Ethicaldigest

Terapi Atrial Fibrilasi: Pengelolaan Irama dan Heart Rate

Terapi atrial fibrilasi ditujukan untuk mengurangi gejala dan mencegah komplikasi, akibat atrial fibrilasi. Usaha ini meliputi terapi antitrombotik kontrol ventricular rate, dan terapi adekuat terhadap penyakit jantung yang mendasari. Terapi ini mungkin bisa mengurangi keluhan, tapi memerlukan terapi tambahan untuk mengendalikan ritme jantung. Yaitu dengan kardioversi, terapi obat aritmia atau terapi ablasi.

Penglolaan irama dan heart rate akut

“Penatalaksana pasien atrial fibrilasi akut, tujuannya adalah untuk mencegah kejadian tromboembolik dan memperbaiki fungsi jantung,” terang dr. Taufik Indrajaya, Sp.PD, pada salah satu sesi simposium di Jakarta. Lebih lanjut, staf Divisi Kardiologi Departemen Penyakit Dalam RS Dr. Muhammad Husni, Palembang, itu mengatakan, “Tingkat keparahan gejala akibat atrial fibrilasi menentukan keputusan, apakah melakukan restorasi akut irama sinus (pada pasien yang sangat berat) atau tata laksana laju ventrikuler akut (pada sebagian besar pasien).”

Rate control akut

Ventricular rate yang tidak tepat dan irama jantung yang ireguler, menyebabkan gejala dan gangguan hemodinamik yang berat. “Pasien atrial fibrilasi dengan rapid ventrivular response, memerlukan ventricular rate control (kontrol akut laju ventrikuler),” kata dr. Taufik. Pada kondisi akut, target ventricular rate biasanya 10×100 kali/ menit.

Bagi sebagian pasien, amiodarone dapat digunakan, terutama pada mereka dengan fungsi ventrikel kiri yang jelek. Pasien atrial fibrilasi dengan laju ventrikuler yang lamban, mungkin merespon atropine 0,5-2mg IV. Tapi, beberapa pasien dengan bradiaritmia simptomatik harus diberikan kardioversi segera, atau pemasangan pacu jantung temporer di ventrikel kanan.

Pasien yang dalam kondisi stabil, bisa diberikan obat oral beta blocker atau calcium chanel blocker non-dyhidropiridine. Pada pasien yang parah dapat digunakan verapamil, atau metoprolol intravena untuk memperlambat konduksi atrioventricular node dengan cepat.

Kardioversi secara farmakologis

Banyak episode atrial fibrilasi terminasi spontan, dalam jam pertama atau hari pertama. Jika pasien tetap simptomatik, meski dengan rate control yang adekwat atau pada pasien, yang terapi kontrol irama jantungnya baik, harus segera diberi kardioversi farmakologi menggunakan bolus obat aritmia. Konversi dengan obat lebih lambat, dibanding dengan DCC. Tapi tidak memerlukan sedasi atau anastesi.

Kardioversi ini memerlukan pengawasan kontinyu dan monitor EKG, selama pemberian infuse obat dan pasca pemberian obat (biasanya sekitar waktu paruh eliminasi obat tersebut), untuk mendeteksi kejadian proaritmik, seperti ventricular proarrhytmia, sinus node arrest, atau atrioventrikuler block. Kardioversi farmakologik (terapi pill in the pocket) mungkin cocok untuk pasien rawat jalan.

Beberapa penelitian membandingkan antara flecainide dengan propafenon. Tapi, hanya satu penelitian yang menunjukkan bahwa laju konversi flecainide lebih baik (90% berbanding 64%). Ibutilide lebih baik dibandingkan propafenone (71% dibanding 49%). Dan, ada 1% dari kelompok ibutilide yang mengalami takikardia ventrikuler yang tidak menentap.

Jadi, pada pasien atrial fibrilasi onset baru (dalam 48 jam), dapat dilakukan kardioversi farmakologis menggunakan flecainide atau proparenone IV (bila hanya sedikit atau tidak ada penyakit jantung struktural), atau menggunakan amiodarone (jika terdapat penyakit struktur). Waktu antisipasi laju konversi menjadi >50 dalam 15-120 menit. Ibutilide terbukti efektif, namun ada risiko proaritmia serius.

Pendekatan pill in the pocket

Propafenone oral pada pasien-pasien yang menjalani perawatan di rumah sakit, dapat mengonversi 55 dari 119 pasien atrial fibrilasi  (45%) dalam 3 jam. Dalam beberapa penelitian berukuran lebih kecil, propafenone dan flecainide menunjukkan efek serupa. Pasien rawat jalan dapat menggunakan obat oral propafenone (450-600 mg) atau flecainide (200-300mg). Pasien harus diskrining untuk indikasi dan kontraindikasi, diuji dulu efikasi dan keamanan obat saat masih di rumah sakit.

