Ethicaldigest

Dosis Vitamin B untuk Kesehatan Saraf

Vitamin B yang larut air dan harus diasup dari luar, kecuali vitamin B3, berperan penting sebagai kofaktor dalam kerja enzim atau prekusor kimiawi tubuh.

Vitamin B3 (niacin) adalah contoh paling baik untuk meng­gam­barkan peran vitamin ini, sebagai kofaktor reaksi enzimatik. Di dalam tubuh, niacin diubah menjadi nicotinamide adenine diphosphate (NAD), yang memiliki bentuk lebih rendah, dikenal sebagai NADH dan NAD + sebagai bentuk teroksidasinya. NADH memin­dah­kan sebuah elektron ke protein pertama da­lam rantai elektron mitokondria (NADH-coenzyme Q oxidoreductase).

Elektron ditransfer sepanjang rantai, menghasilkan proton di seluruh membran mitokondria. Gradasi protein yang terben­tuk mendorong konversi adenosine dis­phos­phate (ADP) menjadi adenosine triphosphate (ATP), yang adalah sumber energi untuk melakukan aktivitas metabo­lik berikutnya di dalam sel.

Secara khusus, vitamin B berperan da­lam kesehatan saraf dengan mekanisme ber­beda-beda. Vitamin B1 (tiamin) terlibat dalam metabolisme energi dan stimulasi saraf. Vitamin B6 (piridoksin) memainkan peran dalam sintesa neurotransmitter. Vitamin B12 (kobalamin) mendukung proses mielinisasi, deferensiasi neural dan pem­ben­tukan selubung mielin. 

Vitamin B1 (tiamin)

Kebutuhan vitamin B1 harian yang di­re­komendasikan adalah 1,2 mg/hari (pria) dan 1,1 mg/hari (wanita).  Tiamin berperan sebagai koenzim di sistem saraf tepi atau pusat. Bentuk aktif tiamin adalah thiamine pyrophosphate atau thiamine diphosphate, yang fungsinya sebagai enzim esensial dalam metabolisme karbohidrat dan di otak, dan berperan vital dalam meta­bo­lisme glukosa dan energi.

Prof. Rima Obeid dari Department of Clinical Chemistry and Laboratory Medicine, Central Laboratory, Universitas Hospital of the Saarland, Jerman, menjelaskan vitamin B1 berperan dalam fisiologi sistem saraf. “Vitamin  B1 menjadi kofaktor enzim yang terlibat dalam glycolytic pathway,” katanya. “Menyediakan energi untuk sel saraf melalui lingkaran asam sitrik dan pentose phosphate pathway. Juga mem­bantu proses degradasi asam amino.”

Tiamin menjadi zat aktif dalam kompo­nen membran selular di axoplasma, sinap­to­soma dan mitokondria. Juga penting un­tuk mempertahankan stabilitas sel mem­bran, memberi perlindungan fisiologi ke sel saraf, terutama membran axon dan jari­ngan lain. Dalam proses embriogenesis, tiamin menstabilkan membran sel saraf yang baru saja terbentuk, memperlambat reak­si apoptosis dan berkontribusi pada pem­bentukan membran plasma sel epitel uterin. 

Riset yang dilakukan Mauro Geller, dkk., dari Federal University of Rio de Ja­neiro, Brazil, menyatakan B1 penting da­lam proses penghantaran sinyal listrik di sel-selsaraf. Saat terjadi transmisi sinap­sis, tiamin bekerja di axonal anterograde dan transmisi retrograde. Tampaknya, juga membantu proses pengaturan per­mea­bilitas membran ke pada sodium – da­lam proses perawatan atau terjadinya aksi electro negativity  – di permukaan bagian dalam sel saraf.

Absorbsi tiamin terjadi di sepanjang usus dan walau disebarkan secara luas ke seluruh tubuh, tidak tersimpan dalam jum­lah yang cukup. Defisiensi tiamin bisa ter­jadi dalam 2-3 minggu, jika asupan tidak ade­kuat. Bisa karena nutrisi yang buruk, kon­sumsi alkohol, penyakit tertentu atau melakukan prosedur operasi.  Goldberg DJ, dkk., dalam studi tahun 1975 membuk­ti­kan efek defisiensi tersebut, yakni ber­ku­rang­nya kecepatan konduksi saraf dan gang­guan aktivitas elektrikal saraf, yang timbul dari perubahan mielinogenesis; mengaki­bat­kan pengurangan diameter serat mielinik.

