Ethicaldigest

Yakult Central Institute

Yakult Central Institute mengembangkan metode untuk menghitung flora intestinal. Sensitivitasnya tinggi dan efisien.

Saluran cerna manusia dihuni oleh raturan spesies mikroflora, baik yang bermanfaat mau pun patogen. Namun hubungan antara manusia dan flora intestinal belum diketahui dengan baik. “Untuk memahami fungsi dari flora intestinal, adalah penting untuk mengetahui populasi berbagai mikroba secara akurat,” ujar Hirokazu Tsuji, Chief Researcher Yakult Central Institute (Jepang), dalam salah satu sesi simposium IMBC (Intestinal Microbial Biotechnology Conference) 2008 di Universitas Atma Jaya, Jakarta, beberapa waktu lalu.

Metode kultur telah lama digunakan untuk deteksi, enumerasi dan isolasi bakteri, serta dianggap sebagai gold standard karena sensitivitasnya tinggi. Namun tidak praktis; memerlukan banyak waktu dan tenaga, dan tidak semua strain bisa dikultur. Telah berkembang metode quantitative PCR atau qPCR (polymerase chain reaction), proses yang digunakan untuk mengamplifikasi bagian molekul DNA spesifik melalui enzyme DNA polymerase yang dimediasi temperatur. Sensitivitasnya antara 105-106 sel/gr feses; tidak cukup teliti untuk menghitung spesies komensal minor tapi penting seperti Enterobacteriaceae atau Closridium perfringens.

Untuk itu dikembangkan metode analisis kuantitatif berdasarkan quantitative RT-PCR (Reverse Transcription-qPCR). “Dengan mengkombinasi RT-qPCR dengan qPCR konvensional, kami menciptakan Yakult Intestinal Flora SCAN system, atau IF-SCAN,” tutur Tsuji. Kunci utama RT-qPCR adalah targetnya, yakni rRNA. Jumlah rRNA pada bakteri jauh lebih banyak daripada rDNA, sehingga memberikan sensitivitas yang sangat tinggi untuk RT-qPCR (>102-3 sel/gr feses).

Prinsip kerja RT-qPCR, DNA atau total RNA diekstrak/diisolasi dari bakteri. Total RNA kemudian diubah (reverse transcription) menjadi cDNA, lalu diamplifikasi dengan qPCR yakni dengan primer tertentu dengan probe (pelacak yang diberi label fluoresens). Saat PCR berlangsung, probe berhibridasi pada rRNA bakteri target. Primer akan menabrak probe yang telah berhibridasi tsb; dengan enzim dan mekanisme tertentu, label fluoresens menjadi aktif dan menghasilkan sinyal berpendar. “Jumlah dari DNA yang diamplifikasi diukur berdasarkan intensitas fluoresens SYBR-Green,” terang Tsuji.

Prosedur ini melibatkan 4 proses. Pertama, sampel feses disiapkan untuk homogenasi. Kemudian dilakukan ekstraksi otomatis DNA dan RNA, lalu reagen PCR dan RT-PCR disiapkan untuk DNA dan RNA. Terakhir, dilakukan qPCR/RT-qPCR sebelum analisis data dan kalkulasi. “Kami mengembangkan sistem lab otomatis dari proses kedua sampai empat,” ucap Tsuji. Sistem lab otomatis terdiri dari 6 peralatan; kuncinya ada di mesin plate handling yang bertugas memindahkan sampel dari alat yang satu ke alat berikutnya.

Untuk membuktikan sensitivitas RT-qPCR, dilakukan perbandingan antara perhitungan RT-qPCR dan metode kultur pada feses manusia. “Terlihat bahwa ada korelasi yang baik antara kedua metode ini pada penghitungan Bifidobactterium dan Enterobacteriacea,” kata Tsuji. Bahkan RT-qPCR dapat mendeteksi bakteri dengan level populasi rendah dengan lebih sensitif dibandingkan metode kultur. Ini terlihat dari kemampuan RT-qPCR menganalisa komposisi subgrup Lactobacillus berbeda di feses manusia; dapat menganalisa grup bakteri predominan yang sulit dianalisa dengan metode kultur.

Metode ini juga sangat efisien. Untuk menyelesaikan analisis dari 48 sampel feses, metode kultur konvensional memerlukan banyak waktu dan tenaga untuk menyelesikan tahapan prosedur primer, kultivasi dan penghitungan. Sementara dengan IF-SCAN bisa selesai dalam 2 hari hanya dengan 1 orang tenaga; 30x lebih efisien. Keunggulan lain, metode ini dapat diaplikasi untuk target selain mikroba seperti jamur dan virus; dapat digunakan untuk analisis kuantitatif ekspresi gen fungsional; dan sampel feses dapat disimpan stabil dalam suhu kamar selama 3 bulan dengan RNA stabilizing buffer.  “Subjek kami berikutnya adalah mengaplikasikan sistem ini untuk memeriksa fungsi dan komposisi flora intestinal misalnya pada spesifik usia dan penyakit tertentu,” tutur Tsuji. IF-SCAN telah digunakan untuk menganalisa feses neonatal. Dikumpulkan 1.421 sampel feses dari 240 bayi sampai usia 6 bulan; hasilnya sedang disusun untuk publikasi. Kini sedang dilakukan penelitian mengenai mikroflora pada diare anak di India. Ke depan, aplikasi akan diperluas dengan membuat metode hitungan untuk bakteri strain probiotik dan patogenik. “Kami juga akan mengembangkan primer spesifik untuk meliputi sebagian besar bakteri intestinal manusia,” tambahnya.