Disbiosis, rusaknya barrier usus dan translokasi mikroba, memperburuk kondisi pasien HIV. Studi menunjukkan, pemberian probiotik membantu mengatasi masalah-masalah tersebut.
Sejak epidemi HIV (human immunodeficiency virus) pada 1981, sudah lebih dari 70 juta orang di dunia terinfeksi virus tersebut, dan sekitar 35 juta orang meninggal. Menurut Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), secara global 36,7 juta orang hidup dengan HIV hingga akhir 2015. Di Indonesia, kasus HIV pertama kali ditemukan pada 1987, dan mulai melonjak sejak 2007. UNAIDS memperkirakan, 600.000 – 790.000 orang Indonesia hidup dengan HIV pada 2015, dengan rerata kematian 35.000/tahun.
Infeksi oportunistik merupakan penyebab kematian utama pada pasien HIV/AIDS, ketika jumlah CD4+ turun hingga <200 sel/mm3. Limfosit T helper (CD4+ sel T) adalah sel imun utama yang diserang HIV. Pada 1993 ditemukan bahwa saat awal infeksi, virus ini secara signifikan bereplikasi (berkembang biak) di usus. Virus tersebut merusak fungsi barrier usus dan mikrobiota komensal (makhluk hidup kecil bersel satu yang hidup bersama organisme lain, tetapi tidak bersifat merugikan) yang hidup di sana. Pada periode ini pula, serangan paling hebat terhadap sistem imun terjadi di usus, yang merupakan ‘rumah’ bagi sekitar 70% sistem imun (termasuk ¾ sel CD4).
Flora bermanfaat vs virus
Disbiosis, terganggunya barier usus dan translokasi mikroba, termasuk tiga kunci utama dalam hubungan antara mikroflora tubuh dan HIV. Disbiosis (ketidakseimbangan bakteri) berhubungan dengan progresi penyakit, dan sebaliknya. Berbagai studi menemukan, profil bakteri usus penyandang HIV/AIDS berbeda dengan orang biasa. Pada penyandang HIV/AIDS, flora usus tidak terlalu beragam dan spesies bakteri yang menjadi kunci usus sehat jadi berkurang.
Bila didiagnosis dengan tepat, HIV bisa ditatalaksana dengan ART (antiretroviral therapy). Namun, pasien yang mendapat ART jangka panjang dan sukses dengan terapi tersebut, jarang memiliki mikrobiota usus yang sehat. Studi oleh Pérez-Santiago, dkk (2013) pada laki-laki yang baru terinfeksi HIV dan tidak diobati menemukan, ada hubungan antara tingginya kadar bakteri asam laktat Lactobacillus dengan tingginya jumlah sel CD4, rendahnya viral load dan translokasi mikroba.
Studi di Universitas Wisconsin, Amerika Serikat (AS), menemukan bahwa segera terjadi peningkatan jumlah bakteri dalam aliran darah monyet yang diinfeksi SIV (Simian Immunodeficiency Virus). Begitu sistem imun mulai mampu mengontrol SIV (antara lain tampak dari peningkatan fungsi sel imun usus TH17), jumlah bakteri yang bersirkulasi di aliran darah turun dramatis, disertai penurunan penanda inflamasi. Studi ini menggambarkan bagaimana sistem imun dan mikrobioma usus berkomunikasi, dan bahwa infeksi HIV bisa meningkatkan efek buruk dari bakteri yang seharusnya bersimbiosis.
Ivan Vujkovic-Cvijin, dkk (2013) menyebutkan, progresi infeksi HIV ditandai disregulasi barrier imun usus, translokasi produk mikroba yang menstimulasi sistem imun, serta inflamasi sistemik kronik, yang ditengarai memicu progresi penyakit menjadi AIDS. Terganggunya barrier usus akibat serangan virus, membuat dinding usus merenggang. Terjadi translokasi; sebagian bakteri dan produk yang dihasilkan seperti lipopolisakarida (LPS), ‘lolos’ dari usus ke aliran darah. LPS adalah endotoksin pada dinding luar bakteri Gram-negatif. Peningkatan LPS menunjukkan keterlibatan mikrobiota tertentu dalam progresi penyakit, karena endotoksin tersebut mengaktivasi sel T yang jadi sasaran HIV.
‘Bocornya’ mikroba dan zat lain dari usus ke aliran darah, juga memicu respon sistem imun untuk menyerang sehingga terjadi inflamasi sistemik. Inflamasi yang berlangsung kronik bisa memunculkan kondisi tertentu, seperti penyakit kardiovaskular dan jenis kanker tertentu. Saat epidemi HIV 1981, dilaporkan kanker Kaposi Sarcoma pada sekelompok laki-laki di New York dan California.
Pengaruh mikroflora terhadap HIV tak hanya terjadi di usus, melainkan juga di daerah genital. Hubungan seksual merupakan cara utama penyebaran infeksi HIV. Melalui penelitian, diketahui bahwa bacterial vaginosis (BV) berkaitan erat dengan meningkatnya risiko infeksi HIV. Pada BV, populasi Lactobacillus di vagina berkurang, membuat bakteri pathogen tumbuh berlebihan. Padahal, asam laktat yang dihasilkan Lactobacillus ditengarai bisa membunuh HIV. Turunnya populasi Lactobacillus mengurangi keasaman lingkungan vagina, sehingga HIV bisa bertahan, dan kemungkinan lebih besar untuk menginfeksi. Selain memperkuat pertahanan alami vagina, Lactobacillus menurunkan risiko berpindahnya HIV ke pasangan.