Secara klinis kekurangan tiamin dalam jangka panjang dikaitkan dengan poly­neu­ropati sensorimotor, terutama pada tubuh bagian bawah. Ditunjukkan dengan paresthesia (kesemutan) di kedua kaki, dan sensasi rasa terbakar. Jika tidak dio­bati, dapat berkembang menjadi kele­mah­an otot dan perubahan gaya berjalan.

Vitamin B6 (piridoksin)

Vitamin B6 secara alamiah terdapat dalam daging merah, ikan, sayur dan buah, juga diproduksi oleh bakteri usus. Reko­men­dasi asupan harian piridoksin adalah 1,3 mg/hari, bagi pria & wanita usia 19-50 tahun. Sementara pada lansia (>50 tahun) adalah 1,7 mg/hari (pria) dan 1,5 mg/ hari (wanita). Wanita hamil butuh sekitar 1,9 mg/hari, naik menjadi 2.0 mg/hari saat menyusui.

Vitamin ini memiliki dua fungsi berbe­da. Pertama, sebagai kofaktor dalam ber­ba­gai proses metabolisme. Misalnya, terli­bat dalam sintesis neurotransmitter, teru­tama pada epinefrin, norepinefrin, serotonin dan y-aminobutyric acid (GABA). DOPA (dihydroxyphenyl alanine) karbo­sila­se adalah enzim yang bergantung pada B6, yang terlibat dalam sintesa serotonin dan dopamin.

Kedua, bertindak sebagai antioksidan. Studi oleh Kannan K, Jain SK (2004), mem­buktikan kemampuan piridoksin dalam pencegahan pembentukan hidrogen pe­rok­­sida, yang diinduksi oleh pemben­tukan oksigen radikal dan pembentukan peroksidasi lipid pada monosit U937.

“Kehilangan B6 berhubungan dengan kejadian inflamasi dalam tubuh, seperti saat mengalami polyneuropati atau rheumatoid arthritis. Asupan vitamin B6 akan mengurangi peradangan atau memicu reaksi antinyeri yang diproduksi oleh tubuh,” ujar Prof. Rima.  

Beberapa faktor berhubungan dengan defisiensi B6, seperti kurang gizi, malab­sorp­si dan konsumsi alkohol berlebihan.  Juga pada pasien HIV, penyakit sickle cell, hiperoxaluria dan anemia sideroblastik herediter. Obat-obatan seperti valproate, carbamazepine, atau phenytoin akan meningkatkakan peleburan piridoksin, sementara isoniazid dan hidrokortison mengganggu penyerapan B6. 

Vitamin B12 (kobalamin)

Hanya ada dua reaksi intraseluler yang tergantung pada vitamin B12, yakni sintesa methionine dan MM-CoA mutase. Namun defesiensi vitamin B12, terutama pada lansia, bisa mengancam keselamatan jiwa.

Prof. Rima dalam pemaparan hasil studi klinis NENOIN, di Jakarta, Maret 2018 menjelaskan, kobalamin bersama dengan asam folat akan menghilangkan racun asam amino dan homosistein. Vitamin B12, asam folat dan B6 adalah mole­kul-molekul yang saling membutuhkan (berinteraksi) agar sel saraf dapat ber­fung­si dengan normal.

“Tanpa B12 akan terjadi defisiensi fo­lat, walaupun asupan folat cukup. Folat ti­dak bisa diproses untuk membentuk sel-sel baru,” terangnya. Kobalamin memung­kin­kan pengiriman kelompok metil dari asam folat ke metionin untuk membentuk S-adenosylmethionine (SAM); sebuah donor metil universal dalam sel.

SAM diperlukan untuk sintesis kate­ko­lamin dan katabolisme, modifikasi epigenetik dan dalam metabolisme fosfo­lipid. Catechol –O-methyltranferase dan phenylethanolamine N- methyltranferase dalam proses metabolisme dopamin dan epinefrin, juga bergantung pada SAM. Juga berperan dalam DNA-methyltran­ferase, yakni dengan metilasi sitosin dalam DNA; ekspresi banyak gen diatur oleh metilasi sitosi atau metilasi histone. 

