Ethicaldigest

ASMA dan ISPA: Hubungan Erat dua Penyakit Pernafasan

Asma dan ISPA (Infeksi Saluran Nafas Akut) adalah dua gangguan saluran nafas yang saling berhubungan. Asma adalah penyakit peradangan kronis saluran nafas, dan banyak melibatkan sel dan elemen seluler. sementara, peradangan kronis menyebabkan hiperesponsif saluran nafas. Akibatnya adalah wheezing berulang, sesak nafas dan batuk, terutama di malam hari atau dini hari.

Dikatakan Prof. dr. Wiwien Heru Wiyono, Sp.P, dari RS Persahabatan, Jakarta, buruknya pengendalian faktor penyebab adalah pencetus eksaserbasi asma. “Faktor-faktor lingkungan yang bisa memicu asma meliputi infeksi virus pada saluran nafas, paparan terhadap allergen, polusi udara, infeksi bakteri, stress, olah raga atau udara dingin dan paparan bahan kimia di tempat kerja,” terang Prof. Wiwien.

Asma dan ISPA

Ada berbagai penyebab infeksi saluran nafas, mencakup virus, pneumonia atipikal dan bakteri. Satu publikasi di Journal Allergy Clinical Immunology tahun 2001 mendapati bahwa virus merupakan penyebab tersering infeksi pada saluran nafas. Sekitar 34-75% infeksi disebabkan rhinovirus, 26-40% coronavirus, 1-12% disebabkan respiratory syntical virus, diikuti oleh adenovirus, influenza/parainfluenza.

Penelitian Johnston SL dan kawan-kawan yang dipublikasikan di American Journal of Respiratory Critical Care Medicine tahun 1996 menemukan, pada 80% pasien dengan penurunan peak expiratory flow mengalami infeksi virus; 80% mengalami episode wheezing dan 85% melaporkan episode gejala nafas bagian atas, batuk, wheezing dan penurunan peak expiratory flow. Durasi median penurunan peak expiratory flow adalah 14 hari, dan median penurunan maksimal peak expiratory flow adalah 81 l/menit. Virus yang paling banyak terdeteksi adalah rhinovirus.   

Di kesempatan lain, Johnston SL dan kawan-kawan ingin melihat hbungan asma dan ISPA. Mereka melakukan penelitian untuk menguji hipotesa bahwa infeksi virus menyebabkan serangan asma, yang menyebabkan penderita dirawat di rumah sakit. Ditemukan adanya hubungan yang kuat, antara pola musiman infeksi saluran nafas bagian atas dan perawatan di rumah sakit karena asma. Hubungan ini lebih kuat pada pasien anak-anak, daripada orang dewasa .

Dari penelitian ini ditemukan bahwa infeksi saluran nafas bagian atas dan perawatan di rumah sakit karena asma, lebih sering terjadi pada masa sekolah (87% anak-anak dan 84% perawatan total), dibanding masa liburan (p < 0.001). Penelitian ini menunjukkan bahwa ASMA dan ISPA berhubungan erat.

Interaksi virus dan paparan alergen

Green RM dan kawan-kawan mengatakan bahwa infeksi virus per se bukan faktor risiko independen untuk perawatan asma di rumah sakit. Tersensitisasi dan terpaparan dengan alergen juga bukan faktor risiko independen perawatan di rumah sakit. Kombinasi  antara sensitisasi dan paparan terhadap satu atau lebih alergen dan infeksi virus, bisa meningkatkan risiko pasien asma masuk rumah sakit.

Mekanisme imunologis

Infeksi virus (terutama RV) kerap menyebabkan eksaserbasi asma. Kemungkinan mekanismenya adalah ekstensi ke dalam saluran nafas bagian bawah dan peradangan. Dipaparkan oleh Prof. Wiwien bahwa epitelium yang terinfeksi virus menyebabkan hiperresponsif saluran nafas, hipersekersi mukus, aktifasi nural, rekruitmen dan aktifasi sel peradangan, dan menyebabkan kebocoran plasma.

Pneumonia dan asma

Ada dua bakteri atipikal yang sering ditemukan pada pasien asma: klamidia pneumonia dan mikoplasma pneumonia. Penelitian yang dipublikasikan tahun 2002 menemukan bahwa tikus yang terinfeksi M. Pneumonia, dapat menyebabkan infeksi paru kronis, yang ditandai oleh hipersensitifitas saluran nafas, obtruksi saluran nafas dan inflamasi histologis. Ini mendukung hipotesis bahwa infeksi M. penumoniae dapat meyebabkan penyakit paru kronis dengan obtruksi saluran nafas fungsional, sebagaimana terlihat pada pasien asma.

Publikasi lain juga menyatakan bahwa infeksi akut dengan C. penumoniae dan M. Pneumoniae, dapat menginisiasi asma pada beberap pasien yang sebelumnya asimtomatis. Infeksi dengan C. penumoniae dapat berinteraksi dengan peradangan karena alergi, untuk meningkatkan gejala asma.

