Ethicaldigest

Hubungan Periodontitis, DM dan Alzheimer

Diabetes meningkatkan risiko kehilangan tulang alveolar dan perlekatan jaringan periodontal. Ada dugaan, periodontitis berhubungan dengan penyakit Alzheimer.

Survei Kesehatan Rumah Tangga 2013 mencatat, sekitar 60% masya­rakat Indonesia memiliki masa­lah gusi. Riset lain menyatakan, 88,67% masyarakat perkotaan di Indonesia punya masalah gusi. Oral diabetic yang meliputi mulut kering, gingivitis, kalkulus, resorbsi tulang alveolar dan periodontitis merupa­kan komplikasi diabetes mellitus (DM) yang serius. Periodontitis menempati por­si hingga 75% kasus oral diabetic.

Menurut drg. Sandra Olivia, MARS, Sp.Perio, staf pengajar di FKG Universitas Indonesia, pasien DM dengan kontrol glikemik yang buruk rentan terkena in­feksi. Peningkatan glukosa di cairan gusi dan darah, dan kurangnya sel darah putih polimorfonuklear, menyebabkan imuni­tas rendah. Hal ini berkontribusi pada terjadinya disbiosis flora mulut. Terjadi perubahan mikrobiota dari bakteri aerob gram positif menjadi anaerob gram negatif, yang terbukti berhubungan dengan kejadian periodontitis.

Periodontitis secara umum dapat diar­tikan sebagai inflamasi, yang melibatkan struktur jaringan pendukung gigi. Periodontitis merupakan faktor berkembang­nya DM2, namun bisa juga sebaliknya. Pa­sien DM 2 lebih sering dan lebih parah menderita periodontitis, dibanding pasien non-diabetes. Penelitian Periodontal Disease and Diabetes Mellitus (2003) oleh Mealey B, Rethman M menunjukkan bah­wa diabetes meningkatkan risiko kehi­lang­an tulang alveolar dan pelekatan jaringan periodontal, tiga kali lipat dibanding penderita non diabetes.

Periodontitis dapat menyebabkan inflamasi yang berlebihan, dengan meningkatnya tumor necrosis factor alpha (TNF-a), interleukin- 6 (IL-6) dan IL-1 memasuki sistem sirkulasi. Pada individu dengan DM2 terjadi pula peningkatan produksi TNF- a dan IL-6, yang dihasilkan secara berlebihan dalam adiposit. TNF- a merupakan protein yang berfungsi memo­bili­sasi sel darah putih, untuk melawan infeksi. Namun, hal ini justru mengaki­batkan terjadinya resistensi insulin. Se­men­tara IL-6 penting dalam menstimulasi produksi TNF- a. Peningkatan produksi sitokin menyebabkan naiknya produksi C-reative protein (CRP), yang berdampak pula pada resistensi insulin. Dalam Journal of Clinical Periodontology (2007), Engebretson S, et al., menyatakan, peningkatan TNF- a, IL-6 dan CRP bisa dikatakan sebagai penanda inflamasi jaringan periodontal pada pasien DMT2.  

Drg. Sandra menambahkan, terjadi perubahan pembuluh darah pada penderi­ta DM, menjadi lebih tebal. Hal ini meng­ganggu pasokan nutrisi dan oksigen ke organ, termasuk ke jaringan mulut/gusi, dan pembuangan sisa metabolisme. Ter­jadi perlemahan sistem pertahanan di gusi, selain itu ada perubahan struktur gusi yang menjadi lebih halus /mengkilat, dari yang seharusnya memiliki tekstur kulit jeruk (stippling appearance). 

Salah satu bentuknya, pada penderita DM kejadian kehilangan perlekatan antara gusi dan gigi lebih tinggi dibanding non-diabetes. Akibatnya bakteri lebih mudah masuk. Normalnya celah (gap) antara gusi dan gigi sedalam 2 mm; pada pasien diabetes bisa >2 mm. Celah ini sejatinya berfungsi sebagai ‘selokan’ tempat air ludah membersihkan sisa makanan. 

Berkurangnya produksi air ludah juga menyebabkan meningkatnya jumlah bakteri anaerob di mulut. Kuman yang mendominasi antara lain Candida albi­cans, Streptococcus hemolitik dan Staphylococcus. Peningkatan risiko gigi berlubang juga ditemukan pada pasien diabetes dengan kadar gula darah yang tidak terkontrol.

“Banyak kasus, pasien datang ke klinik dan tidak tahu kalau memiliki diabetes. Baru ketahuan dari manifestasi di mulut dan gusi, seperti mulut terasa kering, ada rasa terbakar di mulut dan lidah, dan aliran ludah berkurang,” papar drg. Sandra. “Ada pembengkakan gusi, bahkan abses di gusi luar atau dalam akibat kerusakan tulang.”

