Ethicaldigest

Banyak, IBD Underdiagnosa

Tumpang tindih keluhan, membuat banyak kasus IBD yang didiagnosa kurang tepat. Pemeriksaan penunjang perlu untuk menegakkan diagnosis dan memberikan intervensi.

Diagnosis IBD ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik, temuan patologi, radiologi, dan endoskopi.  Anamnesis dilakukan dengan menjabarkan keluhan  pasien (keluhan dijabarkan pada manifestasi klinis) secara detail, sehingga keluhan pasien dapat dibedakan dengan Irritable Bowel Syndrome (IBS). Faktor-faktor pencetus juga perlu digali pada anamnesis. Pemeriksaan fisik meliputi pemeriksaan fisik secara general dengan tanda-tanda vital, pemeriksaan fisik abdomen dan rectal toucher. 

Dr. Murdani Abdullah, Sp.PD-KGEH tidak mengingkari bahwa masih banyak dokter yang underdiagnosis penyakit ini. “Memang tidak mudah membedakan, yang mana peradangan karena infeksi atau karena IBD. Karena itu, kita memaklumi IBD yang didiagnosis sementara dokter mungkin banyak yang tidak terdiagnosis dengan baik,” kata staf Divisi Gastroenterologi Departemen Ilmu Penyakit Dalam, FK Universitas Indonesia ini.

Kasus ini umumnya terjadi di daerah-daerah. Di daerah, kita sering mendapati kejadian-kejadian infeksi, sehingga kalau ada pasien dengan keluhan-keluhan seperti IBD sering hasil pemeriksaannya tidak tepat. Tidak jarang, pasien dikatakan terkena infeksi. Sebagaimana diketahui, di daerah tropis sering terjadi kasus-kasus infeksi saluran cerna, sehingga menegakkan diagnosis IBD biasanya dilakukan setelah dugaan infeksi tidak terbukti.

“Pada umumnya, orang berfikir itu adalah infeksi saluran cerna, sehingga diberi obat anti radang, anti kuman, antibiotik,” terang dr. Murdani. “Kalau masih ada keluhan atau kelainan, baru kita nyatakan bahwa pasien yang didiagnosis tersebut mengalami IBD.”

Kalau dari keluhan memang mirip atau menyerupai penyakit lain. Orang yang mengalami mencret, juga memiliki keluhan yang sama. “Tapi pada Inflammatory Bowel Disease biasanya berlangsung kronik,” ucap dr. Murdani. Karena itu, untuk menegakkan diagnosis, selain dengan melihat keluhan-keluhan pasien, penting untuk melakukan pemeriksaan kolonoskopi dan endoskopis.

Penampakan pada pemeriksaan endoskopis bervariasi atau bermacam-macam. Misalnya, peradangan pada usus besar, luka atau sariawan pada usus besar atau usus halus. Tampakan seperti ini bisa ringan atau hebat. Usus besar dapat mengalami peradangan secara keseluruhan, disertai perdarahan. Untuk memastikan, bisa dengan cara mengambil sebagian jaringan yang mengalami peradangan (biopsi).  Kemudian, sampel tersebut dibawa ke laboratorium gastropatologi.

Pemeriksaan feses

Sebelum membuat diagnosis definitif  IBD idiopatik, lakukan kultur feses untuk mengevaluasi adanya leukosit, ova, mau pun parasit, kemudian kultur bakteri patogen dan titer Clostridium difficile. Sekitar 50-80% kasus ileitis terminal akut, disebabkan oleh infeksi Yersiniaenterocolitis, yang nanti gambarannya adalah pseudoappendicitis. Yersiniosis juga memiliki frekuensi tinggi terjadinya manifestasi sekunder, seperti eritema nodosum dan monoarticular arthritis, yang mirip IBD. 

Pemeriksaan darah lengkap

Komponen darah lengkap yang  diperiksa, berguna sebagai indikator aktivitas penyakit dan adanya defisiensi vitamin mau pun zat besi. Peningkatan jumlah sel darah putih sering terjadi pada pasien dengan penyakit inflamasi aktif, dan tidak selalu mengindikasikan terjadinya infeksi. 

Disamping itu, anemia juga sering muncul baik karena penyakit atau karena kekurangan zat besi. Anemia dapat terjadi karena kehilangan darah akut mau pun kronik, atau karena malabsorpsi (zat besi, folat, vitamin B12) atau karena penyakit kronis. 

Umumnya jumlah platelet normal, dapat sedikit meningkat jika terjadi inflamasi aktif, khususnya jika terjadi perdarahan pada saluran pencernaan. Laju endap darah  (LED)  merupakan penanda terjadinya inflamasi, di mana jika terdapat inflamasi akan terjadi peningkatan nilai LED di atas normal.

Pemeriksaan histologi

Kebanyakan perubahan mukosa yang terlihat pada pasien IBD sifatnya nonspesifik, karena dapat terlihat pada sistem organ mana pun yang mengalami proses inflamasi aktif.  Ulserative kolitis utamanya melibatkan mukosa dan submukosa, dengan pembentukan abses crypt dan ulserasi mukosa.

Mukosa secara tipikal terlihat granular dan rapuh. Pada kasus yang lebih parah, terbentuk pseudopolip. Pada ulserative kolitis yang parah, inflamasi dan nekrosis dapat meluas di bawah lamina propia untuk melibatkan submukosa dan otot-otot sirkuler dan longitudinal, walau ini sangat jarang terjadi. 

Tidak terjadi granuloma pada ulserative kolitis. Pada penyakit Crohn, yang terlihat adalah seluruh dinding intestinal, tidak hanya mukosa dan submukosa seperti yang terjadi pada ulserative kolitis. Pada biopsi biasanya terlihat adanya granuloma, yang biasanya dapat membantu untuk menegakkan diagnosis.