Prosedur minimally invasif dapat dilakukan, setelah terapi lain lagi efektif. Disuntikkan cairan semen khusus ke dalam tulang vertebra, untuk menghilangkan nyeri dan mengembalikan kemampuan gerak.
Fraktur vertebral akibat osteoporosis dapat menyebabkan nyeri, disabilitas dan mortalitas. Kasus patah tulang banyak dialami mereka yang berusia >50 tahun di Amerika Serikat. Jurnal Osteoporosis International 2006 mencatat, sekitar 1,4 juta kasus fraktur kompresi vertebra.
Terapi nonbedah seperti pemberian analgesia, tirah baring, fisioterapi dan pemakaian back brace, dapat mengurangi nyeri. Pada sebagian kasus, nyeri akan menetap dan menjadi kronis. Deformitas vertebral menyebabkan berkurangnya tinggi badan, kifosis, penurunan fungsi paru dan gangguan fungsi gerak.
Fraktur vertebra berhubungan dengan peningkatan risiko patah tulang di kemudian hari. Intervensi yang efektif mengelola rasa sakit dan mempersingkat waktu pemulihan, sangat bermanfaat bagi pasien. Bedah umumnya tidak dipertimbangkan karena besarnya risiko berhubungan dengan faktor usia pasien, dan kemungkinan komordibitas. Teknik minimally invasive menjadi opsi yang masuk akal.
Ada beberapa teknologi minimally invasive untuk osteoporosis antara lain vertebroplasty, kyphoplasty dan vesselplasty. Normalnya prosedur-prosedur tersebut dilakukan, setelah terapi lain seperti pemakaian back brace dan medikamentosa tidak lagi efektif. Prosedur-prosedur tersebut pada dasarnya dilakukan dengan menyuntikkan cairan semen khusus ke dalam tulang vertebra yang remuk. Tujuannya untuk mengurangi/menghilangkan nyeri dan mengembalikan kemampuan gerak.
Percutaneous vertebroplasty pertama di Perancis tahun 1984, dapat mengurangi nyeri dan berkurangnya fungsi tulang belakang. Tidak semua orang dengan fraktur vertebra bisa menjadi kandidat untuk vertebroplasty. Beberapa penelitian menyatakan, vertebroplasty memberi sedikit manfaat dibanding terapi konvensional seperti tirah baring, antinyeri, pelemas otot, back braces dan fisioterapi.
American Journal of Neuroradiology 2006 menyatakan, vertebroplasty bisa meningkatkan risiko patah tulang belakang, terutama pada tulang yang berdekatan dengan area yang disuntikkan bone cement; kadang-kadang cairan semen bocor dan menekan bantalan tulang yang berdekatan. Menurut The New England Journal of Medicine 2009, vertebroplasty tidak memberi manfaat signifikan dibanding prosedur sham (bedah plasebo), dalam 6 bulan follow-up pada pasien osteoporosis dengan fraktur vertebra.
Dr. Ibnu Benhadi, SpBS(K), dari RSU Bunda Jakarta, menjelaskan, pada teknik vertebroplasty cairan semen disuntikkan ke sela-sela tulang yang fraktur. Jika cairan semen merembes dan menekan saraf, berisiko menyebabkan HNP. Teknik tersebut disempurnakan dengan kyphoplasty. “Area tulang dilubangi, kemudian ditiupkan balon supaya terkoreksi dulu volumenya, baru kemudian dimasukkan semen,” katanya.
Pada tahun 1998 FDA menyetujui balon khusus (the Kyphx Inflatable Bone Tamp) digunakan untuk mengurangi fraktur/kerapuhan tulang belakang. Balon bisa membantu proses penyembuhan dan menciptakan ruang/rongga, di bagian lunak di dalam vertebra. Sejak saat itu, teknik bedah balloon kyphoplasty dilakukan pada lebih dari 460.000 kasus fraktur tulang; lebih 12.800 dokter di seluruh dunia dilatih untuk melakukan prosedur ini.
Kyphoplasty dimulai dengan posisi pasien tengkurap. Menggunakan panduan fluoroskopi biplanar (proyeksi anteroposterior dan laterolateral) untuk melakukan prosedur yang aman, dan masukkan kanula melalui sayatan kulit ke pedikel vertebra. Setelah kanula diposisikan tepat ke vertebra, alat bor masuk melalui kanula untuk membuat saluran untuk balon di ruang medula (bagian tengah tulang).
Penetrasi bor dihentikan pada jarak 2-5 mm dari dinding anterior vertebra. Bor kemudian dilepas, balon ditiupkan ke dalam ruang medula. Balon mengandung larutan saline dan barium, agar bisa divisualisasikan di bawah fluoroskopi saat digembungkan.
