Pasien geriatri memiliki karakteristik multipatologi. Gejala klinis tidak khas, rentan malnutrisi dan perubahan status fungsional. Obat neuroprotektif berguna untuk demensia vaskular.
Ibu Martha (70 tahun) datang ke klinik diantar oleh putranya. Ibu Martha memiliki masalah dalam mengingat, khususnya ingatan jangka pendek, selama 10 bulan terakhir. Kondisi ini diawali setelah ia jatuh terpeleset saat merawat tanaman.
Sejak saat itu, Ibu Martha sering mengajukan pertanyaan yang sama berulang-ulang. Sekitar empat bulan lalu, ia kembali jatuh dan mengeluhkan kerap merasa pusing. Sang anak makin menyadari penurunan daya ingat yang dialami ibunya, terutama karena sang ibu curiga dan menganggap menantunya menyembunyikan barang-barang tertentu.
Pasien juga tampak kehilangan minat untuk melakukan kegiatan, termasuk berkebun yang dulu menjadi kegemarannya. Ia lupa menaruh benda-benda tertentu ke tempatnya saat memasak. Ia juga kerap harus diingatkan untuk minum obat.
Berdasar rekam medis, pasien diketahui memiliki hipertensi, diabetes, penyakit arteri koroner, osteoarthritis dan osteoporosis. Dalam tes Mini-Mental Status Examination (MMSE), ia mendapat skor 21/30 dengan gambaran tidak normal. Pada Skala Depresi Geriatrik (GDS), ia memperoleh skor 2/15. CT scan menunjukkan infark lacunar di ganglia basal kanan dan area sereblar kiri.
Kondisi Martha menggambarkan sebagian besar kasus demensia, yang dialami lansia di Indonesia. Lansia (lanjut usia), menurut UU No. 13 tahun 1998, adalah golongan usia 60 tahun ke atas. Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) menyatakan, Indonesia termasuk aging society; jumlah lansia >7%.
BPS (Badan Pusat Statistik) tahun 2018 mencatat jumlah lansia di Indonesia sekitar 9,27% (24,49 juta) dari total penduduk. Sebanyak 51,60% lansia hidup di perkotaan dan 48,40% di desa. Lansia pria sekitar 47,57%, lansia wanita 52,43%. Persentase lansia di Indonesia didominasi lansia muda, usia 60-69 tahun.
Struktur aging society mencerminkan semakin tingginya rata-rata usia harapan hidup (UHH) penduduk Indonesia. Menurut Pusat Data Informasi Kementerian Kesehatan RI 2016, sejak tahun 2004-2015 terjadi pengingkatan UHH dari 68,6 tahun menjadi 70,8 tahun. Diproyeksikan mencapai 72,2 tahun tahun 2030-2035.
Dari aspek kesehatan, dr. Rensa, SpPD-KGer, FINASIM, dari Departemen / KSM Ilmu Penyakit Dalam – FKIK Unika Atma Jaya, Jakarta, menjelaskan, “Hampir separuh lansia mengalami keluhan kesehatan sebulan terakhir; 7,86% pernah rawat inap dalam setahun terakhir; persentase lansia yang sakit lebih dari 3 minggu 14%.
Karakteristik pasien geriatri adalah multipatologi, yang menyebabkan morbiditas dan mortalitas tinggi, gejala klinis tidak khas (seperti silent myocardial infarction), penurunan daya cadang fisiologis (menyebabkan masalah sederhana mudah mengakibatkan disabilitas), rentan malnutrisi dan perubahan status fungsional.
“Perlu pengkajian paripurna pada pasien geriatri (P3G) untuk mengevaluasi pasien secara multidimensi. Salah satu komponen penting P3G adalah penilaian fungsi kognitif. Penyakit kronis seperti diabetes, dislipidemia dan hipertensi, dianggap sebagai faktor risiko gangguan fungsi kognitif melalui interaksi kompleks yang menyebabkan perubahan seluler di otak,” kata dr. Rensa.
