Ethicaldigest

Risiko Gangguan Ginjal Karena Obat dan Infeksi Virus Pasien Hepatitis B

Risiko gangguan ginjal pada pasien hepatitis B tinggi. Penelitian melaporkan bahwa sekitar 45% pasien hepatitis B kronis, mengalami gangguan fungsi ginjal. Ini terjadi, bisa karena infeksi virus, karena pengobatan hepatitisnya, bisa juga karena pasien mengonsumsi obat-obatan lain. Bisa karena kondisi pasien, atau pasien punya komorbditas seperti  diabetes, hipertensi dan sebagainya.

Penelitian oleh Amet S dan kawan-kawan yang dipublikasikan di Journal International tahun 2014 memperlihatkan, dari 260 pasien dengan HBsAg positif, 106 (45,5%) pasien memiliki eGFR kurang dari 90ml/min/1,73m2. Dari seluruh pasien, 13,8% memiliki faktor risiko diabetes mellitus (4,6%) dan hipertensi (9,2%).

”Jika melihat obat-obatan apa saja yang digunakan oleh penderita hepatitis B, tidak jarang pasien harus menggunakan obat-obatan yang bersifat nefrotoksik,” kata dr. Irsan Hasan Sp.PD-KGEH. Misalnya, seorang penderita selain menggunakan obat antivirus, juga menggunakan agen diagnostik, analgesik, antimikroba, kemoterapi, imunosupresif dan pengobatan herbal.

”Guideline dari EASL mengharuskan pemantauan fungsi ginjal, pada pasien yang mendapat analog nukleosida,” ulas dr. Irsan pada simposium di Jakarta. Sebab, katanya, analog neuklosida diklirensi di ginjal. Dosis harus disesuaikan, untuk pasien dengan klirens kreatinin <50ml/menit. Karena itu, semua pasien yang mulai menggunakan analog nukleosida, harus diperiksa kadar kreatinin serum dan estimated creatinine clearance sebelum pengobatan. Selain itu, risiko ginjal baseline harus diperiksa pada semua pasien.

Dalam guideline tersebut dinyatakan, ”…. fungsi ginjal harus dimonitor saat pengobatan anti viral. Pemburukan fungsi ginjal yang tidak diharapkan saat pengobatan antiviral, memerlukan perubahan pengobatan atau adaptasi dosis lebih lanjut. Hipertensi dan diabetes harus dikontrol secara optimal …”

Risiko gangguan ginjal berhubungan dengan obat anti viral, melibatkan beragam proses yang berefek pada transporter ginjal hingga sel tubulus. Toksisitas terhadap tubulus ginjal yang terjadi secara langsung telah dilaporan pada beberapa obat baru, dengan efek yang khas pada pada sel epitel ginjal. Beberapa obat dilaporkan dapat menginduksi nefropati kristal, termasuk (acyclovir) dan penghambat protease (indinavir).

Ada beberapa faktor risiko yang menyebabkan nefrotoksisitas dari penggunaan obat antiviral. Faktor terkait pasien mencakup usia, jenis kelamin dan ras, riwayat gangguan ginjal sebelumnya, dehidrasi dan deplesi volum, asidosis dan depleasi elektrolit, hiperuresemia dan transplantasi ginjal.

Faktor risko terkait obat meliputi potensi nefrotoksik yang melekat, dosis yang diadaptasi untuk fungsi ginkal, durasi dan rute administrasi. Disamping itu, agen diagnostik atau terapeuitik yang dikombinasikan, yang memiliki efek nefrotoksik (mialnya agen radiokontras, aminoglikosida, OAINS dan ACE inhibitor).

Dalam publikasi tahun 2009 di Jurnal Hepatology, Fontana RJ mengatakan harus ada penyesuaian dosis antiviral pada pasien hepatitis B dengan fungsi ginjal terganggu. Baik untuk lamivudin, adefovir, entecavir, telbivudin atau pun tenofovir, tergantung dari GFR-nya.

Tapi, dalam penghitungan eGFR, tidak bisa hanya berdasarkan kreatinin. Misalnya, penghitungan eGFR menggunakan model MDRD tidak hanya memasukkan kadar serum kreatinin, juga memasukkan usia, jenis kemlamin dan ras. Pasien dengan kreatinin yang sama, ternyata bisa memiliki GFR berbeda.

Kena Hepatitis B? Berikut Terapi Herbal yang Sudah Teruji