Pengaruh probiotik
Studi menemukan, pelepasan reseptor CD4 oleh Lactobacillus memungkinkan bakteri ini berikatan dengan HIV dan mencegah virus tersebut menginfeksi. Temuan ini membuat para peneliti optimis melakukan riset mengenai manfaat probiotik terhadap pasien HIV/AIDS; baik untuk mempertahankan fungsi imun pasien maupun memperbaiki masalah yang berkaitan dengan usus.
Salah satunya, studi preliminer oleh Katia Falasca, dkk (2013), yang meneliti efek probiotik terhadap kadar sitokin pada pasien HIV. Penelitian ini melibatkan 30 laki-laki HIV+ yang menjalani terapi ARV. Mereka diberi probiotik yang mengandung L. casei Shirota strain, 2x sehari selama 4 minggu. Hasilnya, L. casei Shirota strain berhubungan dengan peningkatan limfosit T dan sel-sel CD56+; menurut sebuah studi, CD56+ bekerja sebagai mekanisme protektif yang memperlambat progresi penyakit HIV. Turunnya peradangan dan risiko kardiovaskular juga diobservasi. Pada pasien HIV, inflamasi berlangsung persisten. Mengurangi sitokin inflamatori dan translokasi mikroba dengan strain probiotik tertentu, bisa dipertimbangkan menjadi cara untuk memperbaiki kondisi pasien HIV+.
Carter GM, dkk (2016) membuat ulasan sistematik mengenai manfaat dan keamanan probiotik, untuk pasien HIV. Pasien HIV kerap mengonsumsi suplemen makanan termasuk probiotik. Ada kekhawatiran, apakah mengonsumsi organisme hidup aman mengingat rendahnya imunitas mereka. Dari 2.068 referensi, dilakukan analisis pada 27 referensi. Ditemukan kemungkinan manfaat probiotik terhadap jumlah CD4, rekurensi/tatalaksana BV, dan tatalaksana diare. Selanjutnya, diselidiki studi-studi yang menilai sepsis pada populasi pasien. Dari 39 studi dengan 9.402 subyek, tidak ditemukan adanya bakterimia atau fungimia yang terkait suplementasi. Laporan dampak buruk bersifat ringan atau tidak ada.
Universitas Roma La Sapienza, Italia, meneliti efek pemberian probiotik selama 6 bulan terhadap translokasi mikroba pada 10 laki-laki positif HIV yang mendapat terapi ARV. Ditemukan, pemberian probiotik memulihkan populasi sel TH17 dan TH1 di usus maupun di perifer. Juga ditemukan penurunan penanda selular pada aktivasi imun. Semua ini menunjukkan manfaat potensial probiotik untuk menurunkan inflamasi sistemik. Studi ini termasuk satu dari sekian banyak studi mengenai peranan mikroba terhadap pathogenesis dan prograsi HIV, yang dipaparkan dalam CROI(The Conference on Retrovirus and Opportunistic Infections) Februari 2016 di Boston, AS.
Untuk anak-anak
ASI (air susu ibu) merupakan sumber bakteri asam laktat, yang menstimulasi pertumbuhan dan kolonisasi bakteri bermanfaat di usus. Pada kasus HIV, ASI bisa menjadi media transmisi HIV-1 dari ibu ke bayi. Dulu, WHO menyarankan agar ibu dengan HIV+ tidak menyusui bayinya. Namun penelitian di Afrika Selatan menunjukkan, kombinasi ASI eksklusif dan pengobatan dengan ART secara signifikan bisa menurunkan risiko transmisi HIV ke bayi melalui ASI. Sejak 30 November 2009, WHO mengeluarkan rekomendasi baru berdasarkan data tersebut. Direkomendasikan, ibu dengan HIV+ atau bayinya, menjalani ART selama periode menyusui atau sampai bayi berusia 12 bulan. Ini berarti, si anak mendapat manfaat ASI dengan risiko terinfeksi HIV sangat kecil.
Studi oleh Virginia Martin, dkk (2010) mengevaluasi, apakah bakteri asam laktat (38 strain) yang diisolasi dari perempuan sehat mampu menghambat infeksi HIV-1 in vitro. Hasilnya, tampak inhibisi (hambatan/penghambatan) yang signifikan terhadap HIV-1 R5-tropik, utamanya dari strain Lactobacillus dan Pediococcus. Disimpulkan, bakteri asam laktat pada ASI mampu menghambat infeksi HIV-1 in vitro. Ini menunjukkan potensi bakteri dalam proteksi mucosal terhadap HIV-1, pada anak yang mendapat ASI.
Peranan suplementasi probiotik untuk anak, ditunjukkan dalam studi Gautam N, dkk (2014). Sebanyak 127 anak usia <15 tahun yang terinfeksi HIV disertakan dalam studi. Mereka dibagi 2 kelompok; sebagian menerima mikronutrisi selama 6 bulan, sebagian lagi probiotik selama 3 bulan. Sebagai kelompok kontrol yakni anak-anak yang tidak menerima suplemen. Di akhir 6 bulan, diambil data mengenai perubahan dalam stadium klinis WHO, stadium imunologis, jumlah CD4 dan status IMT (indeks massa tubuh). Pada kelompok probiotik, rerata jumlah CD4 diambil.
Hasilnya, tampak perbaikan signifikan dalam stadium klinis WHO pada kelompok mikronutrisi, dibandingkan kelompok kontrol. Pada kelompok probiotik, terjadi peningkatan jumlah CD4 secara signifikan dibanding kelompok kontrol pada anak >5 tahun.
Ilmu mengenai efek positif probiotik untuk pasien HIV masih relatif baru. Berdasarkan studi-studi yang ada, bisa disimpulkan bahwa probiotik bisa menjadi cara yang murah dan praktis untuk mendukung fungsi imun pasien HIV.(nid)