Sariawan bisa karena alergi, defisiensi Fe, B12 dan asam folat, serta kelainan sistem pencernaan. Juga stres dan merokok.
Sariawan (stomatitis aftosa rekuren/SAR) merupakan penyakit mukosa mulut yang umum terjadi. Secara patofisiologis SAR memiliki banyak jenis dengan beragam sebab. Sebagian besar tidak membahayakan dan dapat sembuh sendiri. Namun, sebagian kecil SAR bisa berubah atau menjadi tanda keganasan.
SAR merupakan penyakit ulang kambuh, umumnya dalam 10-14 hari dapat sembuh sendiri tanpa pengobatan; rekurensi >3 kali setahun. Etiologi dari SAR belum diketahui pasti. Ulser pada SAR bukan karena satu faktor, tetapi terjadi dalam lingkungan yang memungkinkan berkembang menjadi usler.
SAR paling sering terjadi di rongga mulut, terjadi pada 20% populasi. Menurut Wray D, dalam Textbook of General and Oral Medicine, 2% di antara pasien tercatat merasa sangat menderita. Wanita lebih kerap mengalami sariawan daripada laki-laki, dan lebih kerap muncul pada usia dekade dua dan tiga. Sariwan menyerang anak hingga usia lanjut, meningkat insidensinya sejalan dengan peningkatan sosial ekonomi, juga meningkat pada pasien yang berhenti merokok.
Manifestasi klinis SAR adalah ulser, tunggal atau multiple, dangkal, bulat lonjong, pinggiran merah karena inflamasi dan sakit. “Ukurannya < 1cm, dengan dasar lesi putih/kekuningan dan tepi lesi teratur,” papar Dr. drg. Febrina Rahmayanti, SpPM, staf pengajar di Departemen Penyakit Mulut FKG Universitas Indonesia. “Terbatas di dalam mulut, biasanya di mukosa labial atau mikosa bukal, dasar mulut dan tepi lidah.”
Struktur mukosa mulut diawali dari sel epitel, lamina propria (jaringan ikat yang memisahkan lapisan sel epitel terdalam dari lapisan muskulari mukosa), submukosa, periosteum sampai tulang sebagai bagian paling bawah. Berdasarkan keparahannya, sariawan dibagi menjadi erosi dangkal (luka-erosi-ulser), di mana kerusakan mukosa mulut hanya mengenai sebagian kecil epitel di atas lapisan basal. Atau erosi dalam (luka-ulser) yang mana kerusakan mukosa mulut mengenai hingga di bagian bawah lapisan basal. Terkadang sariawan yang besar dan terus teiritasi area pinggiran ulser, akan menebal/meninggi.
Berdasar tipenya, ada SAR minor, mayor dan herpetiform. Sariawan minor memiliki karakteristik klinis ulser < 10 mm, sembuh dalam 2 minggu, tidak ada jaringan parut, terjadi di area yang tidak berkeratin (pipi, bibir atau dasar mulut). Sariawan mayor jika luka berukuran >10 mm, sembuh dalam 3-4 minggu, bisa dengan jaringan parut, sering terjadi pada mukosa labial, palatum lunak dan orofaring. Mulai terjadi setelah masa pubertas, bisa karena infeksi sekunder oleh bakteri (infeksi odontogenik), dan sering menyebabkan sikatriks setelah sembuh. Kesehatan sistemik dapat terganggu karena kesulitan atau rasa sakit saat makan dan mengalami stres psikologis.
Infeksi odontogenik disebabkan campuran bakteri aerob dan anaerob. Bakteri aerob yang dijumpai pada infeksi odontogenik, terutama coccus Gram positif, kebanyakan adalah Streptococcus tipe viridians. Termasuk juga Streptococcus milleri, S. sanguis, S. salivarius, dan S. mutans. Streptococcus oral disebut juga Streptococcus alfa hemolitik dan merupakan 85% bakteri aerob yang dijumpai pada infeksi odontogenik.