Direct current cardioversion

DCC merupakan cara efektif mengonversi atrial fibrilasi menjadi irama sinus. Prosedur ini dapat dilakukan bila sudah mendapat antikoagulan adekuat selama 3 minggu, atau atrial fibrilasi telah berlangsung 48 jam dan sudah dilakukan EKG untuk menyingkirkan thrombus di atrium.

Setidaknya, diperlukan monitor EKG dan hemodinamik selama 3 jam setelah dilakukan prosedur ini, sebelum pasien dipulangkan. Risiko dan komplikas kardioversi terutama berhubungan dengan tromboemboli. Aritmia pasca kardioversi dan risiko anastesi umum.

Kardioversi pada pasien dengan implanted pacemaker dan defibrillator, dilakukan dengan meletakkan paddle elektroda paling tidak 8 cm dari baterai, dan pada posisi anteropsoterior. Dianjurkan biphasic syok, sebab diperlukan sedikit energi untuk terminasi atrial fibrilasi.

Pada pasien yang bergantung pada pacemaker, harus diantisipasi peningkatan nilai ambang pacing. Pasien ini harus dimonitor ketat. Setelah kardioversi, harus dilakukan interogasi device.

Tatalaksana jangka panjang

Tata laksana umum pada pasien AF, mempunyai 5 tujuan:

1. Pencegahan kejadian tromboemboli.

2. Mengatasi simtom terkait AF.

3. Tata laksana optimal terhadap penyakit kardiovaskular yang menyertai.

4. Mengontrol laju jantung.

5. Memperbaiki gangguan irama.

Target ini tidaklah eksklusif dan dapat dikerjakan secara simultan. Terapi yang diberikan di awal, mungkin berbeda dengan target terapi jangka panjang. Untuk pasien atrial fibrilasi yang berlangsung beberapa minggu, terapi awal bisa berupa antikoagulan dan rate control. Terapi jangka panjang bisa berupa restorasi irama sinus. Jika rate control tidak adekwat menghilangkan gejala, restorasi ke irama sinus menjadi tujuan terapi jangka panjang. Kardioversi sesegera mungkin diperlukan, bila atrial fibrilasi menyebabkan hipotensi atau perburukan gagal jantung.

Kontrol heart rate dan irama jantung

Terapi awal setelah onset atrial fibrilasi, harus selalu mencakup pengobatan antitrombotik dan ventricular rate control yang adekwat. Jika tujuan akhir adalah restorasi dan mempertahankan irama sinus, pengobatan rate control harus dilanjutkan. Tergantung perjalanan penyakit, strategi awal yang dipilih mungkin tidak mencukupi sehingga harus ditambah obat kontrol irama jantung atau intervensi.

Kontrol heart rate jangka panjang

Kontrol ventricular rate yang adewat, mengurangi gejala dan memperbaiki status hemodinamik pasien, dengan memberikan cukup waktu ventricular filling dan pencegahan takikardiomiopati. Tingkatan kontrol optimal heart rate yang dihubungkan dengan morbiditas, kualitas hidup dan gejala masih belum jelas. Guideline sebelumnya merekomendasikan kontrol hearth rate yang ketat, yaitu resting heart rate antara 60-80 kali /menit, dan 90-115 kali/ menit selama latihan fisik moderat.

Kontrol heart rate secara farmakologis

Obat yang digunakan antara lain beta blocker non dihydropyridine calcium channel blocker, dan digitalis. Kombinasi obat mungkin diperlukan. Dronedarone efektif menurunkan detak jantung, selama rekurensi atrial fibrilasi. Amiodarone mungkin cocok untuk sebagian pasien yang refrakter dengan rate control. Kombinasi beta blocker dengan digitalis, mungkin bermanfaat pada pasien dengan gagal jantung.

Beta blocker terutama berguna bila terdapar adrenergic tone yang tinggi, atau iskemik miokard simptomatis yang terjadi akibat atrial fibrilasi. Pemakaian beta blocker dalam jangka lama terbukti efektif dan aman, dibanding placebo dan digoxin. Dalam study AFFIRM, beta blocker biasanya digunakan untuk mencapai rate control yang ketat.

Non-dihydropiridine CCB (verapamil dan diltiazem) terbukti efektif untuk rate control, baik pada atrial fibrilasi akut atau kronik. Obat ini harus dihindari pada pasien dengan gagal jantung sistolik, karena memiliki efek introfik negative.