Secara alamiah, ketika memasuki usia senja terjadi perubahan fisiologi di otak, seperti penurunan jumlah neuron di area hippocampus dan amigdala, atrofi volume otak, penebalan selaput pembungkus otak dan serabut saraf spinal, perluasan area ‘mati’ dan bertambahnya ukuran dan jumlah sel glia. Ini semua memberi implikasi klinis meningkatnya risiko gangguan saraf, parkinsonisme, konduksi antarsinaps melambat, penurunan ringan memori jangka pendek, dan perubahan gaya berjalan (langkah pendek dan condong ke depan).
Data RS Atma Jaya, Jakarta, tahun 2018 -2019 pada pasien lansia (n=131 orang) di ruang rawat inap penyakit dalam menyatakan, 23,7% menderita hipertensi, diabetes melitus dan penyakit jantung koroner masing-masing 13%. Köhler S, dkk (2014) menyatakan, hipertensi meningkatkan risiko stroke dan demensia vaskular. Penurunan fungsi kognitif dapat terjadi satu tahun setelah terdiagnosis hipertensi. Demikian pula diabetes. Albai O, dkk (2019) menjelaskan, sekitar 40% pasien DM mengalami penurunan fungsi kognitif (mild cognitive impairment / prademensia). Riset lain menyatakan, 50-80% dengan MCI dapat mengalami demensia.
Fungsi kognitif merupakan aktivitas mental secara sadar, seperti berpikir, mengingat, belajar dan menggunakan bahasa. Menurut Sturb dkk., fungsi kognitif juga merupakan kemampuan atensi, memori, pertimbangan, pemecahan masalah, serta kemampuan eksekutif seperti merencanakan, menilai dan mengevaluasi.
Demensia vaskular dan jenisnya
Pengaruh pembuluh darah pada penurunan kognitif dan demensia, berhubungan erat dengan kondisi yang timbul akibat stroke dan cedera otak vaskular lainnya. Menyebabkan perubahan signifikan pada memori, kemampuan berpikir dan perilaku.
Gejala demensia vaskular kerap sulit dibedakan dengan penyakit Alzheimer. Masalah atensi, berpikir lambat, penurunan kemampuan pengorganisasian dan penyelesaian masalah, kerap muncul sebagai tanda demensia vaskular. Penurunan memori lebih banyak terjadi pada Alzheimer. Area otak yang umumnya berhubungan penurunan kognitif, adalah white matter di cerebral hemisphere, terutama striatum dan thalamus.
Demensia vaskular diklasifikasikan sebagai kortikal atau subkortikal demensia. Penyakit-penyakit pembuluh darah menghasilkan efek fokal atau menyebar (diffuse) di otak, dan menyebabkan penurunan kognitif. Penyakit serebrovaskular fokal terjadi akibat oklusi vaskular trombotik atau emboli. Hipertensi ditengarai menjadi penyebab utama efek diffuse.
Ada tiga mekanisme paling umum dari demensia vaskular: multi-infark kortikal, infark tunggal di lokasi ‘strategis’ dan penyakit pembuluh darah kecil. Pada demensia akibat multi-infark, efek gabungan dari berbagai infark mempengaruhi jaringan saraf dan menyebabkan penurunan kognitif. Untuk demensia infark tunggal, area otak yang berbeda bisa terpengaruh. Ini teramati pada kasus infark arteri serebral, infark lobus parietal, infark thalamik dan infark gyrus singular.
Penyakit pembuluh darah kecil mempengaruhi semua jalur-jalur pembuluh darah kecil di otak, menyebabkan dua sindrome utama : penyakit Binswanger (leukoensefalopati subkortikal) dan kondisi lacunar (disebabkan oklusi pembuluh darah kecil dan menghasilkan lesi kavitas kecil, dalam parenkim otak sekunder). Menyebabkan perubahan dinding pembuluh darah arteri, perluasan ruang Virchow-Robin, serta fraksi parenkim perivaskular dan gliosis.