“Pada tipe herpetiform, berbentuk mirip herpes. Ulser kecil <2 mm, banyak (multiple) yang kemudian bersatu menjadi besar, sembuh dalam 2 minggu, tidak ada jaringan parut. Area mulut terdampak adalah yang berkeratin,” ujar drg. Rahmi Atma, MDS, SpPM, PhD, dari Departemen Ilmu Penyakit Mulut FKG Universitas Trisakti, Jakarta. “Kalau tidak ada demam berarti sariawan. Jika disertai demam, berarti herpes.”
Penyebab klasik
Walau secara etiologi belum diketahui penyebabnya, tercatat >10 faktor predisposisi sariawan. Penyebab klasik dan tersering seperti adanya trauma (tergigit, terantuk benda tumpul atau tergesek kawat gigi), masalah hormonal dan stres.
Ketidakseimbangan hormonal pada wanita, misalnya menjelang menstruasi, menopause atau akibat pemakaian pil kontrasepsi. Penelitian membuktikan, ada hubungan antara penurunan pregesteron, prolifeasi mukosa dan keratinisasi dengan kejadian sariawan.
“Sariawan erat hubunganya dengan stres. Otak melepaskan kortisol saat kita stres, ini akan merusak jaringan mukosa di mulut. Saat stres, jaringan dalam rongga mulut rentan robek,” tutur drg. Febrina, yang juga bertugas di RS Pondok Indah, Jakarta.
Dalam dua studi, oleh Neville BW (2008) dan Scully C (2013), dinyatakan bahwa penderita yang masih siswa, ulserasi makin parah selama tes (ujian) berlangsung, dan berkurang selama periode liburan. Dan dalam Journal of Oral and Maxillofacial Pathology (2011) disebutkan, kegiatan oral seperti mengunyah bibir atau pipi menjadi lebih jelas selama periode stres. Karenanya, risiko trauma minor mukosa lebih tinggi.
Penyebab lain faktor gen (keturunan). Penelitian tahun 2012 oleh Brocklehurst P, dkk.,menjabarkan, setidaknya 40% penderita SAR memiliki riwayat genetik. Mereka dengan riwayat sariawan dalam keluarga, bisa menderita sariawan sejak muda dan lebih berat dibanding orang tanpa riwayat genetik sariawan. Kerusakan genetik pada beberapa tipe HLA (human leukocyte antigen), ditengarai berpengaruh pada kecenderungan menderita SAR; HLA-B12, HLA-B51, HLA-Cw7, HLA-A2 atau HLA-A11 merupakan contoh tipe antigen leukosit yang berhubungan dengan SAR.
Penyakit pemicu ulser sariawan
SAR bisa dipicu penyakit tertentu, seperti alergi makanan tertentu – coklat, kacang, pisang, nanas – atau alergi SLS (sodium lauryl sulphate). Diketehui, beberapa pasta gigi atau produk perawatan mulut mengandung detergen SLS. Penelitian Preeti L, Magesh KT, dkk., sariawan lebih banyak terjadi pada mereka yang memakai pasta gigi dengan LSL. Ulser berkurang saat pasta gigi diganti dengan yang bebas SLS.
Defisiensi asupan besi (Fe), vitamin B12 dan asam folat, yang menyebabkan berkurangnya ketebalan mukosa area mulut, berkontribusi memicu sariawan. Atau karena anemia. Anemia membuat aktivitas enzim di mitokondria sel menurun; ada gangguan transport oksigen dan nutrisi, sehingga menghambat diferensiasi dan pertumbuhan sel epitel. Akibatnya, proses diferensiasi terminal sel-sel epitel menuju stratum korneum terhambat. Mukosa mulut menjadi lebih tipis akibat hilangnya keratinisasi normal, atropi dan lebih mudah mengalami ulserasi.
Anemia juga menyebabkan kerusakan imunitas seluler, berkurangnya aktivitas bakterisidal dari lekosit polymorphonuclear, respon antibodi tidak adekuat dan abnormalitas pada jaringan epitel. Kondisi ini sering terjadi pada penderita defisiensi vitamin B12, folat dan zat besi.
