WHO sejak tahun 1995 mencatat, penyakit kardiovaskular merupakan sebab kematian terbesar pada populasi usia 65 tahun ke atas di seluruh dunia, terutama di negara berkembang.
Penyebab utama kesakitan dan kematian pada lansia adalah penyakit jantung koroner, penyakit jantung hipertensif, penyakit jantung pulmonik, kardiomiopati, dll. Tujuan utama pengobatan ialah menghidari disabilitas dan mortalitas prematur, serta mempertahankan fungsi dan perbaikan kualitas hidup.
Survei Sample Regristration System (SRS) 2014 di Indonesia menunjukkan, penyakit jantung koroner (PJK) menjadi penyebab kematian tertinggi pada semua kelompok umur, yakni 12,9%. Menurut Riskesdas (Riset Kesehatan Dasar) 2013, PJK paling banyak terjadi pada kelompok umur 65-74 tahun (3,6%), diikuti kelompok umur >75 tahun (3,2%), kelompok umur 55-64 tahun (2,1%) dan usia 35-44 tahun (1,3%). Riskesdas 2018 menyatakan, sekitar 1,5% penduduk Indonesia menderita PJK.
Menurut dr. Johan Winata, SpJP (K), FIHA, dari RS Pondok Indah-Puri Indah, Jakarta, lebih 10 tahun lalu tren penyakit jantung adalah aritmia. “Sekarang karena penyakit koroner. Aterosklerosis dan proses perlemakan (pembuluh darah) pada pria progresinya cepat sejak usia 40 tahun. Pada wanita cenderung lebih lambat karena pengaruh hormonal. Baru setelah masa menopause prosesnya lebih cepat,” terangnya.
Faktor risiko penyakit kardiovaskular, terutama jantung koroner, sama pada populasi usia muda dan pertengahan. Hipertensi sistolik/diastolik, maupun keduanya, adalah faktor risiko penting. Sebanyak 25 penelitian melaporkan, penurunan HDL kolesterol merupakan faktor risiko penting pada lansia, dan terutama prediktif untuk wanita. Trigliserida dianggap sebagai faktor independen.
Perubahan anatomi jantung
Dinding aorta manusia menurun dengan bertambahnya usia, disertai bertambahnya kaliber aorta. Kondisi ini menjadi sebab isolated aortic incompetence, dan terdengarnya bising pada apex cordis. Perubahan aorta tidak menyebabkan jantung mengalami atrofi – seperti pada organ lain – tetapi justru menjadi hipertrofi. Lakatta dkk., menyatakan, pada usia 30-90 tahun massa jantung bertambah sekitar 1gram/tahun pada laki-laki, dan 1,5 gram/tahun pada wanita.
Pada katup jantung terjadi perubahan, seiring pertambahan usia; daun dan cincin katup aorta mengalami penurunan jumlah inti sel dari jaringan fibrosa stroma katup, penumpukan lipid, degenerasi kolagen dan kalsifikasi jaringan jaringan fibrosa katup tersebut. Kekakuan daun katup menyebabkan terdengarnya bising sistolik ejeksi pada lansia (lanjut usia).
Faktor usia juga menyebabkan penebalan katup mitral dan aorta. Perubahan ini disebabkan degenerasi jaringan kolagen, pengecilan ukuran dan penimbunan lemak. Kalsifikasi kerap terjadi pada annulus katup mitral, yang sering ditemukan pada wanita.
Riset Caird (1985) dan Brocklehorst (1987) menyatakan, ada perubahan miokardium karena proses menua berupa brown atrophy, penurunan berat jantung, disertai akumulasi lipofusin pada serat-serat miokardium. Timbul lesi fibrotik di antara serat miokardium. Lesi sepanjang >2 cm mempunyai sifat sebagai infark, dan berkorelasi positif dengan beratnya kelainan arteri koroner. Sedangkan lesi <2 cm merupakan bekas miokarditis lokal.
Perubahan lain yakni miokardium senile, berupa kelainan frekuensi seiring bertambahnya usia; bisa mencapai 12% pada lansia >80 tahun.
Gejala dan tanda penyakit jantung pada lansia
Nyeri daerah prekordial dan sesak napas kerap dirasakan, biasanya dalam derajat ringan. Nyeri angina pectoris yang khas jarang ditemui. Menurut Caird, dkk., ini mungkin disebabkan karena area-area yang iskemik adalah pembuluh koroner kecil, juga akibat hilangnya ujung-ujung saraf sensoris pada lansia.
Fatigue yang hebat lebih kerap terjadi, dibanding sesak napas. Gejala lain seperti kebingungan, muntah dan/atau nyeri perut, atau keluhan insomnia, bisa menjadi keluhan penyakit jantung yang harus diperhitungkan. Bising sistolik sering ditemukan pada pasien lansia. Penelitian Kotler dkk., menyatakan, bising sistolik asimtomatik terjadi pada 28% penderita berusia >65 tahun. Sebab terbanyak ialah kalsifikasi dan/atau sklerosis daun serta cincin katup. Sebaliknya, bising diastolik umumnya dianggap mempunyai sebab organik.