Publikasi lain di Scandinavia Journal of Infectious Disease tahun 1999, menemukan beberapa bakteri yang umum menyebabkan penumonia pada pasien asma, yaitu C. pneumonia, Coxiella burnetti, M. Pneumonia dan L. pneumophilla. Tapi, hanya infeksi akut dengan M. pneumonia yang dikaitkan dengan perlunya perawatan di rumah sakit,  karena eksaserbasi akut asma bronkhial.

Ada sebuah penelitian yang dipublikasikan di New England Journal of Medicine tahun 2006. Penelitian ini melibatkan 278 pasien dewasa dengan eksaserbasi asma akut, yang memerlukan perawatan medis jangka pendek. Pasien secara acak diberi 10 hari pengobatan oral telithromycin (dengan dosis 800 mg perhari) atau placebo, selain perawatan yang biasa diberikan.

Penurunan rerata skor gejala selama periode pengobatan adalah 1,3 untuk telithromycin, dan 1 untuk placebo (perbedaan rerata -0,3; 95% CI, -0,5 sampai -0,1; p=0,004). Tidak ada efek pengobatan yang signifikan pada outcome primer lainnya, yaitu perubahan peak expiratory flow di pagi hari.   

Namun demikian, Rae dan kawan-kawan dalam publikasinya mengatakan bahwa sebagian besar pasien yang terinfeksi M. pneumonia, juga mengalami infeksi virus saluran nafas lain. Ini mempersulit untuk menentukan peran pasti dari M. pneumonia, pada serangan asma berat.

GINA tahun 2010 menyatakan bahwa peran infeksi kronis dengan C. pneumoniae dan M. pneumoniae dalam patogenesis asma atau pemburukan asma, saat ini belum jelas. Penyakit saluran nafas bagian atas dapat mempengaruhi fungsi saluran nafas bagian bawah, pada beberapa pasien dengan asma. Mekanisme dibalik hubungan ini belum diketahui. Tapi, kemungkinan inflamasi berperan dalam patogenesis rhinitis, sinusitis dan polips nasal, sebagaimana pada pasien asma.

Pada pasien yang mengalami eksaserbasi akut asma, yang disertai dengan pneumonia bakteri, dianjurkan untuk diberi pengobatan dengan antibiotik yang tepat. (berdasarkan guideline penanganan pneumoniae). Gram sputum dan kultur/kerentanan terhadap obat harus dievaluasi. Pengobatan pneumoniae sebaiknya dipandu dengan evaluasi klinis dan microbial.

Karena peningkatan gejala asam sering menetap selama berminggu-minggu setelah infeksi dibersihkan, pengobatan anti inflamasi harus diteruskan hingga asam bisa dikendalikan.

Pengobatan pneumonia

Gudeline yang dikeluarkan ATS/IDSA tahun 2007 menganjurkan pasien yang berada di ruang perawatan, untuk mendapatkan monoterapi fluoroquinolon respirasi atau makrolid, yang dikombinasi dengan beta laktam pada pasien-pasien yang sebelumnya belum mendapatkan antibiotik. Tapi, pada pasien yang sudah pernah mendapat antibiotik, pengobatannya adalah dengan advanced macrolide dikombinasi dengan beta laktam atau fluoroquinolon respirasi.

Sedang pada pasien yang berada di intensive care unit, dilihat apakah ada risiko pseudomonas atau tidak. Pada pasien tanpa risiko pseudomonas, pengobatannya dengan beta laktam ditambah advanced macrolid atau fluoroquinolon respirasi. Tapi, jika pasien memiliki alergi terhadap beta laktam, pengobatannya dengan fluoroquinolon respirasi dikombinasi aztreonam. 

Pada pasien dengan risiko pseudomonas, pengobatannya dengan anti pseudomonal, anti pneumokokal, beta laktam/karbapenem, ditambah dengan Ciprofloxacine /Levofloxacine 750. Atau diberikan anti pseudomonas. antipneumokokal beta laktam/ karbapenem, ditambah aminoglikosida dan azithromisin. Tapi, pada mereka yang alergi beta laktam, pengobatannya dengan aztreonam, dikombinasi dengan fluoroquinolon respirasu ditambah aminoglikosida.

Sebuah publikasi di Archieve Internal Medicine tahun 2009 menyebutkan, penggunaan antibiotika yang dianjurkan oleh guideline, diketahui berhubungan dengan penurunan mortalitas dan lama perawatan di rumah sakit yang signifikan secara statistik. Outcome sekunder, seperti sepsis, gagal ginjal dan durasi terapi parenteral juga secara signifikan menurun.

LABA dan Kortiksoteroid Hirup dalam Tatalaksana Asma