Ethicaldigest

Anemia, Akibatnya Panjang

Anemia dengan aneka penyebab berdampak besar terhadap kesehatan. Di negara berkembang >50% dari jumlah penduduk anemia karena defisiensi zat besi.

Anemia adalah kondisi yang disebabkan oleh penurunan jumlah sel-sel darah merah, hematokrit (Hct) atau hemoglobin (Hb). Jumlah sel darah merah merepre­sen­tasikan keseimbangan, antara produksi dan kerusakan/hilangnya sel darah merah.

Berdasar laporan Anemia Convention 2017, prevalensi anemia di Asia Tenggara dan Afrika mencapai 85%; wanita dan anak-anak adalah penderita terbanyak. Terdapat 202 juta wanita di Asia Tenggara dan 100 juta wanita di Pasifik Barat usia 15-49 tahun yang diperkirakan menderita anemia. Pada tataran global, 41,8% wanita hamil dan hampir 600 juta anak usia prasekolah dan sekolah menderita anemia; lebih dari setengahnya adalah anemia defisiensi besi.

“Anemia bukan sebatas masalah le­mah, letih, lesu. Tapi berhubungan dengan masalah kecerdasan, ekonomi dan masa depan bangsa,” papar Prof. Dr. dr. Soedjat­miko Sp.A(K), M.Si.

Selain menyebabkan kelelahan dan pe­nurunan performa kognitif, anemia ber­dampak pada pencapaian prestasi sekolah dan kemampuan kerja yang buruk. WHO 2001 mencatat, anemia defisiensi besi me­nyebabkan peningkatan risiko kematian aki­bat penyakit infeksi, dan kondisi ke­hamilan yang buruk (perdarahan, preek­lamsia dan BBLR).

Anemia bisa disebabkan oleh satu atau lebih dari 3 hal. Seperti kehilangan darah, defisiensi eritropoiesis dan hemo­lisis berlebih (kerusakan sel darah merah). Pada kasus kehilangan darah, bisa bersifat akut atau kronik. Anemia tidak akan terjadi sampai beberapa jam setelah kehilangan darah akut, yakni saat cairan interstisial berdifusi ke dalam ruang intravaskular dan mengen­cerkan massa sel darah merah yang tersisa. 

Selama beberapa jam pertama, tingkat granulosit polimorfonuklear, trombosit, dan leukosit atau normoblast yang belum matang (pada perdarahan hebat) dapat meningkat. Kehilangan darah kronis menyebabkan anemia, jika proses kehi­lang­an lebih cepat daripada peng­gan­tiannya. Kehilangan darah akut misalnya da­lam proses kelahiran, perdarahan sa­luran cerna, luka atau akibat proses be­dah. Kehilangan darah kronis bisa karena tu­mor saluran kemih, kanker atau polip usus, menstruasi hebat, tumor ginjal, ulser di lambung atau usus.

Defisiensi eritropoiesis

Anemia yang disebabkan berkura­ng­nya eritropoiesis (anemia hipoproliferatif), ditandai dengan retikulositopenia. Menu­rut Evan M Braunstein, MD, PhD, Assistant Professor di Divison of Hematology, John Hopkins School of Medicine, indeks sel darah merah – terutama rata-rata volume corpuscular (MCV) –  dapat memper­sempit diagnosis dari defisiensi eritro­poiesis,yang disebabkan berbagai hal. Juga membantu menentukan pengujian lebih lanjut yang diperlukan.

Anemia mikrolitik terjadi akibat keku­rangan atau kerusakan heme atau sintesis globin. Anemia jenis ini bisa diakibatkan oleh defisiensi besi, atau thalasemia. Bisa ka­rena besi tidak bisa dipindahkan dari tem­pat penyimpanannya ke prekursor eri­tro­poi­etik. Kondisi ini jarang terjadi, di­te­ngarai di­sebabkan  mutasi pada gen TMPRSS6, yang memberi kode ke protein transmem­bran yang mengatur produksi hepcidin.

Anemia normositik ditandai dengan lebar distribusi sel darah merah dan in­deks normokromik yang normal. Dua pe­nyebab paling umum adalah hipoproli­fe­rasi karena defisiensi, atau respons yang ti­­dak adeku­at terhadap eritropoietin (EPO), dan anemia karena penyakit kronis. Gangguan sum­sum seperti anemia aplas­tik, aplasia sel darah merah dan myelodys­plas­tic syndrome (MDS), juga bisa me­nye­babkan anemia normositik.

Anemia makrositik disebabkan sintesa DNA yang terganggu, atau karena defisi­en­si vitamin B12 atau folat; menyebabkan megaloblastosis. Penyebab lain termasuk konsumsi alkohol, penyakit hati, myelo­dys­plastic syndrome (MDS) dan hemolisis.

Anemia karena penyakit kronis bisa mikrositik atau normositik. Sementara anemia akibat MDS  mungkin normositik atau makrositik. Akibat gangguan endokrin, seperti hipotiroid atau kekurangan mineral, memiliki manifestasi berbeda-beda; tergolong sebagai anemia normositik atau makrositik.

Anemia hemolitik

Anemia hemolitik merupakan kondisi hancurnya eritrosit lebih cepat, dibanding pembentukannya di mana siklus hidup normal eritrosit sekitar 120 hari. Anemia hemolitik bisa dipicu faktor intrisik dari dalam sel darah merah atau ekstrinsik.

