Ethicaldigest

DM 1 Anak, Fenomena Puncak Gunung Es

Dalam periode 10 tahun terakhir, kejadian diabetes anak meningkat hingga 700%. Faktor frisiko mulai dari virus sampai defisiensi vitamin D.

Fulki Baharuddin Prihandoko yang akrab dipanggil Uki (12 tahun) tak ada beda dengan anak lain yang sebaya.  Pada­hal, “Saya penyandang diabetes me­litus tipe 1 (DM1).”  Saat didiagnosis diabetes ia tidak merasakan suatu ke­laian apapun. Hanya saja, “Kalau tidur sering ngompol,” ujarnya  dalam seminar Anak Juga Bisa Diabetes di Jakarta.

Uki terdiagnosa DM1 pada usia 9 tahun (kelas 4 SD). Menurut orang­tua­nya, tanda-tanda seperti ngompol, ba­nyak minum (terutama ketika mau ti­dur), haus, gatal-gatal dan luka yang sulit sembuh  muncul sejak ia kelas 2 SD.

“Karena sering ngompol, dokter memberi obat anti-ngompol. Obat habis, ngompol lagi. Saya perhatikan di kamar mandi banyak semut dan lantainya lengket,” papar Aisyah Rahman, sang ibu. Merasa ada yang janggal, orangtua membawa Uki periksa gula darah. Kadar glukosa Uki waktu itu 750 mg/dl, dengan nilai HbA1c 17,6%, jauh di atas normal. “Saya sempat menyalahkan diri sendiri. Mungkin Uki kena diabetes karena pola makan sehari-hari,” kenang Aisyah. Itu karena dia maupun suaminya, Konang Prihandoko, tidak menderita diabetes.

Sejak terdiagnosa DM1, Uki harus periksa gula darah dan suntik insulin tiap hari. Dietnya diatur ketat. Uki juga wajib membawa ‘bekal’ khusus setiap hari. Yakni alat cek gula darah mandiri, jarum pen insulin, termometer, diari gula darah, gula dan permen.

Diabetes, memang, bisa terjadi pada anak-anak bahkan bayi. “Sekitar 80% diabetes anak adalah tipe 1,” terang Dr. dr. Aman Bhakti Pulungan, SpA(K), FAAP, Ketua Umum Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI).  “Yang mengejutkan, dalam periode 10 tahun terakhir kejadian diabetes anak me­ning­kat hingga 700% atau 7 kali lipat”.

International Diabetes Federation (IDF) tahun 2015 menyatakan, sekitar 1.106.500 anak usia 0-19 tahun di seluruh dunia menderita DM1. Kondisi di Indonesia, menurut Riskesdas (Riset Kesehatan Dasar) 2013 diperki­rakan kejadian DM1 sekitar 0,3 per 100.000 anak/tahun, atau 240 kasus baru/tahun. Terjadi peningkatan dras­tis kasus DM1 anak dari, 156 (tahun 2009) menjadi  1038 (tahun 2015).

IDAI mencatat, DM1 paling ba­nyak didapati pada kelompok umur 10-14 tahun (403 orang). Di sisi lain, insiden diabetes melitus tipe 2 (DM2) pada anak/remaja juga menunjukkan tren yang meningkat. Riskesdas 2013 mencatat, prevalensi anak usia 5-12 tahun yang mengalami kelebihan berat badan sebesar 18,8%; 10,8% obesitas yang adalah faktor risiko DM2.

“Lebih dari 25% remaja dengan obesitas menunjukkan gejala diabetes pada usia 15 tahun,” papar dr. Aman. WHO mencatat, tahun 2013 sekitar 42 juta bayi dan anak mengalami berat badan lebih atau obesitas. Laju peningkatan tren tersebut lebih tinggi 30% di negara berpenghasilan rendah dan menengah, dibanding negara maju. Bila kondisi ini berlanjut, diperkirakan sekitar 70 juta balita akan mengalami berat badan lebih/obesitas pada 2025.

“Survei tahun 2013 yang kami la­ku­kan pada anak SD di Menteng, Ja­kar­ta Pusat, 38% mengalami resisten­si insulin atau prediabetik, dan 34% hi­pertensi,” imbuh dr. Aman. “Anak-anak yang mengalami obesitas perlu di­lakukan pemeriksaan tiap tahun, su­paya jangan sampai menjadi diabetes.”

DM1 di Indonesia

Peningkatan kasus DM1 anak sebesar 700% (dalam periode 10 tahun) dikumpulkan berdasarkan data pasien yang dilaporkan oleh dokter anak endokrin/dokter anak, yang terlatih untuk mendiagnosa DM1. “Dari fakta tersebut berarti masih ba­nyak kasus yang tidak dilaporkan atau salah diagnosis. Data saat ini mungkin merupakan fenomena pun­cak gunung es,” terang dr. Aman.

Usia terdiagnosis paling banyak 10-14 tahun (403 kasus), usia 5-9 tahun (275 kasus), usia balita  146 kasus, dan paling sedikit usia >15 tahun (25 kasus). Berdasar data IDAI tahun 2006-2017, sebagian besar pasien mengalami ketoasidosis diabe­tik (KAD) saat terdiagnosis. “Sekitar 72% pasien masuk IGD dengan koma ketoasidosis, yang awalnya dikira usus buntu, asma atau abses,” tambah dr. Aman. Penelitian yang dilakukan dr. Aman dan tim di RSCM menye­but­kan, dari Juni 2006 – Maret 2011 dari 40 pasien dengan KAD, 1 orang (2,5%) meninggal. Jumlah ini sudah mengalami perbaikan dibanding tahun 2002-2006; dari 62 pasien KAD, 12 orang (19,3%) meninggal.