Hal lain adalah kelainan pada sistem pencernaan, seperti akibat penyakit Celiac, Crohn atau ulcerative colitis. Kondisi ini menyebabkan defesiensi nutrisi akibat malabsorpsi. Journal of Oral and Maxillofacial Pathology (2011) mencatat, sekitar 5% penderita SAR pasien penyakit Celiac, yang biasanya diikuti anemia berat, nyeri perut, diare dan glossitis.
Pada penderita HIV (human immunodeficiency virus) peningkatan jumlah sel T CD8, yang disebabkan penurunan jumlah sel T CD4, dapat menyebabkan sariawan. “Kalau sel T helper-nya kurang dari 200, pasti sariawan terus,” kata drg. Rahmi Atma.
Begitu juga penyakit sistemik lain seperti penyakit Behçet, di mana ulser terjadi tidak hanya pada area mulut, tapi juga genital dan anterior uveitis (peradangan pada lapisan antara retina dalam dan lapisan fibrosa luar di mata). Ciri utama penyakit Behçet adalah ulserasi seperti sariawan, tapi biasanya lebih parah dan menyerupai ulkus mayor atau herpetiform; terjadi pada 25-75% kasus penyakit Behçet. Sindroma MAGIC (mouth and genital ulcers with inflamed cartilage) adalah variasi penyakit Behçet yang juga berhubungan dengan sariwan.
Berbagai masalah antigenik terdeteksi sebagai pemicu, sepertivirus herpes simlex, virus varicella-zoster, adenovirus dan cyptomegalovirus. Beberapa penderita stomatitis aftosa, mungkin menunjukkan adanya virus herpes dalam epitel mukosa, tapi tanpa infeksi yang produktif. Dalam Oral & Maxillofacial Pathology (2008) disebutkan, pada beberapa orang ulserasi terjadi bersamaan dengan hilangnya virus tanpa gejala dan peningkatan titer virus.
Sariawan dan rokok
Brocklehurst P, Tickle M, dkk., menyatakan, stomatisis aftosa kerap terjadi pada perokok; ada hubungan antara lamanya kebiasaan merokok dengan keparahan sariawan. Tembakau bisa menyebabkan peningkatan keratinisasi di mukosa mulut. Dalam bentuk yang ekstrim, kondisi ini bisa memicu leukoplakia (berisiko kanker) atau stomatitis nikotin (keratosis pada perokok). Nikotin juga merangsang produksi steroid adrenal dan mengurangi pengeluaran TNF-alfa, interleukin-1 dan interleukin-6.
Rangsangan panas dari asap rokok dapat menyebabkan perubahan aliran darah dan mengurangi pengeluaran air ludah. Akibatnya rongga mulut kering, menjadi lingkungan yang sesuai untuk tumbuhnya bakteri anaerob di mulut. Kondisi mulut kering dan penuh bakteri, dapat memicu sariawan.
Beberapa kondisi yang berhubungan dengan kebiasaan merokok:
- Keratosis. Biasa terjadi pada mereka yang mengisap rokok tanpa filter. Ulserberdekatan satu sama lain ketika mulut ditutup, mengenai bibir atas dan bawah di lokasi penempatan rokok.
- Stomatitis nikotin. Suatu respons dari struktur-struktur ektodermal pada langit-langit mulut pasien, yang mengisap pipa atau cerutu berkepanjangan. Ulser berwarna putih keabu-abuan, disertai luka berwarna merah cekung.
- Eritroleukoplakia dan speckled eritroplakia. Ulser yang timbul berupa bercak merah berbintik-bintik putih merata di seluruh luka. Terutama di pinggir lidah, mukosa pipi dan langit-langit lunak. Paling sering terjadi pada pria >50 tahun. Kejadian ini sering dihubungkan dengan perokok berat, alkoholisme dan kebersihan mulut yang buruk. (jie)