Pasien diabetes berusia 30 tahun ke atas, lebih berisiko mengalami kerusakan jaringan pendukung gigi, walau tidak menutup kemungkinan terjadi pada golo­ng­an usia yang lebih muda. Kata drg. San­dra, penelitian membuktikan adanya reverse effect. Ketika gusi dirawat, maka kadar gula darah penderita akan turun. Pada periodontitis sistem imun menge­luar­kan TNF- a, yang berkontribusi pada re­sistensi insulin. “Sebaliknya, dalam pe­nelitian tahun 1992, bila peradangan gusi di atasi maka kadar HbA1c  ikut turun,” terangnya. “Jika gusinya lebih sehat, makan jadi lebih enak. Nutrisi yang masuk lebih baik, infeksi lebih terkontrol.”

Sebagai upaya pencegahan, penderita diabetes membutuhkan usaha dua kali lipat, dibanding orang tanpa diabetes, untuk menjaga kebersihan rongga mulut. Pemilihan sikat gigi dan cara menyikat gigi yang salah, berisiko melukai gusi. Penderi­ta harus belajar cara menyikat gigi yang benar. “Pasta gigi yang mendukung pera­watan gusi, biasanya mengandung sodium bicarbonate (NaHCO3), dibantu dengan pemakaian obat kumur. Gunakan sikat gigi dengan bulu sikat yang lembut,” ujar drg. Sandra.  Menyikat gigi dengan gerakan searah kontur gigi; gigi atas dari atas ke bawah, sementara dari bawah ke atas untuk gigi bawah.

Periodontitis dan Alzheimer

Seperti telah disebutkan, periodontitis berisiko menyebabkan infeksi sistemik (focal infection). Yang sudah banyak diketahui adalah menyebabkan ateroskle­ro­sis, masalah usus dan gangguan per­kem­bangan janin. Penelitian terbaru me­nya­takan, ada hubungan antara periodontitis dan Alzheimer.

Studi yang dilakukan di Chung Shan Medical University, Taichung City, Taiwan, menemukan bahwa mereka yang men­derita periodontitis dalam periode lama, lebih berisiko menderita Alzheimer. Para peneliti menggunakan data dari Taiwan’s National Health Insurance Research, untuk melihat hubungan antara mereka yang berusia di atas 50 tahun, de­ngan periodontitis kronis dan risiko Alzheimer.

Data responden terkumpul antara ta­hun 1996 – 2013, kemudian dibagi menjadi dua grup. Kelompok pertama berjumlah 9.291 responden, terdiagnosa menderita pe­riodontitis kronis. Kelompok kedua se­banyak 18.672 orang tanpa periodontitis.

“Penemuan kami mendukung gagasan bahwa penyakit infeksi, berhubungan dengan inflamasi derajat rendah, seperti kronik periodontitis, yang mungkin ber­pe­ran penting pada patogenesis Alzheimer,” ujar dr. Yu-Chao Chang, pe­mimpin penelitian.

Mereka menemukan bahwa yang menderita inflamasi gusi kronis hingga 10 tahun, 70% lebih berisiko mengalami Alzheimer. Risiko ini tetap ada setelah disesuaikan dengan faktor risiko lain yang mungkin mempengaruhi, seperti penyakit jantung, stroke, diabetes dan kondisi lingkungan sekitar. Namun, riset ini tidak menentukan apakah Alzheimer menyebab­kan periodontitis, atau sebaliknya.

Alzheimer merupakan penyakit degeneratif, yang ditandai dengan menu­run­nya fungsi kognitif akibat inflamasi sel saraf, dan berujung pada kematian sel saraf. Periodontitis diduga dapat menye­babkan inflamasi pada susunan saraf pusat melalui dua mekanisme; melalui mediator kimia dan lewat invasi bakteri periodontitis.

Bakteri periodontal berserta endo­tok­sin yang dihasilkan akan mengaktifkan respon imunitas bawaan, sehingga mele­pas­kan sitokin (antara lain TNF-a dan IL-8) oleh sel-sel mikroglia otak. Pelepasan me­­diator kimia tersebut mengganggu per­meabilitas sawar darah otak (blood brain barrier) dan mengganggu regulasi plak pro­­tein amyloid beta. Bisa menembus sa­war darah otak, kemudian menginvasi cerebrum. Kebera­daan mediator proinfla­ma­si di bagian cerebrum mengaktifasi sel mikroglia, yang dapat mematikan sel-sel saraf pusat.

Periodontitis juga ditandai dengan akumulasi bakteri anaerob gram negatif dalam jumlah besar di plak gigi. Bakteri tersebut bisa langsung masuk bersama dalam aliran darah ke sistem saraf pusat. Berdasarkan penelitian yang dilakukan Singhrao (2015), sejumlah bakteri patogen yang berasal dari genus Treponema, seperti Treponema denticola (banyak ter­dapat pada penderita periodontitis), terda­pat pada 14 dari 16 kasus Alzheimer. Ke­dua hal tersebut ditengarai menginisiasi terjadinya penyakit Alzheimer.(jie)