Ethicaldigest

Pengobatan Lupus Eritematosus Kutan

Pengobatan saat lesi kambuh utamanya melibatkan obat topikal. Bila diperlukan, obat sistemik bisa diberikan. Penggunaan steroid oral perlu dimonitor ketat.

Apapun jenis LE subkutan yang diderita pasien, terjadi inflamasi pada kulit; khususnya ketika lesi kambuh. “Pengobatan lini pertama yakni dengan antiradang. Kita biasa memakai steroid topikal, bentuknya bisa krim atau losion,” ujar Dr. dr. Windy Keu­ma­la Budianti, Sp.KK, dari FKUI/RSCM, Jakarta.

R. R. Winkelman, dkk (The Journal of Clinical and Aesthetic Dermatology, 2013) menyebut, pengobatan LE kutan mencakup obat topikal dan sis­te­mik, untuk mengurangi aktivitas pe­nyakit serta meminimalkan kerusakan kos­me­tik. Keluhan yang terbatas pada kulit dita­talaksana dengan kortikosteroid dan calcineurin inhibitor topikal. Pengobat­an sistemik antara lain meliputi obat anti­malaria, steroid, hingga imunosupresan.

Topikal

Kortikosteroid topikal terbukti efektif mengurangi gejala inflamasi pada semua jenis LE kutan. Namun, pengobatan dengan steroid topikal juga bisa menim­bul­kan berbagai efek samping. Untuk itu, obat hanya diguna­kan saat lesi kambuh. Penggu­naan kortikos­teroid topikal de­ngan potensi daya rendah dan dengan pe­riode singkat, disarankan untuk memi­ni­malkan efek samping. Namun, bagian tu­buh berbeda bisa mendapat jenis kor­ti­kos­teroid berbeda pula, seperti dipa­par­kan Winkelman, dkk.

Secara umum, steroid topikal berdaya rendah-sedang bisa digunakan untuk area wajah; steroid topikal berdaya sedang untuk tubuh dan anggota gerak; se­dang­kan yang berdaya tinggi bisa digunakan di area telapak kaki dan telapak tangan. Terapi injeksi intralesi dengan 2,5 – 10 mg/dl solusi triamcinolone, bisa digunakan pada kasus dis­koid lokal yang sulit diatasi de­ngan terapi lain. Pemberiannya harus hati-hati, untuk mencegah timbulnya atrofi subkutan.

Calcineurin inhibitor telah lama dite­liti penggunaannya untuk LE kutan dalam skema pengobatan jangka panjang, pertama kali pada 2002 dilaporkan kesuk­sesan penggunaan calcineurin inhibitor mengo­bati lesi kulit LE. Studi-studi beri­kutnya menunjukkan efikasi obat ini pada LE kutan. Efek sampingnya terbatas pada iritasi, eritema, dan rasa terbakar semen­tara. Tanpa risiko atrofi, calcineurin inhibitor khususnya efektif untuk area sensitif seperti wajah, leher, dan daerah intertriginosa (Winkelman, dkk, The Journal of Clinical and Aesthetic Dermatology, 2013).

Sistemik

Winkelman, dkk menyebut, obat anti­malaria oral merupakan terapi sistemik lini pertama untuk semua tipe LE kutan. “Untuk obat sistemik, biasanya kita berikan hidroksi­klorokuin, semacam obat antimalaria. Dimi­num sekali sehari, dosis 200 mg. Efeknya terhadap LE kutan bagus,” ujar Prof. Dr. dr. Iris Rengganis, Sp.PD-KAI, dari Divisi Alergi dan Imunologi FKUI/RSCM, Jakarta. Pengo­batan dengan hidroksiklorokuin bisa berlang­sung hing­ga beberapa bulan, tergantung kondisi pasien dan penyakitnya.

“Pemberiannya te­tap harus dimonitor, karena dalam jangka panjang bisa menim­bulkan gang­gu­an pada retina,” imbuh Prof. Iris. Sebelumnya, juga harus dilakukan pemeriksaan retina terlebih dulu.

Steroid oral digunakan dalam jangka pen­dek, hanya saat lesi kambuh, dan diturunkan dosisnya lalu dihentikan bertahap saat lesi mereda. “Steroid oral harus dikombinasi dengan imu­no­su­pre­san, agar dosisnya tidak terlalu tinggi,” ungkap Prof. Iris.

Beberapa hal yang dikawatirkan dari penggunaan steroid oral misalnya diabetes, imunosupresi, dan pengero­pos­an tulang yang menempatkan pasien pada risiko osteoporosis. Terlebih, kadar vitamin D pasien lupus rendah.

Terapi lain

Pada LE kutan diskoid, bisa dilakukan operasi bila ukuran lesi kecil. “Jadi kita buang lesinya, lalu jahit dan sambungkan dengan bagian kulit yang sehat. Bisa menggunakan laser, tapi mahal dan harus dilakukan berulang-ulang,” tutur Dr. dr. Windy.

Pengobatan tambahan juga diperlu­kan, antara lain vitamin D. Pasien LE memiliki kadar vitamin D rendah di darah, sedangkan mereka tidak boleh ter­papar sinar UV. Untuk itu, suplementasi vita­min D menjadi opsi terbaik untuk mengemba­li­kan kadar vitamin D, hingga batas normal.

“Pada pasien dengan defisiensi vitamin D, bisa diberi suplementasi vitamin D dosis 3.000 – 5.000 IU,” ujar Prof. Iris. Menurutnya, suplementasi vitamin D jauh lebih baik, ketimbang memberi obat pereda nyeri untuk mengatasi keluhan nye­ri sendi. “Toh, vitamin D dibutuhkan oleh pasien. Nyeri sendi pun hilang de­ngan suplementasi vitamin D,” imbuhnya.

Kadar vitamin D harus dimonitor secara berkala. Awalnya diperiksa tiap tiga bulan. “Kalau sudah stabil, periksa enam bulan kemudian. Dan bila penyakit sudah remisi, cukup setahun sekali,” imbuhnya. Untuk pemeliharaan, dosis vitamin D3 bisa diturun­kan menjadi 400 – 1.000 IU.

Kondisi tulang pasien juga harus dimo­nitor secara ketat, terutama bila pasien cukup sering mendapat steroid oral. Suplementasi kalsium bisa diberikan, bila mulai tampak penipisan/pengeroposan tulang. (nid)