke memiliki fasilitas pemeriksaan mikologi. “Pelan-pe­lan kita harus mengarah ke diagnosis yang lebih meyakinkan. Walaupun tidak sampai proven, paling tidak bisa sampai probable,” tandasnya.

Ketepatan diagnosis hingga ke spe­sies jamur penyebab infeksi, sangat me­nen­tukan pilihan terapi. (nid)