Balon digunakan untuk meninggikan tulang yang sudah remuk. Setelah balon dikeluarkan, rongga hasil pengangkatan tersebut diisi bone cement untuk menstabilkan tulang. Prosedur ini bisa dikerjakan dengan anestesi umum atau lokal. Sebagai perawatan sehari atau menginap semalam, tergantung kebutuhan medis.”Namun, “Risiko bone cement merembes keluar tetap ada,” kata dr. Ibnu.
Vesselplasty
Teknik kyphoplasty terus dikembangkan guna mengurangi risiko kebocoran cairan semen; dikenal dengan vesselplasty. Kyphoplasty maupun vesselplasty merupakan tindakan minimally invasive, dengan sayatan kecil 0,7 – 1 cm.
“Pada prosedur vesselplasty, balon ditinggalkan di dalam vertebra, dan langsung diisi bone cement. Penggunaan balon bertujuan untuk mencegah bocornya cairan semen keluar korpus tulang, yang dapat menyebabkan komplikasi,” ujar dr. Ibnu.
Flors L, Lonjedo E, dkk., dari Department of Radiology Hospital Universitario Doctor Peset, Spanyol, meneliti 29 orang untuk melihat efektivitas dan keamanan teknik vesselplasty, dalam perawantan fraktur kompresi vertebral (VCF). Riset dilakukan April 2006 sampai Februari 2008. Semua pasien telah menjalani terapi medis untuk satu atau lebih VCF. Skor nyeri, mobilitas, penggunaan analgesik, dan restorasi tinggi badan dievaluasi.
Tujuh dari 29 partisipan mengalami fraktur pada lebih dari 1 level, dengan total prosedur 37. Penyebab fraktur vertebra antara lain osteoporosis pada 27 orang (73%), 5 orang (13,5%) mengalami trauma benturan keras, myeloma 3 pasien (8%) dan fraktur akibat metastasi 2 partisipan (5,4%). Rerata skor nyeri sebelum terapi adalah 8,72 +/- 1,25 (SD); setelah perawatan 3,38 +/- 2,35.
Tercatat pula, nilai rata-rata mobilitas sebelum terapi adalah 2,31 +/- 1,94, dan setelah terapi menjadi 0,59 +/- 1,05 (p<0,001). Rerata penggunaan analgesik praterapi adalah 3,07 +/- 1,46, dan pascaterapi 1,86 +/- 1,90 (p<0,001). Peneliti tidak mendapati adanya komplikasi. Disimpulkan, vesselplasty memberi manfaat yang signifikan dalam pengurangan rasa sakit dan kebutuhan analgesik, serta peningkatan mobilitas pada pasien VCF simtomatik. Vesselplasty dapat menjadi alternatif terapi yang aman, untuk pengobatan fraktur kompresi vertebra. Studi dipublikasikan dalam American Journal of Roentgenology 2009.
Riset lain oleh Dr. dr. Bambang Darwono, SpB, SpOT, FICS, dari RS Gading Pluit, Jakarta, merekomendasikan penggunaan SrHA (strontium containing hydroxyapatite salt) sebagai material bone cement, alih-alih memakai PMMA (polymethil-metacrhilathe). Ia melakukan studi perbandingan pemakaian SrHA dan PMMA, setelah 3 bulan dan 6 bulan perawatan menggunakanan teknik vesselplasty. Riset dilakukan pada 298 kasus VCF; 178 memakai PMMA dan 120 SrHA. Studi yang dipublikasikan di SAGE Journals ini menyimpulkan, semen SrHA lebih unggul dibanding PMMA pada kasus lanjut usia.
Vesselplasty tidak membutuhkan bius total, sehingga terhadap pasien dengan penyakit sistemik yang berat, seperti penderita gangguan jantung, tetap bisa dilakukan. Lamanya tindakan sekitar 30-60 menit, pasien dapat segera beraktivitas 2 jam pascatindakan. Studi menunjukkan, vesselplasty mampu memicu regenerasi sel-sel tulang. Selain menyambung tulang, juga merangsang pembentukan tulang baru di sekitar tulang yang mengalami ruptur, sehingga struktur tulang menjadi lebih kuat.
“Keluhan nyeri adalah akibat perubahan bentuk tulang belakang yang remuk, yang kemudian menjepit saraf. Dengan diangkat menggunakan vesselplasty atau kyphoplasty, bentuk tulang terkoreksi, dan keluhan nyeri hilang.
“Ada dua keuntungan yang bisa diraih. Pertama, secara morfologi mengoreksi tegaknya tulang. Kedua, mengembalikan struktur tulang seperti struktur anatomi normal. Kekurangan teknik ini, yakni hanya bisa diterapkan ketika kasus patah tulang berlangsung kurang dari tiga bulan. Bila lebih dari waktu tersebut, tulang sudah terbentuk jaringan baru sehingga sulit diperbaiki,” tegas dr. Ibnu. (jie)