Penyebab lain demensia vaskular adalah penumpukan plak amiloid di dinding pembuluh darah otak (angiopati amiloid serebral). Pada angiopati amiloid cystatin-C herediter, pasien mengalami perdarahan serebral berulang sebelum usia 40 tahun. Hal ini bisa menyebabkan demensia. Zhang-Nunes SX, dkk., dalam jurnal Brain Pathology 2006 menjelaskan, prevalensi angiopati amiloid serebral secara konsisten lebih tinggi pada pasien dengan demensia, dibanding pasien tanpa demensia. Ini menunjukkan perannya yang signifikan dalam patogenesis demensia.
Epidemiologi
Demensia vascular di Amerika Serikat dan Eropa menempati kedua terbanyak, setelah Alzheimer. Tidak di Asia. Prevalensi demensia vaskular di Jepang sekitar 50% dari semua jenis demensia, sebagian besar diderita mereka yang berusia >65 tahun. Rata-rata prevalensi demensia menjadi 9 kali lebih tinggi, pada pasien yang menderita stroke; sekitar 25% pasien stroke mengalami demensia setahun kemudian.
Brodaty H, McGilchrist C, dkk., menjelaskan, pasien demensia yang juga menderita stroke, terjadi peningkatan mortalitas yang signifikan. Rerata tingkat kelangsungan hidup 5 tahun sekitar 39%. Faktor risiko utama demensia vaskular termasuk hipertensi, merokok, hiperkolesterolemia, diabetes mellitus dan penyakit kardio/serebrovaskular. Sebuah studi kohort tahun 2010 (Archives of Internal Medicine), meneliti 21.123 perokok berat paruh baya (>2 bungkus rokok per hari; rata-rata sudah merokok 23 tahun). Responden yang sudah merokok lebih dua dekade memiliki 100% kenaikan risiko demensia, Alzheimer dan demensia vaskular.
“Kualitas otak ditentukan sejak sebelum dalam kandungan. Ibu yang merokok, anaknya diprediksi mengalami gangguan kognitif dan pikun saat tua,” terang Dr. dr. Yuda Turana, SpS, Dekan Fakultas Kedokteran dan Kesehatan Unika Atma Jaya.
Demensia, secara umum dianggap sebagai penyakit degeneratif; terjadi penyusutan alamiah volume hippocampus pada lansia. Seperti penyakit degenerati lain, demensia belum ada obatnya. Obat hanya untuk mengurangi gejala dan memperlambat progresivitas.
“Saat berhadapan dengan penyakit yang tidak ada obatnya, yang bisa dilakukan adalah hindari faktor risiko dan deteksi dini. Intervensi bermanfaat saat sel-sel otak masih baik,” tegas dr. Yuda, dalam acara Grand Opening RS Atma Jaya Paviliun Bonaventura, beberapa waktu lalu.
Pengobatan untuk mencegah memburuknya demensia vaskular, dengan mengobati penyakit yang mendasari seperti hipertensi, hiperlipidemia dan diabetes. Para ahli merekomendasikan agen antiplatelet. Pentoxifylline dan mesylate ergoloid (Hydergine), berguna untuk meningkatkan aliran darah otak. Dalam Studi Eropa Pentoxifylline Multi-Infarct Dementia, pengobatan dengan pentoxifylline ditemukan bermanfaat bagi pasien dengan demensia multi-infark. Peningkatan signifikan diamati pada skala yang digunakan untuk menilai fungsi intelektual dan kognitif.
Obat-obatan neuroprotektif seperti nimodipine, propentofilin dan posatirelin, sedang dipelajari dan mungkin berguna untuk demensia vaskular. Deteksi dini bisa dilakukan dengan kombinasi tes penghindu, respon pupil, level BDNF dan APOE genotype. (jie)