Ethicaldigest

Terapi Demensia Vaskular

Terapi demensia vaskular yakni dengan merawat penyakit penyebab, seperti hipertensi, hiperlipidemia dan diabetes. Juga dengan pemberian obat antiplatelet dan mengontrol faktor risiko.

Depresi mayor banyak didapati pada kasus demensia vas­ku­lar. Bahkan depresi berat lebih banyak dialami pasien demensia vaskular daripada Alzhei­mer. Meski mungkin tanpa dibarengi depresi, pada pasien demensia lansia bi­sa terjadi penarikan diri secara so­sial akibat penurunan aktivitas psi­komotorik.

Penderita demensia vaskular umum­nya mengalami perubahan sua­sana hati dan perilaku. Pada beberapa orang dengan kondisi lacunar atau penyakit Binswanger, masalah ini bisa lebih menonjol dibanding penurunan kemampuan intelektual.

Ide atau niat bunuh diri, karena merasa sudah tidak layak hidup bisa terjadi pada pasien demensia. Schnei­der B, et al (Fortschritte der Neuro­logie-Psychiatrie 2001) menjelaskan, upaya bunuh diri dilakukan hampir 1% pasien demensia, terutama pada mereka dengan gejala depresi.

Status mental bisa diketahui dengan penilaian dari penampilan, interaksi dengan penguji, kondisi mood, pola bi­cara, proses berpikir dan asosiasi, per­ubahan persepsi (halusinasi atau ilusi), level kewaspadaan, sampai adanya pikiran atau keinginan bunuh diri.

Diagnosis mental pada demensia vaskular, bisa dilakukan dengan tes Mini-Mental Status Exam (MMSE). Atau peneliaan depresi menggunakan kriteria DSM-5, Skala Depresi Geriatri (GDS), atau Skala Cornell untuk menilai depresi pada demensia.

Pemeriksaan klinis dan psikometri merupakan standar baku, dalam pemeriksaan demensia. Namun, terdapat keterbatasan saat melakukan pemeriksaan pada lansia, “Misalnya ia tidak bisa baca tulis, ada gangguan penglihatan dan pendengaran,” ucap Dr. dr. Yuda Turana, SpS, Dekan Fakultas Kedokteran dan Kesehatan Unika Atma Jaya, Jakarta.  

Gejala neuropsikologis         

Diagnosis demensia vaskular bisa ditegakkan menggunakan kriteria dari The National Institute of Neurological Disorders and Stroke-Association International pour la Recher­ché at L’Enseignement en Neurosciences (NINDS-AIREN). Kriteria ini yang paling spesifik dari semua kriteria dan yang biasa dipakai dalam penelitian. Tanda-tanda seperti hemiparesis, bradikenesia, hiperrefleksia, ataksia, gait (gangguan jalan) dan gangguan menelan dapat teramati. Selain itu, gangguan keseimbangan dan inkontinensia urin terlihat pada demensia vaskular subkortikal. 

Pasien demensia vaskular diketa­hui memilki gangguan neuropsikologis; mereka memiliki ingatan bebas yang lebih baik, tetapi kemampuan meng­ingat kembali buruk. Munculnya sikap apatis di awal penyakit lebih mengarah pada demensia vaskular.

Dibandingkan dengan gejala Al­zhei­mer, pasien demensia vaskular bia­sa­nya mengalami gangguan bicara tidak lancar. Juga memiliki tanda-tanda gangguan fungsi eksekutif, seperti perlambatan kognitif dan masalah abs­traksi yang lebih buruk. Sementara pa­­sien demensia Alzheimer menunjuk­kan kemunduran lebih besar, pada ingatan jangka panjang.

Gejala neuropsikologis tergantung dari lokasi dan keparahan penyakit serebrovaskular yang dialami. Pada mereka dengan penyakit white matter  yang luas, gangguan bisa diamati pada tes kecepatan psikomotorik, ke­tang­kasan, fungsi eksekutif, dan aspek motorik bicara. Sedangkan pasien demensia vaskular subkortikal meng­alami penurunan kemampuan pene­tap­an dan pencapaian tujuan, dengan per­lambatan mental dan disfungsi eksekutif bertahap.

Pfeifer LA, dkk,. dalam Neurology (2002) menyatakan angiopati ami­loid serebral dapat disertai gangguan kognitif progresif, serangan iskemik transien dan defisit neurologis fokal mendadak yang berhubungan dengan perdarahan intraserebral.  

Antiplatelet

Manajemen terapi utama untuk de­mensia vaskular adalah dengan mera­wat penyakit penyebab, seperti hiper­tensi, hiperlipidemia dan diabetes mellitus. Juga mencegah kejadian stroke. Ter­masuk  lewat pemberian obat anti­platelet dan mengontrol faktor risiko.

Dalam banyak studi disebutkan, pemakaian antiplatelet bermanfaat untuk mencegah stroke berulang. Pada kasus demensia vaskular, aspirin memiliki efek neuroprotektif. Diketahui, aspirin mampu mengurangi ukuran infark setelah stroke iskemik. Mekanisme antiplatelet didapatkan lewat aksi mencegah tromboksan A2 agregat-agregasi, dengan mengha­langi aksi prostaglandin sintetase dan dengan demikian mencegah sintesis prostaglandin. Pemakaian obat anti­pla­telet juga memiliki efek neuro­protektif.

Riset oleh De Cristóbal J, dkk., dari Departamento de Farmacología, Fa­cul­tad de Medicina, Universidad Com­plu­tense de Madrid, Spanyol, membuk­tikan efek neuroprotektif didapatkan dengan menghambat pelepasan gluta­mat melalui peningkatan produksi ATP.  Pada studi itu, iskemia fokal pada tikus jantan dilakukan dengan menyumbat arteri karotis dan arteri serebri. Kadar glutamat sentral dan serum ditentukan pada interval tetap setelah oklusi.

