Ethicaldigest

Mesin Halusinasi Gambarkan Proses Visual Otak

Dengan teknologi artificial intelligence (AI) milik Google dan virtual reality headset, peneliti membuat mesin halusinasi (hallucination machine). Tercipta efek mirip halusinasi, tanpa obat. Alat ini diciptakan untuk membantu peneliti memahami, bagaimana otak memroses informasi yang kita rasakan, dan bagaimana membedakannya antara realitas dan halusinasi. Atau, benarkah ini suatu halusinasi. Riset ini dilakukan peneliti dari Sussex University’s Sackler Center for Consciousness Science, Inggris.

Studi ini masih berlangsung. Beberapa hasilnya telah dipublikasikan dalam paper, yang membandingkan efek mesin halusinasi ini dengan obat psychedelic. “Sebetulnya, kita selalu mengalami halusinasi,” papar Anil Seth, co-director the Sackler Center. “Ini hanya masalah, kapan kita setuju menganggapnya sebagai halusinasi dan mana yang realitas.”

Halusinasi berguna untuk mempelajari mekanisme kerja otak. Halusinasi akan menunjukkan mekanisme yang menyebabkan otak keluar dari kenyataan. Dalam kasus ini, memberikan obat LSD (lysergic acid diethylamide), walau atas nama pengetahuan, tidak banyak membantu karena akan mengubah komposisi kimiawi otak.

Dilansir dari sciencealert.com., memasuki sistem algoritma ‘mimpi dalam’ (deep dream) milik Google, di sana digunakan pendekatan hubungan antarneural untuk mengidentifikasi pola dan bentuk dalam sebuah gambar. Sistem tersebut menekankan pada pengenalan pola, sehingga alat ini mulai membentuk benda yang tidak nyata ada.

Peneliti memodifikasi sistem deep dream agar bisa memroses gambar video panoramik. Kemudian digunakan pada 12 relawan. Ditemukan bahwa halusinasi visual ini mirip seperti orang yang mengalami ‘high’ memakan jamur psilocybin (magic mushrooms; jamur yang menimbulkan efek halusinasi).

Responden mendapat pertanyaan seperti: apakah mereka merasakan sensasi kehilangan kontrol diri, dan apakah melihat pola-pola warna tertentu. Jawaban mereka mirip hasil dari riset oleh Suresh D. Muthukumaraswamy dalam Journal of Neuroscience (2013), tentang pengalaman mengonsumsi psilocybin.

Pada percobaan kedua, 22 partisipan ditanya: apakah merasakan sensasi distorsi temporal, atau semacam terkurung dalam periode waktu tertentu. Responnya mirip dengan kelompok kontrol  yang tidak mengalami halusinasi.  

Hasil percobaan ini memberi gambaran bahwa mesin halusinasi, dapat mereplikasi sebagian efek obat psychedelic. Para peneliti berpendapat, dalam jangka panjang mesin ini bisa diatur sehingga mendekati (menyerupai) pemrosesan visual di otak. Studi yang dilakukan oleh Keisuke Suzuki, Warrick Roseboom, dkk., ini dipublikasikan di jurnal Scientific Reports, November 2017.(jie)