Ethicaldigest

Terapi Sariawan

Berdasar observasi epidemiologis, sariawan mayor lebih sering dialami pasien usia muda. Sariawan hepertiform menyerang usia dewasa. Bagaimana terapinya?

Secara umum, derajat keparahan dan frekuensi kejadian stomatitis aftosa sangat individual. Biasanya berkurang seiring pertambahan usia. Hal ini bisa akibat perubahan keter­gan­tungan komponen innate dan adaptive sistem imun, yang berkaitan dengan usia. Menurut Maheaswari et al., pada orang lanjut usia, kemotaktik nutrofil dan kapasitas fagositik berkurang. Terjadi pula penurunan proporsi sel T naïve. 

Pada pasien dengan predisposisi ge­ne­tik, efek tertentu menjadi faktor pemicu yang mengawali keluarnya sitokin pro-infla­masi, yang mengarah langsung di dae­rah mukosa mulut. Dalam pengamatan mi­kros­kopik dari daerah aphtha, terungkap infiltrasi leukosit yang masif.

Walau sebab utama belum diketahui, perubahan sistem imun ditengarai memicu sariawan. Dimulai dari stimulasi antigenik yang tidak diketahui dari keratinosit dan menghasilkan aktivasi limfosit T, sekresi sitokin (temasuk TNF-alfa) dan kemotaksis leukosit. Riset oleh Eguila-del Valle, dkk., menyakini TNF-alfa berperan penting dalam perkembangan lesi RAS baru. Ditemukan peningkatan 2-5 kali lipat dalam saliva pasien.

Terlihat ada perubahan unsur dalam saliva pasien, seperti enzim superoksida dismutase (SOD), yang berpartisipasi dalam respon inflamasi SAR (stomatitis aftosa rekuren). Terjadi pula peningkatan ekspresi molekul adhesi vaskular dan keratinosit. Hal ini menimbulkan akumu­lasi limfosit dan masuknya limfosit ke epithelium, bersamaan dengan induksi pem­bentukan ulkus. 

Archivum Immunologiae Et Thera­piae Experimentalis (2014) menjelaskan, banyak respon imunologis yang menye­bab­kan sariawan. Seperti reaktifasi dan hi­per-reaktifitas neutrofil, peningkatan jum­lah sel NK dan limfosit B, penurunan jum­lah limfosit CD4+ (gangguan rasio Cd4+ / CD8+), penurunan ekspresi HSP atau pembatasan ekspresi anti-inflamasi sitokin tipe Th2 dan TGF-beta.

Fase awal sariawan ditunjukkan ada­nya akumulasi monosit dan limfosit (ter­uta­ma tipe T), bersama dengan sel mast tung­gal dan sel plasmatik di bawah lapis­an sel basal. Pada tahap yang lebih lanjut, leukosit polinuklear mendominasi di pusat ulkus. Sementara pada dinding lesi, terjadi inflitrasi sel mononuklear yang melimpah.

“Perubahan di sel basal menjadi petan­da jika ada sesuatu yang lebih serius. Se­makin dalam luka sariawan, makin sakit ka­­rena sel-sel saraf semakin terekspos. Se­mua sel-sel radang yang datang di bawah lapisan kulit ini mengeluarkan mediator ki­miawi, yang memicu terjadinya infla­masi,” terang drg. Rahmi Amtha, MDS, SpPM, PhD, dari Departemen Ilmu Penya­kit Mulut FKG Universitas Trisakti, Jakarta.

Peradangan ditunjukkan adanya produk radang seperti panas (color), nyeri (dolor), kemerahan (rubor) dan pembeng­kakan (tumor). Juga terjadi penurunan fungsi jaringan (functio laesa).

“Supaya sel radang tidak bertambah banyak, ditutup dengan covering agent. Maksudnya agar makanan tidak langsung mengiritasi jaringan kulit. Berkurangnya iritasi menyebabkan sel radang menurun, sehingga produk radang menurun. Sete­lah tidak ada yang mengiritasi, mulailah proses regenerasi sel epitel,” paparnya.

Yang perlu dicatat, akumulasi mikro-or­ganisme bisa terjadi di dasar ulkus; meng­i­ritasi ke bawah jaringan kulit, memper­par­ah peradangan dan menghambat penyembuhan. Dalam hal ini covering agent kurang efektif, pilihannya bisa diberi antiseptik.

Pengobatan

Karena penyebab pasti sariawan belum diketahui, perawatan bersifat multifokal dan bervariasi sesuai faktor predisposisi. Namun, “Prinsip utama pengobatan sariawan adalah memberi kesempatan dasar ulkus untuk sembuh. Supaya tidak semakin teriritasi, perlu covering agent yang mengandung anti-inflamasi ringan hingga kuat, misalnya asam hyaluronat hingga kortikosteroid,” tutur drg. Amtha.  

Tujuan pemberian anti-inflamasi, se­lain menghilangkan gejala juga agar pasien dapat makan, bicara dan menjaga oral hygiene. Kortikosteroid topikal terbukti mengurangi, bahkan menekan rasa sakit dan mempercepat waktu penyembuhan.

Triamcinolone acetonide

Triamcinolone topikal merupakan salah satu kortikosteroid untuk sariawan, yang banyak beredar di pasaran. Dalam penelitian di Iran yang termuat di Advanced Pharmaceutical Bulletin (2015), triamcinolone acetonide dalam formula pasta oral menunjukkan karakteristik yang mirip dengan formula lain, yang direko­men­dasikan (Adcortyl). Riset oleh Ha­mishehkar H, dari Tabriz University of Me­dical Science, Iran, mendapati bahwa triamcinolone efektif sebagai obat sariawan.