Aspirin (30 mg/kg, diberikan 2 jam se­belum oklusi) menghasilkan penu­run­an volume infark yang signifikan, efek yang berkorelasi dengan peng­ham­batan konsentrasi serum glutamat dan konsentrasi glutamat serum sete­lah onset iskemia. Aspirin juga meng­hambat penurunan kadar ATP otak yang diinduksi iskemia. Aspirin adalah asam asetilsalisilat yang memiliki sifat analgesik, antipiretik, anti-inflamasi dan antiplatelet. Pada pasien yang tidak bisa menoleransi aspirin, digu­nakan ticlopidine.

Obat antiplatelet lain yang memili­ki efek positif untuk demensia vasku­lar, adalah clopidogrel bisulfate. Ini an­ti­platelet yang bertindak dengan meng­hambat langsung pengikatan ADP ke reseptor trombosit dan aktiva­si selanjutnya, yang dimediasi ADP dari glikoprotein IIb / IIIa kompleks.

Studi oleh Nitin Purandare dari Uni­versity of Manchester, Inggris, melihat peran emboli pada progresi demensia; dipublikasikan dalam The American Journal of Psychiatry 2011. Ia menyatakan bahwa emboli berpo­tensi menjadi faktor risiko baru, atau setidaknya penanda risiko, untuk perkembangan demensia. Purandare saat ini juga sedang melakukan riset pemakaian clopidrogrel plus statin, apakah berpengaruh pada berkurang­nya jumlah emboli pada pasien de­mensia. 

Studi lain dilakukan pada pasien dengan gejala CARAS (carotid artery stenosis) simtomatik dan MES (microembolic signals). Diobati dengan clopidrogrel load, diikuti clopi­dogrel (75 mg) dan aspirin (100 mg). Sebanyak 11 pasien CARAS simto­ma­tik (usia rata-rata 66±7 tahun; 73% laki-laki; 64% stroke iskemik akut) men­dapat clopidogrel load, diikuti te­rapi antiplatelet ganda (67%) atau tung­gal (33%). MES signifikan berku­rang antara baseline (hitungan median 8 MES/jam; rentang interkuartil 6-19), dan transkranial Doppler monitoring yang diulang (0 MES/jam; rentang interkuartil 0-3). Tidak terjadi kompli­kasi perdarahan, kejadian stroke ber­ulang atau TIA yang tercatat. Riset oleh Georgios Tsivgoulis, dkk., ini dipu­bli­kasikan di AHA journal 2012.

SSRI

Gejala agitasi dan psikosis biasa terjadi pada penderita demensia usia lanjut, ini membuat perawatan menjadi lebih sulit. Penelitian yang menggu­na­kan antidepresan untuk pengobatan agi­tasi dan gejala psikosis pada de­men­sia masih terbatas. Selective se­roto­nin reuptake inhibitor (SSRI) ser­traline dan citalopram tampaknya ber­manfaat mengurangi gejala agitasi pa­da kasus demensia, dibanding plasebo.

Seitz DP, Adunuri N, et al., me­neliti beberapa percobaan dengan total responden sebanyak 692 orang. Li­ma percobaan membandingkan SSRI dengan plasebo, dan dua studi diga­bung­kan dalam meta-analisa untuk me­lihat hasil perubahan dalam skor Co­hen-Mansfield Agitation Inventory (CMAI).  Obat SSRI seperti sertraline dan citalopram, dihubungkan dengan pengu­rangan gejala agitasi, dibanding  plasebo pada dua studi. SSRI dan tra­zo­done bi­sa ditoleransi dengan baik, saat diban­dingkan dengan plasebo atau obat antipsikotik tipikal dan atipikal. Yang perlu diwas­padai, SSRI bisa menye­babkan kom­pli­kasi serius seperti per­darahan salur­an cerna, hiponatremia, jatuh dan patah tulang.

Diet dan pencegahan

Menurut studi Rotterdam, pening­katan risiko demensia vaskular berhu­bungan dengan konsumsi lemak total. Sebaliknya, konsumsi ikan diketahui menurunkan risiko demensia. Kadar folat, vitamin B6 dan B12 yang rendah ber­hubungan dengan peningkatan level homosistein, yakni faktor risiko stroke.  

Hörder H, Johansson L, et al, melakukan studi longitudinal 44 tahun, pada populasi wanita di Swedia. Dite­mukan, mereka yang sangat bugar di usia paruh baya berkaitan dengan pe­nu­runan risiko demensia. Data me­nun­jukkan, wanita dengan kebugaran tinggi berisiko 88% lebih rendah meng­a­lami demensia dibanding wanita dengan level sehat moderat di usia paruh baya. Ketika wanita yang sa­ngat sehat mengalami demensia, rata-ra­ta mereka menderita penyakit terse­but 11 tahun kemudian, dibanding res­ponden yang level sehatnya cukupan. Ri­set ini dimuat dalam Neurology (2018).

Penderita demensia vaskular yang lebih muda, dihubungkan dengan konsumsi alkohol berlebihan. Berdasar analisa retrospektif yang melibatkan 30 juta orang di Perancis, The Lancet (2018) mencatat, konsumsi alkohol ber­lebih berpotensi paling besar me­nye­babkan demensia. Data menunjuk­kan, mereka dengan riwayat kecan­duan alkohol berisiko 3 kali mengalami demensia. Lebih dari separuh mereka yang mengalami demensia dini, punya riwayat kecanduan alkohol.

“Mereka yang masih muda tetapi mengalami gangguan memori, mudah lupa, diagnosisnya 38,6% demensia, 12,4% mild cognitive impairment (pre­demensia),” terang dr. Yuda. (jie)