Digoxin dan digitoksin terbukti efektif untuk mengendalikan hearth rate saat istirahat. Tapi, tidak selama latih fisik. Kombinasi digoksin dengan beta blocker juga efektif pada pasien dengan atau tanpa gagal jantung. Digoksin dapat menyebabkan efek samping yang buruk dan harus digunakan secara hati-hati. Dapat terjadi interaksi dengan obat lain.

Dronedarone efektif sebagai obat yang mengontrol rate untuk pengobatan kronik, menurunkan laju jantung saat istirahat dan selama latih fisik secara bermakna. Efek obat ini bersifat aditif dibanding obat rate control lainnya. Obat ini juga berhasil menurunkan heart rate selama relaps atrial fibrosis, tapi tidak untuk atrial fibrosis permanen.

Amiodarone adalah obat rate control yang efektif. Amiodarone IV efektif dan ditoleransi baik oleh pasien gangguan hemodinamik. Amiodarone juga dapat dipakai untuk pengobatan kronis, bila terapi konvensional tidak efektif. Tapi, obat ini dapat menyebabkan efek samping ektra kardiak yang berat, termasuk disfungsi tiroid dan bradikardia.

Amiodarone awalnya digunakan untuk kontrol irama jantung. Tapi, kemudian, amiodarone digunakan untuk rate kontrol bila pasien jatuh ke atrial fibrilasi permanen. Solatol tidak boleh digunakan secara monoterapi, untuk rate control. 

Pemilihan obat untuk rate control tergantung usia, penyakit jantung yang mendasari dan tujuan pengobatan. Pada pasien yang tetap simtomatis pada terapi rate control yang ketat, terapi kontrol irama jantung harus dipertimbangkan.

Kontrol irama jantung jangka panjang

Tujuan utama kontol irama jantung adalah menghilangkan gejala terkait atrial fibrilasi. Pasien asimtomatis atau mereka yang menjadi asimtomatis dengan terapi kontrol rate yang adekwat, tidak boleh mendapat obat antiaritmia.

Kebanyakan pasien awalnya mendapat beta blocker, untuk rate control. Amiodarone disiapkan untuk mereka yang gagal diterapi dengan obat antiaritmia lain, atau memang mempunyai penyakit struktur jantung. Pada pasien tanpa atau dengan penyakit jantung minimal (lone atrial fibrilasi), beta blocker merupakan usaha pertama yang logis mencegah rekurensi atrial fibrilasi. Bila betablocker tidak efektif untuk lone atrial fibrilasi, akan diberikan flecainide, propafenine, sotalol atau dronedarone.

Hal yang menantang dalam merekomendasikan pilihan antara amiodarone dan dronedarone, untuk pasien dengan penyakit struktur jantung. Amiodarone sudah digunakan bertahun-tahun dengan aman. Dosis toksik amiodarone adalah >200mg perhari.

Banyak penelitian gagal menunjukkan efek amiodarone untuk outcome kardiovaskuler. Dalam hal ini, dronedarone lebih dipilih sebagai pilihan pertama antiaritmia. Bila dronedarone gagal mengendalikan gejala, digunakan amiodarone. Dronedarone dapat dipakai dengan aman pada pasien dengan sindrom koroner akut, angia stablil kronik, penyakit jantung hipertensi, dan gagal jantung stabil NYHA kelas I-II. Pasien dengan NYHA kelas III atau IV, atau  recently unstable hearth failure, tidak boleh menerima dronedarone. Tidak ada data penggunaan dronedarone pada pasien dengan LVH atau kardiomiopati hipertropik.

Sejak tahun 2000, setidaknya ada 7 studi terkait tata laksana AF, dengan membandingkan kedua jenis terapi medikamentosa kontrol irama atau kontrol laju jantung. Studi-studi tersebut adalah PIAF10 (Pharmacological Intervention in Atrial Fibrillation trial) tahun 2000, RACE11 (Rate Control versus Electrical Conversion) tahun 2002, studi AFFIRM (Atrial Fibrillation Follow up of Rhythm Management) tahun 2002, studi STAF (Strategies of Treatment of Atrial Fibrillation) tahun 2003, studi HOT CAFÉ (How to Treat Chronic Atrial Fibrillation) tahun 2004, studi AF-CHF (Rhythm control versus Rate control for Atrial Fibrillation and Heart Failure) tahun 2008, dan studi J-RHYTHM tahun 2009.

Kesimpulan penelitian-penelitian

Studi-studi ini seluruhnya menunjukkan tidak terdapat perbedaan bermakna, pada endpoin primer antara kelompok kontrol irama jantung dengan kelompok kontrol heart rate. Mempertahankan irama sinus pada pasien atrial fibrilasi dengan risiko tinggi stroke, tidak terbukti dapat memperbaiki kesintasan, mengurangi keluhan, meningkatkan toleransi aktivitas, mengurangi risiko stroke, memperbaiki kualitas hidup dan mengurangi keperluan antikoagulan jangka panjang.