Dan riset Edward V, dkk., pada tikus yang mendapatkan adrenalectomy, bah­wa triamcinolone acetonide memiliki akti­vitas anti-inflamasi yang lebih kuat 20-34 kali dibanding hydrocortisone acetate, 10 kali efek anti-inflamasi prednisolone, dan 10 kali aktivitas triamcinolone alcohol.

Studi yang dimuat Journal of Periodontology Online juga memperbandingkan triamcinolone acetonide dengan cortisone acetate, hydrocortisone acetate dan triamcinolone alcohol, dalam hal aktivitas gluko-kortikoid di glikogen hati tikus. Dalam tes ini terlihat superioritas kemam­pu­an triamcinolone acetonide dibanding cortisone, hydrocortisone acetate dan triam­ci­nolone alcohol; 20 kali, 90 kali dan 9 kali. Triamcinolone acetonide tidak menahan sodium, sebaliknya mempro­duk­si ekskresi sodium.

Pada kasus rheumatoid arthritis, triam­cinolone acetonide juga menunjukkan efek­tifitasnya. Triamcinolone acetonide yang diberikan secara oral kepada pasien OA dengan dosis 1-10 mg, dalam periode 1 minggu hingga 2 bulan mampu ‘membe­bas­kan’ partisipan dari gejala penyakit.

Triamcinolone acetonide dipakai de­ngan konsentrasi antara 0,05-0,5%, diaplikasikan 3-10 kali sehari. Dalam jurnal Acta Otorrinolaringological Espanola disarankan untuk mengaplikasikan  triamcinolone acetonide langsung pada lesi, dan usahakan tidak makan /minum 20 menit setelah aplikasi.

Asam hyaluronat

Terapi topikal lain adalah pemakaian asam hyaluronat (HA) 0,2% dalam bentuk gel. Drg. Amtha menjelaskan, HA akan membentuk selaput pelindung yang melekat pada mukosa rongga mulut, dan menghasilkan barier mekanik terhadap daerah luka.

Lee JH, dari Yonsei University College of Medicine, Korea Selatan mengaplikasi­kan HA 0,2% pada 16 pasien recurrent aphthous ulcers (RAU), dan 17 penderita Behçet’s disease (BD). HA diberikan 2 x sehari, selama 2 minggu. Sebagai ukuran penilaian digunakan jumlah ulser, periode penyembuhan dan skala analog visual (VAS) rasa sakit.

Hasilnya, terjadi penurunan jumlah ulser dan lamanya penyembuhan pada 72,7% pasien; 75,8% mengalami perbaikan VAS rasa sakit. Pemeriksaan obyektif kondisi ulser menunjukkan pengurangan pada 57,6% pasien, dan 78,8% terjadi pe­nu­run­an luas ulser. Tanda-tanda inflamasi, se­perti pembengkakan dan panas lokal, secara signifikan membaik setelah pera­wat­an. Tidak ada perbedaan signifikan antara kelompok BD atau RAU dalam parameter subyektif dan obyektif. Tidak ada efek samping yang tampak.

Antibiotik kumur 

Antibiotik, seperti tetrasiklin dan sejenisnya (doksisiklin dan minosiklin), dalam bentuk gel atau cair, terbukti mengurangi rasa sakit dan kemunculan sariawan. “Pada mereka yang mengalami sariawan berulang, diberikan antibiotik kumur,” ujar drg. Amtha. “Antibiotik juga mencegah infeksi sekuder, mempercepat penyembuhan dan menurunkan rekurensi. Paling baik untuk kasus stomatitis aftosa multiple rekuren.”

Obat ini bekerja melalui aksi inhibisi lokal kolagenase dan metalloproteinase, yang membentuk bagian dari respon inflamasi dan berkontribusi pada kerusak­an jaringan dan pembentukan ulkus, teru­tama menggunakan efek modulasi imun.

Pemberian doksisiklin dosis tetap da­lam format gel mukoadhesif, terbukti efek­tif mengobati stomatitis aftosa rekuren. Dalam The British Journal of Oral & Maxillofacial Surgery (2008) direkomen­da­sikan aplikasi dosis 100 mg dalam 10 ml air, dilakukan kumur selama 2-3 menit (tan­pa menelan), 4 x sehari selama 3 hari. Peng­gu­naan tetrasiklin topikal dan asam reti­no­at juga memberikan efek anti-inflamasi.

Penelitian lain oleh Zhou Y, Chen Q, et al., menyatakan, pemberian antibiotik sistemik (50 mg tablet potassium penicillin G) 4x sehari selama 4 hari, bisa mengu­rangi volume ulser dan menekan rasa sakit.  Berbagai metode pengobatan ini bisa dibantu dengan multivitamin. “Multivitamin membantu regenerasi epitel. Meka­nis­me penyembuhan sariawan dengan multivitamin memiliki jalur penyembuhan berbeda. Yakni dari bawah lapisan kulit, dengan memanfaatkan kolagen. Semakin bagus kualitas kolagen akan menutrisi sel epitel dengan lebih baik; perlahan-lahan pasien sembuh,” tutur drg. Amtha. (jie)