Anemia hemolitik intrinsik disebabkan sel darah yang tidak normal, sehingga memiliki masa hidup lebih pendek. Kondisi ini umumnya diturunkan secara genetik seperti  anemia sel sabit, atau thalasemia. Sementara anemia akibat faktor ekstrinsik, antara lain disebabkan oleh hiperaktivitas retikuloendotelial (hipersplenisme), abnormalitas imunologis (misalnya thrombotic thrombocytopenic purpura), obat-obatan (quinine, quinidine, penicillin, methyldopa) dan infeksi organism (Plasmodium sp, Bartonella sp).

Yang ekstrinsik maupun intrinsik dapat muncul dalam jangka waktu pendek (temporer), dapat diobati dan hilang sete­lah beberapa bulan. Bisa muncul sebagai pe­nyakit kronis, yang dapat diderita se­umur hidup atau terjadi kekambuhan setelah periode waktu tertentu.

Defisiensi besi

Defisiensi zat besi (Fe) secara global di­tengarai sebagai penyebab utama anemia, namun etiologi anemia multifaktorial. Gejala defisiensi besi biasanya tidak spe­sifik. Sel darah merah cenderung menjadi mikrositik dan hipokromik, dan cadangan besi tipis, ditunjukkan dengan rendahnya feritin serum dan kadar besi serum rendah dengan kapasitas pengikat besi total serum yang tinggi.

Corazon Zaida N. Gamila, MD, FPOGS, ginekolog dari Filipina, menjelaskan Fe ber­tanggungjawab dalam perubahan hor­mon dan pembentukan genome sejak di dalam kandungan. Besi memiliki banyak fung­si, seperti sebagai penghantar oksi­gen, tidak hanya untuk organ vital tapi ju­ga otot-otot perifer. Besi juga bertang­gung jawab dalam proses energy metabolism

“Dalam proses replikasi genetik, ada yang disebut transformasi enzim yakni ba­gian dari sistem DNA. Fe diketahui ber­peran dalam proses sintesa enzim. Besi menjadi media transportasi pada mayori­tas enzim yang bertanggungjawab atas re­plikasi DNA,” terang dr. Gamila.

Besi berperan dalam imun sistem, yakni memroduksi respon imun yang baik dan pada pembentukan selaput myelin di otak yang vital dalam proses penghantaran neurotransmitter. Besi ditransfer oleh transferin (protein pengangkut besi) ke ‘kolam’ penyimpanan dalam bentuk feritin dan hemosiderin. Yang lebih penting adalah feritin yang terletak di hati dalam hepatosit, sumsum tulang dan limpa (dalam makrofag).

Karena penyerapan Fe terbatas, tubuh mendaur ulang dan menghemat besi. Transferrin menangkap dan mendaur ulang zat besi dari sel darah merah yang menua, melalui fagositosis oleh fagosit mononu­klear. Mekanisme ini mensuplai sekitar 97% kebutuhan besi harian (sekitar 25 mg/hari).

Defisiensi besi antara lain akibat pe­nya­kit seperti celiac, atrophic gastritis dan aklorhidria yang menyebabkan gangguan penyerapan besi. Atau akibat proses kehi­langan darah. Pada pria atau wanita pas­camenopause, penyebab tersering adalah per­darahan kronis, seperti akibat peptic ulser, keganasan atau hemoroid. Pada wanita premenopause kehilangan darah diakibatkan menstruasi; ±0,5 mg Fe/hari. Infeksi cacing tambang bisa menjadi penyebab di negara berkembang.

Peningkatan kebutuhan besi terjadi sejak usia 2 tahun sampai remaja, yakni di masa pertumbuhan cepat.  Di masa keha­milan, kebutuhan besi janin meningkatkan kebutuhan besi sang ibu, yakni ± 0,5-0,8 mm/hari. Proses menyusui kebutuhan besi sekitar 0,4 mg/hari.

Hasil studi Mahjan S, dkk., dalam British Journal of Nutrition 2008, ibu yang ane­mia berat saat hamil berat badan menu­run signifikan, pra dan pascakehamilan. Ini berdampak pada berkurangnya tinggi fundal ibu dan lingkar perut. Ada penu­runan indeks ponderal, berat lahir dan berat plasenta yang signifikan pada janin. Terjadi peningkatan insulin-like growth factor 1 dan level feritin yang signifikan, pada ibu dan janin. Penurunan T3 dan peningkatan kadar prolaktin juga terjadi.

“Saat hamil, yang dikonsumsi sang ibu akan diperoleh janin. Jika ibu mengalami defisiensi zat besi, janinnya juga. Hipotesa Barker: risiko defisiensi tetap berlangsung sampai anak dewasa,” imbuh dr. Gamila.  Masa kehamilan adalah kendaraan bagi janin selama 9 bulan. Jika ada masalah dalam periode tersebut, hasil akhirnya adalah kondisi kelahiran yang buruk. 

Sebagai mineral yang susah diserap, asupan besi dari makanan harian kerap ti­dak adekuat. Mereka yang kerap meng­on­sumsi makanan barat, cenderung me­ng­alami defisiensi besi. (jie)