Ethicaldigest

Peran GnRH Agonist dalam Tatalaksana Endometriosis

Peran GnRH Agonist dalam tatalaksana endometriosis sangat penting. Endometriosis merupakan penyebab utama nyeri panggul pada wanita. Kondisi ini ditemukan pada 6-10% wanita usia produktif dari seluruh etnis maupun kelompok sosial. Data RS Dr. Moewardi menyebutkan bahwa 13,6% pasien bedah ginekologi adalah penderita endometriosis. Sedangkan data RSUD dr. Sutomo menunjukkan, 37,2% pasien infertilitas mengalami endometriosis.

Endometriosis merupakan kelainan ginekologis jinak, berupa adanya kelenjar dan stroma endometrium di tempat yang tidak seharusnya (di luar kavum uteri). Endometriosis dapat ditemukan di sembarang tempat mulai dari indung telur (ovarium), septum rektovaginal, ureter, kandung kemih, perikardium, pleura, paru hingga otak. Yang paling sering, endometriosis ditemukan pada peritoneum panggul.

Estrogen memilik peran penting sebagai faktor kausatif berkembangnya endometriosis. Umumnya, estrogen dihasilkan ovarium. Meski demikian, berbagai jaringan tepi juga dapat menghasilkan estrogen, melalui aromatisasi androgen ovarium dan adrenal. Implan endometriosis memiliki aromatase dan 17 beta-hidroksisteroid dehidrogenase tipe 1, yang berperan dalam konversi androstenedion menjadi estron, yang selanjutnya menjadi estradiol.

Namun, implan tersebut memiliki defisiensi enzim tipe 2 yang memiliki peran meng-inaktivasi estrogen. Keadaan tersebut membuat seseorang dengan endometriosis memiliki kondisi lingkungan estrogenik.

Endometrium yang normal tidak mengekspresikan aromatasi dan meningkatkan kadar 17 beta hidroksisteroid dehidrogenase tipe 2, sebagai respon terhadap progesteron yang mengurangi efek estrogen. Pada saat fase luteal dalam siklus menstruasi, di endometrium normal terjadi penekanan efek dari estroten akibat fungsi antagonis dari progesteron. Pada kondisi endometriosis, terjadi resistensi progesteron relatif. Sehingga stimulasi estrogen tetap tinggi.

Gonadotropin releasing hormone endogen yang dilepaskan secara pulsatif, mengaktifasi gonadotropin pada pituitari anterior. Akibatnya akan terjadi steroidogenis ovarium dan ovulasi. Namun, jika diberikan secara kontinyu terjadi desensitisasi pituitari dan hambatan steroidogenis ovarium. Dengan begitu akan terjadi kondisi hipoestrogenik, yang bermanfaat mengurangi nyeri pada penderita endometriosis.

GnRH agonist adalah golongan obat, yang terdiri dari leuprolide, buserelin, nafarelin, goserelin, deslorelin dan triptorelin. Agonis GnRH berikatan dengan reseptor GnRH di hipotalamus dan menstimulasi sintesis dan pelepasan LH dan FSH. Di sisi lain, agonis GnRH memiliki waktu paruh lebih panjang (3-8 jam), dibanding GnRH endogen (3,5 menit). Sehingga akan terjadi pajanan terus menerus reseptor GnRH  terhadap aktivitas GnRH.

Pajanan ini menyebabkan penurunan sintesis reseptor GnRH dan down regulation aktifitas GnRH. Lebih lanjut peran GnRH agonist akan menyebabkan penurunan kadar LH dan FSH. Ini berakibat terjadi penekanan produksi steroid di ovarium, yang menghasilkan gambaran klinis pseudomenopause.

Peran GnRH agonist terhadap jaringan endometrium ektopik juga dapat terjadi. Berdasarkan penelitian in vitro ditemukan ekspresi gen reseptor GnRH, pada jaringan endometrium ektopik. Lebih lanjut, penelitian pada mencit memperlihatkan,  pemberian GnRH agonis mampu menurunkan aktivitas aktivator plasminogen dan matriks metalloproteinase (MWP), dan meningkatkan aktivitas penghambatnya. Ini menggambarkan kemungkinan mekanisme agonis GnRH, untuk mencegah terbentuknya perlekatan.

Leuprolide acetat, salah satu obat dari golongan agonis GnRH, bekerja dengan menekan sinyal dari kelenjar pituitari dalam otak ke ovarium, yang menstimulai produksi estrogen. Dengan begitu leuprolide acetat juga menekan hormon, yang menyebabkan bekembangnya endometriosis. Menekan hormon-hormon tersebut membantu mengurangi nyeri karena endometrisosis, dan mengecilkan lesi endometriosis.

Dalam satu penelitian fase III multisenter, efikasi, toleransi dan keamanan agonis GnRH leuprorelin acetate diuji. Penelitian ini melibatkan 104 wanita yang dirawat di 7 pusat pelayanan kesesahatan di Jerman. Skor median saat dilakukan laparoskopi turun dari 12 sebelum operasi, menjadi 8 setelah operasi dan 2 setelah pengobatan dengan leuprorelin acetate. Dari seluruh pasien, 89% mengalami perbaikan endometriosis, 8% mengalami kemunduran endometriosis dan 3% tidak mengalami perubahan.

Pasien melaporkan perbaikan dismenorea 93%, dispareunia 62% dan nyeri panggul 70%. Meski demikian, masing-masing partisipan mengeluhkan setidaknya satu dari gejala berikut: hot flushes 86%, gangguan tidur 62%, berkeringat 61%, pusing 41%, mual 32% dan depresi 20%. Sebanyak 55% pasien melaporkan efek samping lain, seperti vagina kering dan nyeri abdomen bagian bawah.