Etiologi

DM1 merupakan penyakit metabo­lik kronik tersering, pada anak-anak. Pe­nyakit ini dulu disebut sebagai childhood-onset diabetes atau juvenile dia­betes. Sementara pada DM2, dia­wa­li dari resistensi insulin yang pre­do­minan dengan defisiensi insulin re­latif, menuju ke defek sekresi insulin yang perdominan dengan resistensi insulin.

Menurut Tjokroprawiro (2007), pada penderita DM2 sekresi insulin mungkin cukup atau kurang, tetapi tidak efektif untuk mengolah glukosa yang diabsorbsi ke dalam darah. Jumlah reseptor insulin di jaringan perifer kurang, antara 20 ribu – 30 ribu. Bahkan pada obesitas hanya 20 ribu; normalnya ± 35.000.

Kadang walau jumlah reseptor cukup, kualitas reseptor jelek sehingga kerja insulin tidak efektif; insulin binding atau sensitifitasnya terganggu. Atau, terdapat kelainan di pascare­sep­tor sehingga proses glikolisis intra­seluler terganggu.

Infeksi virus

DM1 merupakan penyakit autoi­mun, dengan etiologi yang belum ke­tahui sampai saat ini. Gangguan au­toi­mun genetik ini disebabkan oleh sel-sel CD4 dan CD8 yang reaktif me­ngenali antigen pankreas, seperti insulin atau GAD, kemudian meng­han­curkan sel-sel b yang memroduksi insulin.

Infiltrasi islet di langerhans, di mana sel-sel b berada, oleh sel T dianggap sebagai dorongan utama progresi penyakit diabetes tipe 1 ini. Infiltrasi terutama terdiri dari sel T CD8 dan sel B, diikuti makrofag dan sel dendritik dari subtipe yang berbeda.

Teori lain menyatakan bahwa DM1 turut dipicu atau dipengaruhi perkembangannya oleh infeksi virus. Beberapa jenis virus ditengarai berhubungan dengan DM1, seperti  Coxsackievirus B (CVB), rotavirus, virus campak dan cytomegalovirus. Forrest JM, et al., Lancet, 1971, menyatakan virus rubella dicurigai juga menyebabkan diabetes tipe 1. Namun sejauh ini hanya sindrom rubella congenital, yang diyakini berhu­bungan dengan DM1.

Menurut Clements GB, dkk., dalam jurnal Lancet (1995), CVB adalah strain enteroviral yang paling umum ditemukan, pada individu prediabetes dan diabetes. CVB RNA terdeteksi dalam darah pasien, saat onset atau selama diabetes tipe 1. Respon imun seluler terhadap antigen CVB, juga ditemukan meningkat pada pasien DM1 setelah onset penyakit.

Defisiensi vitamin D

Konsentrasi serum 25-hydroxy­vitamin D (25-OHD) sangat diten­tu­kan oleh faktor lingkungan, terutama melalui asupan vitamin D dan paparan sinar UV. Matahari adalah sumber uta­ma vitamin D, yang disintesis seca­ra endogen di kulit untuk memroduksi cholecalciferol (vitamin D3). Sebagian (<20%) vitamin D datang dari diet; dalam bentuk erfocalciferol (vitamin D2) dan vitamin D3. Penanda utama status vitamin D adalah metabolit 25-OHD, yang disintesis di hati.

Hubungan antara defisiensi vitamin D dan DM1 telah diteliti. Pada berbagai studi (Greer RM, et al 2007; Svoren BM, et al 2009; dan Bener A, et al 2009) mendapati prevalensi defisiensi vitamin D pada pasien DM1 antara 15-90,6%. Ada bukti bahwa vita­min D penting dalam pencegahan ke­matian sel islet, dan mungkin ber­guna dalam meningkatkan kelang­su­ngan hidup sel islet. Hal ini mening­kat­kan produksi insulin. Tingkat vitamin D yang rendah, terbukti memiliki efek negatif pada fungsi sel b.  

Terapi suplementasi vitamin D, terbukti mampu meningkatkan kontrol glikemik dan sensitifitas insulin pada pasien DM1 dan DM2. Riset oleh Schwalfenberg G, dalam jurnal Canadian Family Physician (2008) mem­buk­­tikan, menambah dosis vitamin D dari 25 nmol/L menjadi 75 nmol/L me­ningkatkan sensitifitas insulin hingga 60%. Efek ini terutama dikaitkan de­ngan aksi imunomodulator vitamin D.

Yang terbaru adalah studi oleh Jennifer Raab, dkk., yang dimuat dalam jurnal Diabetologia 2014. Tim peneliti dari Institute of Diabetes Research (IDF) dan the Helmholtz Zentrum München, Jerman, ini menemukan rendahnya tingkat vitamin D pada pasien DM1. Pada anak-anak dengan banyak autoantibodi islet, tetapi tidak menderita DM1, memiliki vitamin D yang rendah dalam darah mereka. Tetapi peneliti mendapati bahwa kondisi tersebut tidak mempengaruhi perjalanan penyakit dari prediabetes menjadi diabetes. Kekurangan vitamin D mendahului onset diabetes tipe 1.

“Apa saja yang bisa menyebabkan autoimun, seperti infeksi Coxsackie­virus B (CVB), virus polio, atau de­fisiensi vitamin D, akan meningkatkan risiko menjadi DM1,” terang dr. Aman.  Tujuan tatalaksana diabetes pada anak adalah memastikan tumbuh kembang dan maturasi normal, me­nen­tukan target realistis (HBA1c men­dekati normal) untuk anak dan keluarga. Dan pencegahan komplikasi akut dan kronis, seperti KAD, hipo­glikemia berat dan kompli­kasi mikro/makrovaskular. (jie)

Baca juga: “Diabetes Anak Meningkat 500%”