Ekstra sistole, atrial maupun ventrikel (occasional ES), terekam pada 40% lansia sehat. Ekstra sistole yang kerap atau multifokal, seringkali disebabkan kebiasaan minum teh atau kopi yang berlebihan.
Kalsifikasi jantung bisa dijumpai pada arteria koroner, cincin katup mitral, katup aorta, miokardium (sesudah infark) dan perikardium. Prominensi dari lengkung aorta sering dijumpai, kerap disertai kalsifikasi kuadran kiri bawah yang terjadi karena ateroma yang berkapur.
EKG merupakan alat terpercaya untuk diagnosis aritmia. Cardiothoracic ratio (CTR) bertambah dengan bertambahnya usia, sehingga nilai di atas 50% tidak selalu berarti ada pembesaran jantung, bila ditemukan pada lansia.
Pemeriksaan lain seperti fonokardiografi, ekokardiografi atau faal paru bisa dipakai untuk melengkapi diagnosis. Ekokardografi biasanya dipakai untuk memeriksa katup jantung, tetapi pada lansia juga penting untuk melihat fungsi ventrikel.
Gagal jantung kongestif
Sindroma gagal jantung kongestif (congestive heart failure/CHF) pada lansia memiliki prevalensi tinggi, dengan prognosis yang buruk. Prognosis CHF tergantung derajat disfungsi miokardium. New York Heart Association (NYHA) kelas I-III mendapati, mortalitas 1 dan 5 tahun masing-masing 25% dan 52%, sementara NYHA kelasw IV menyatakan mortalitas 1 tahun setinggi 40-50%.
Organsisasi Kesehatan Dunia (WHO; 1995) mencatat, sekitar 1% penduduk Amerika Serikat usia >60 tahun mengalami CHF. Berdasarkan data observasi, perawatan karena CHF makin naik dalam beberapa dekade ini, prevalensinya meningkat seiring tingginya kasus penyakit jantung koroner. Yang paling sering berakhir dengan CHF terutama PJK, penyakit jantung hipertensi atau hipertensi.
Sindroma CHF terdiri atas disfungsi ventrikel (disfungsi sistolik, diastolik atau keduanya), aritmia kordis, intoleransi latihan dan kongesti (sistemik/paru). Untuk lansia terdapat insidensi tinggi disfungsi diastolik, terutama pada hipertensi. Pada disfungsi sistolik terjadi gangguan pada ventrikel kiri, yang menyebabkan terjadinya penurunan cardiac output. Sedangkan disfungsi diastolik merupakan akibat gangguan miokard, dengan kekakuan dinding ventrikel dan berkurangnya compliance ventrikel kiri. Menyebabkan gangguan pada pengisian ventrikel kiri dan kardiomiopati hipertrofik.
Menurut Prof. R. Boedhi-Darmodjo, SpJP, SpPD, K-Ger, Guru Besar Ilmu Penyakit Dalam FK Universitas Diponegoro/RSUP Dr. Kariadi, Semarang, dalam Buku Ajar Geriatri, manifestasi klinik CHF yang paling menonjol antara lain dyspneu D’effort, dyspneu, ortopneu dan paroxysmal nocturnal dyspneu (asma kardiale). Demikian juga retensi natrium dan cairan berupa edema, berat badan naik, nokturia dan keluhan gastrointestinal.
Tatalaksana gagal jantung pada lansia, tidak berbeda dengan penderita yang lebih muda. Chapman dkk (1994) menjelaskan, pemberian digitalis pada disfungsi sistolik perlu kehati-hatian untuk menghindari intoksifikasi. Demikian pula pemberian diuretika dan ACE-inhibitor, disesuaikan dengan fungsi ginjal dan elektrolit. Pada pengobatan disfungsi diastolik, dapat diberikan calsium-antagonist, beta-blocker dan diuretika dengan dosis yang disesuaikan, supaya tidak terlalu menurunkan pre-load.
Studi V-heft I membuktikan, pemberian obat isosorbid-di-nitrat dan hidralazin (vasodilator) mampu menaikkan LVEF (left ventric ejection fraction). Sementara Promise study dengan menggunakan obat inotropik positif mikrinone 40 mg/hari, ternyata berisiko tinggi menyebabkan kematian. Di satu sisi obat inotropik positif yang saat ini banyak ditemui, terutama untuk CHF dan fibrilasi atrium ialah digitalis. Prof. Boedi menulis, perlu kehati-hatian pemberian digitalis pada lansia, karena merupa-kan obat inotropik positif dengan narrow therapeutic window dan dikeluarkan lewat ginjal, yang pada lansia umumnya sudah mengalami penurunan fungsi. (jie)