Ethicaldigest

Prof. Dr. dr. Ketut Suastika, Sp.PD

Ketika berkunjung ke  Denmark beberapa waktu lalu, Prof. Dr. dr. Ketut Suastika, Sp.PD-KEMD angkat topi. Di negara Skandinavia itu, 80% pengobatan, termasuk pasien diabetes, selesai di layanan primer.  Memang, kondisi Indonesia dengan Dernmark jauh berbeda, sehinga tidak bisa dibandingkan secara apple to apple.

“Denmark negara maju, dengan jumlah penduduk sangat kecil. Pajak mereka mencapai 50% dari penghasilan,” tutur Prof. Ketut, ketika dijumpai di Indonesia Diabetes Leadership Summit (IDLS) di Medan.

Fasilitas layanan primer di Denmark sangat bagus, obat-obatan lengkap. Di Indonesia, terbatasnya ketersediaan obat masih menjadi masalah dalam sistem BPJS Kesehatan. “Sistem pengadaan obat kita sangat rumit. Bahkan obat-obatan sederhana tidak selalu tersedia setiap saat,” ujar Ketua Umum PB Perkeni ini.

Tidak mudah, memang, untuk membangun sistem pembiayaan kesehatan di negara yang jumlah penduduknya demikian besar seperti Indonesia. Apalagi secara geografis, Indonesia demikian luas dan berpulau-pulau. Masih banyak yang perlu dibenahi, “Tapi secara konsep, BPJS sudah benar.”

Meski kondisi di Indonesia masih jauh dari Denmark, tetap ada usaha yang bisa dilakukan. “Kalau seluruh layanan primer mengobati pasien diabetes secara optimal, komplikasi bisa dicegah lebih awal.”

Hal ini juga dapat meminimalkan rujukan ke tingkat sekunder/tersier, “Yang harusnya 80% selesai di layanan primer, sekarang masih sebaliknya: hanya 20% yang dilayani di tingkat primer.”

Perlu usaha besar untuk menuju layanan primer sebaik di negara maju. “Salah satunya, yang terpenting: dokter. Dokter layanan primer itu harus seperti spesialis, bisa mengobati berbagai macam penyakit. Indonesia akan menuju ke sana.”

Persoalan dalam BPJS Kesehatan tidak akan selesai dalam 1-2 tahun. Yang pasti, “Program ini sudah dinikmati oleh rakyat, terutama yang tidak mampu. Yang terpenting sekarang, layani pasien dengan yang terbaik.” (nid)