“B12 dan SAM diperlukan dalam metabolisme lipid, sehingga kekurangan B12 akan berpengaruh pada produksi lipid. Membran sel juga akan berubah, dan informasi yang ditransfer antarsel akan berbeda pula. Artinya, komunikasi di saraf pusat ke perifer terganggu,” jelas Prof. Rima. Dalam jurnal Science (2018) dijelas­kan, defisiensi B12 mempengaruhi homeostasis lemak yang menyebabkan akumu­lasi lipid di lever dan hiperkolesterolemia. Hiperkolesterolemia selanjutnya menye­bab­kan kolesterol mengistral dan secara langsung merusak saraf. 

Secara umum, vitamin B12 yang ade­kuat memungkinkan penggunaan asam folat untuk mensintesis purin dan piri­mi­din dalam sintesa DNA; sehingga defi­sien­si B12 dapat menyebabkan anemia. Kobalamin juga penting dalam proses meta­bolisme mitokondria. Ini berhu­bung­an dengan metabolisme energi, asam lemak dan sintesis asilkarnitin. The Journal of Nutrition (2017) menyebutkan bah­wa defisiensi B12 menyebabkan gang­guan metabolisme asilkarnitin. Dan neu­ro­pati berhubungan dengan ganggu­an metabolisme asilkarnitin.

Defisiensi B12 akan menunjukkan ge­jala seperti depresi, gangguan mood, anemia megaloblastik, demensia dan neuro­pati. Jika terjadi pada ibu hamil, maka berisiko melahirkan bayi yang kekurangan vitamin B12. Ditunjukkan dengan bayi menjadi sangat rewel, menangis terus, gangguan makan, tidak tersenyum dan stunting. “Suplementasi vitamin B12 segera dapat menghilangkan gejala-gejala tersebut pada anak,” tutur Prof. Rima.

Suplementasi B12, dalam bentuk me­til­kobalamin (metil) atau sianoko­ba­lamin (CN), sama baiknya diserap tubuh. Ke­dua­nya bisa melewati barrier usus kemu­dian diolah, dilekatkan pada alat peng­ang­kut dan marker darah yang be­nar. Kedua bentuk tersebut akan mening­katkan level B12 dalam darah dan menu­run­kan ho­mosistein serta asam metil­malonik.

Kelompok berisiko mengalami defi­sien­si kobalamin adalah vegarian atau yang kurang konsumsi protein hewani, lansia karena berkurangnya kemampuan penyerapan B12, atau lansia yang me­ngon­sumi banyak obat-obatan yang meng­ganggu absorbsi B12. Demikian pula ibu hamil dan menyusui, pasien diabetes yang mengonsumsi metformin atau meng­alami komplikasi ginjal, pasien dengan obat PPI (proton-pumps inhibitors), atau perokok berat, berisiko mengalami keku­rang­an vitamin B12.

Dosis tunggal vs kombinasi

Manfaat vitamin B untuk sistem saraf diuji, antara dosis tunggal vitamin B12 dengan kombinasi (B1, B6 dan B12) pada pasien neuropati diabetes. Studi dosis tunggal kobalamin dilakukan oleh Bhavani Jayabalan, dkk., yang termuat dalam Singapore Medical Journal 2016, dengan cara membandingkan 13 penelitian yang dipublikasikan sejak 1990 – 2014. Riset tersebut menyimpulkan bahwa metilkoba­la­min murni dan terapi kombinasi vitamin B12, tidak bisa menjadi kandidat potensial untuk pengobatan neuropatik diabetes. Hasil studi tidak menunjukkan manfaat yang jelas, pada pasien neuropati diabetes dalam hal pengurangan dan perbaikan gejala; dalam pengukuran elektrofisiologi.

Riset menggunakan vitamin B kombi­na­si antara lain dilakukan oleh Amna Rizvi, dkk., yang dimuat dalam Pakistan Jour­nal of Medical and Health Science. Riset tersebut adalah serangkaian studi ka­sus yang melibatkan 310 pasien di Service Hospital, Lahore. Penelitian dilakukan selama 6 bulan. Hasil riset menyimpulkan, kombinasi vitamin B mampu mengurangi rasa nyeri pada 87,4% partisipan. Penemu­an tersebut mendekati hasil studi sebe­lum­nya, yang termuat dalam East African Me­dical Journal (1997), di mana terbukti me­ngurangi nyeri pada 88,9% responden. (jie)