Sebaliknya, menunjukkan keunggulan strategi terapi kontrol laju jantung berupa angka hospitalisasi yang lebih sedikit, dan kesintasan yang cenderung lebih baik. Strategi kontrol frekuensi nadi bukan pilihan kedua, melainkan dapat dipertimbangkan sebagai strategi tata laksana utama, pada pasien atrial fibrilasi. Kedua strategi ini harus dievaluasi dengan seksama, pada setiap pasien secara individual.

Lima penelitian terdahulu tidak ada yang secara khusus membandingkan kedua strategi tata laksana pada pasien atrial fibrilasi dengan disfungsi ventrikel kiri. Pada studi AFFRIM, terdapat 23,1% pasien dengan riwayat gagal jantung kongestif, 9% dengan NYHA kelas fungsional ≥II. Dalam penelitian ini tidak ditemukan perbedaan bermakna di antara kedua grup.

Baru studi AF-CHF yang secara khusus membandingkan kedua strategi tata laksana pasien atrial fibrilasi dan disfungsi ventrikel kiri, dengan fraksi ejeksi yang menurun dengan jumlah pasien cukup banyak. Penelitian ini tidak menemukan adanya perbedaan endpoint primer berupa kematian akibat penyakit kardiovaskular. Juga pada endpoin sekunder berupa kematian akibat penyebab lain, stroke atau perburukan gagal jantung.

Walau demikian ada pasien tertentu, yang perlu tetap mempertahankan irama sinus. Ini tidak hanya untuk mengurangi angka kematian dan kesakitana, tapi juga untuk meningkatkan kualitas hidup.

Penelitian-penelitian PIAF, RACE, AFFIRM, STAF, HOT CAFÉ fokus pada pasien dengan risiko kematian tinggi, sehingga ada kelompok yang belum terwakili yaitu pasien usia lebih muda tanpa atau dengan faktor risiko stroke minimal, terutama pasien atrial fibrilasi paroksismal.

J-RHYTHM meneliti pasien atrial fibrilasi paroksismal, dengan risiko stroke rendah. Penelitian ini juga membuktikan, tidak ada perbedaan antara kedua grup dalam hal angka kematian, stroke, perdarahan dan gagal jantung. Namun, lebih banyak pasien yang pindah dari strategi tata laksana kontrol heart rate ke strategi kontrol irama, karena ketidaknyamanan dan secara bermakna terdapat peningkatan kualitas hidup pada pasien dengan kontrol irama.

Metaanalisis studi-studi yang membandingkan strategi kontrol irama dan kontrol heart rate pada tata laksana atrial fibrilasi, mendapatkan bahwa strategi kontrol heart rate secara bermakna menurunkan angka kematian secara kumulatif dan kejadian stroke, dibanding strategi kontrol irama.

AFFIRM 18 dan Steinberg et. al, kemudian melakukan analisis kembali pada populasi penelitian AFFIRM, untuk mencari penyebab kematian yang spesifik dan hubungannya dengan irama sinus, tata laksana, dan kesintasan. Pada analisis pertama, peneliti AFFIRM mendapatkan kecenderungan angka total kematian non-kardiovaskular yang lebih rendah pada grup kontrol heart rate, dibanding kontrol irama.

Pada analisis kedua, Steinberg et al menunjukkan bahwa irama sinus dan terapi warfarin merupakan faktor protektif terhadap kematian. Sedangkan, digoxin dan obat antiaritmia berhubungan dengan meningkatnya angka kematian. Peneliti menyimpulkan, antiaritmia dapat menguntungkan apabila irama sinus dapat dipertahankan. Keuntungan ini berkurang oleh adanya berbagai efek samping non kardiovaskular obat antiaritmia.

Salah satu alasan mengapa kontrol laju jantung adalah strategi yang lebih dipilih dalam tata laksana atrial fibrilasi, adalah karena tidak mudah mempertahankan irama sinus. Seperti kelainan irama lain, atrial fibrilasi berhubungan dengan beberapa tipe penyakit jantung yang mendasarinya. Dalam hal ini, atrial fibrilasi akan memicu remodeling jantung yang menyebabkan lingkungan tetap mempertahankan atrial fibrilasi, dan menjadi semakin berat (AF begets AF).

Dengan hanya mengembalikan irama sinus, tidak akan mengatasi penyebab atrial fibrilasi. Tidak heran jika tingkat rekurensi atrial fibrilasi sangat tinggi, kecuali diberi antiaritmia yang merupakan pisau bermata dua, karena tidak ada obat antiaritmia yang bebas efek samping, dan tidak ada yang mempunyai efikasi mendekati 100%.